Mistake - 10

1683 Words
Hari ini Wanda pulang sore. Wanda dan Melisa keluar dari kelas terakhir mereka pukul 17.00. Seperti biasa, mereka menunggu ojek online di depan kampus bersama beberapa mahasiswa lain. "Wanda!" Wanda segera menoleh ke arah sumber suara. Lalu ia tersenyum saat melihat Gery yang tengah mengendarai motornya santai ke arahnya. "Gery? Lah, memang dia baru pulang juga?" tanya Melisa. Wanda mengedikkan bahunya pertanda tidak tahu. Ia sendiri tidak hafal dengan jadwal kuliah Gery. Apalagi mengingat anak itu memang sering semaunya dan susah ditebak. Gery semakin dekat. Bahkan hampir sampai di hadapan Wanda dan Melisa. Tapi, sebuah mobil hitam tiba-tiba berhenti di hadapan dua gadis itu. Nyaris saja tertabrak oleh motor Gery yang baru saja sampai. "Ahhh!" Wanda dan Melisa memekik kaget karenanya. "Woy!!! Ngawur lo! Mau mati?!" bentak Gery yang langsung turun dari motornya. Tak lama, pemilik mobil itu keluar. Napas Wanda tercekat, melihat Davin yang wajahnya sudah memerah keluar dari mobil, berjalan menghampiri Gery. "Wan, samperin gih! Bisa-bisa berantem mereka nanti!" heboh Melisa. "Lah kok aku? Ogah! Serem amat nyamperin orang mau berantem," balas Wanda yang memang tidak mau ribet orangnya. "Ish. Kamu kan yang deket sama mereka. Nah tuh, ada Bayu sama Satria! Minta bantu mereka aja!" seru Melisa. Wanda menoleh cepat ke arah gerbang. Dan ia pun segera berlari untuk meminta bantuan dua teman sekelasnya itu. Saat ia kembali, benar saja, Gery sudah tergeletak karena pukulan keras Davin di perutnya. "Gery!" pekik Wanda. Wanda segera menghampiri Gery. Karena meski sudah jatuh, pria itu tampak sekali sangat berhasrat ingin menyerang balik Davin. "Ger, udah, Ger!" Wanda berusaha menahan Gery yang masih berusaha untuk menerjangnya guna membalas pukulan Davin. "Siapa sih Lo? Hah?" sentak Gery sembari menatap tajam ke arah Davin yang juga masih tampak berkilat-kilat. Untung saja saat itu ada Satria dan Bayu yang membantu Wanda. Kalau tidak, habis sudah. Wanda tidak akan sanggup menghadapi Davin dan Gery sekaligus. "Wanda! Jauhi dia!" Eh? Wanda mengejapkan matanya hingga pegangannya pada Gery terlepas saat mendengar suara keras nan tegas milik Davin. "Kamu kenal dia, Wan?" tanya Bayu. Wanda mengangguk ragu. "Udah kamu buruan ajak dia pergi aja deh! Susah kalau nggak gitu," usul Bayu. "Wanda, ke sini kamu!" teriak Davin lagi. "Lo siapanya Wanda, bangkè?! Nggak usah kasar gitu sama dia!" marah Gery. Wanda menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya Bayu benar. Lebih baik ia segera membawa salah satu dari mereka pergi. Dan tentu saja orang itu adalah Davin. Mau tidak mau, Wanda segera menghampiri Davin yang masih dipegangi oleh Satria. "Wanda!" panggil Gery. Wanda menoleh, "Ger, dia sepupuku. Aku balik sama dia, ya?" pamit Wanda. Setelah itu, Wanda kembali fokus pada Davin. "Ayo pulang buruan!" ajak Wanda sambil menarik Davin. Tapi Davin masih tampak seperti tak mau beranjak. Lelaki itu masih menatap tajam ke arah Gery. "Davin, ayo buruan!" ulang Wanda sambil menarik lengan Davin lebih keras. "Kamu bikin aku kesal, Wanda," ucap Davin sebelum memutuskan untuk mengikuti Wanda. Wanda memilih untuk menulikan telinganya. Ia bahkan tidak tahu kenapa Davin tiba-tiba muncul dan menyerang Gery. Apa terjadi sesuatu yang membuat Davin marah besar, tapi tidak Wanda ketahui? 'Brakkkk' Pintu mobil Davin ditutup dengan sangat kencang oleh Wanda. Barulah setelah itu Wanda menuju samping kiri mobil. "Wan, serius kamu aman balik sama dia?" tanya Gery. "Aman. Dia sepupuku, Ger. Nanti aku jelasin di telepon. Maaf, ya," ujar Wanda. Setelah itu, Wanda segera masuk ke mobil Davin. Dan tanpa menunggu waktu lama, Davin segera menginjak pedal gasnya untuk menjaih dari area itu. Tak biasanya Davin berkendara dengan kecepatan setinggi ini. Belum lagi, Davin tak memasang sabuk pengamannya. Wanda mulai merasa was-was. Benar. Sepertinya ada hal yang membuat Davin marah besar hingga tiba-tiba bersikap mengerikan seperti ini. "Dav, pelan aja bisa, kan? Bahaya," ucap Wanda mengingatkan, tapi bak dianggap angin lalu oleh lelaki di sampingnya. "Dav, kamu dengar aku nggak, sih? Bahaya! Pelanin dikit mobilnya! Lagian kamu kenapa nggak pakai sabuk pengam- ahhhh..." Wanda memekik saat merasakan Davin mengerem mobilnya mendadak. Wanda menatap kebingungan ke arah Davin yang mencengkram erat stir mobilnya, dengan napas yang memburu. Setelah itu, Wanda mengalihkan tatapannya ke depan. Memastikan jika mereka tidak menabrak apapun yang sekiranya menjadi penyebab Davin mengerem mendadak. "Ada apa? Apa kita menabrak sesuatu?" tanya Wanda. Gadis berusia dua puluh tahun itu hendak turun dari mobil untuk memeriksanya. Tapi, sesaat sebelum ia membuka pintu, Davin menahan lengannya. "Apa saja yang kamu lakukan selama aku nggak ada, Wanda?" tanya Davin dengan nada penuh intimidasi. Wanda menyerit. Ia tidak mengerti apa yang Davin tanyakan. 'Memangnya penting buat dia untuk tahu apa saja yang aku lakukan?' batin Wanda. "Maksudnya pas kapan? Pas kamu di London, atau-" "Kapanpun itu saat aku nggak ada di sampingmu. Apa saja yang kamu lakukan?" potong Davin. Wanda masih merasa heran dengan pertanyaan Davin. Tapi gadis itu tidak mau membuat Davin semakin marah. Akhirnya ia mulai menyusun jawaban atas pertanyaan Davin. "Aku kuliah, makan, main, kadang bantu Tante Mia, terus juga-" "Maksudku bersama laki-laki di luaran sana, Wanda," potong Davin lagi. "Sama laki-laki? Oh... ya kadang keluar bareng kalau lagi ada tugas kelompok. Terus-" 'Brakkk!' Davin yang tampak tidak puas dengan jawaban Wanda meluapkannya dengan memukul kemudinya. Wanda tersentak kaget. Ia merasa, ia sudah berusaha menjawab pertanyaan Davin. Tapi kenapa Davin masih marah-marah padanya? "Sebenarnya apa yang kamu mau sih, Dav? Apa yang ingin kamu tahu? Aku udah jawab pertanyaan kamu, tapi tetap aja salah di mata kamu," keluh Wanda. "Jujur, Wan, aku nggak suka kamu terjerumus ke pergaulan bebas," jawab Davin. Wanda melongo. "Pergaulan bebas yang seperti apa? Dav, aku bahkan nggak pernah keluar malam yang nggak jelas gitu. Palingan kalau malam cuma ngerjain tugas sama Medus- eh maksudnya Melisa aja, kadang juga makan. Dan itu pun sama Melisa juga," terang Wanda apa adanya. Toh memang itulah keadaannya. Dari mananya ia bisa dibilang terjerumus ke pergaulan bebas? Davin tersenyum miring. "Nggak usah bohong! Bahkan teman cowok kamu aja urakan gitu," ujar Davin. Wanda kembali menyerit. Teman cowok yang mana lagi yang Davin maksud? "Maksud kamu Gery?" tanya Wanda to the point. "Oh, bukan teman, ya? Apa? Pacar?" "Hah?" Wanda semakin kaget mendengar pertanyaan Davin. "Dia temanku. Teman dari SMA dan kebetulan kami diterima di kampus yang sama. Cuma-" "Oh... udah lama toh deketnya? Apa aja yang udah dia kasih ke kamu?" potong Davin. Oke. Sekarang Wanda mulai mengerti arah pembicaraan Davin setelah ia menyusun polanya. Davin marah, mengatakan dia sudah terjerat pergaulan bebas, dan membahas Gery. "Kamu mikir macam-macam soal aku sama Gery? Sejauh mana yang kamu pikirkan?" tanya Wanda. "Hmm... tidur, mungkin?" ceplos Davin. 'Plakkkk' Wanda menampar keras pipi Davin hingga pria itu terlonjak kaget. Keduanya saling bertatapan. Davin dengan kilatan penuh emosi, sementara Wanda dengan tatapan penuh luka dan kekecewaan. "Kalau kamu nggak bisa menerima perasaanku, nggak perlu kamu rendahin aku, Dav!" sentak Wanda. Wanda hendak keluar dari mobil Davin. Tapi ternyata pria itu sudah lebih dulu menguncinya. "Buka, nggak?" pinta Wanda. "Jangan kekanakan! Kita belum selesai bicara!" tegas Davin. "Apa lagi? Belum puas kamu ngerendahin aku? Kalau kamu mau buat aku menjauh, nggak gini caranya, berengsèk!" kesal Wanda. "Memang aku kenapa? Aku cuma sedang berusaha jagain kamu. Niat aku baik," balas Davin. "Baik?" Wanda masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Davin. Apakah pria itu gila? Apa merendahkan seorang gadis termasuk dalam upaya melindungi? "Kamu pikir apa? Kamu di sini jadi tanggung jawab aku sama Mama, Wan. Aku nggak akan ngebiarin kamu salah jalan," ucap Davin. Wanda ingin sekali kabur, tapi ia tak bisa mengingat pintunya sudah dikunci oleh Davin. Mau tidak mau ia harus menghadapi Davin sekarang. Wanda berusaha meredam emosinya. Masalah tidak akan selesai jika ia masih emosi seperti ini. "Pertama, aku nggak terjerumus ke pergaulan bebas seperti yang kamu tuduhkan. Kedua, apapun pikiran kotor di otak kamu tentang aku, itu nggak benar. Dan ketiga, Gery dan aku benar-benar cuma berteman, dan nggak pernah melakukan hal-hal seperti yang kamu tuduhkan," terang Wanda. "Aku bahkan melihat kalian bolos dan pergi ke apartemen tadi pagi. Lalu-" "Oh, jadi kamu ngikutin aku?" Kini giliran Wanda yang berusaha menyudutkan Davin. "Tapi benar, kan? Kamu ke apartemen sama dia. Apa yang kalian lakuin kalau bukan-" 'Plakkkk' "Sudah aku bilang, hilangkan semua pikiran kotor kamu tentang aku dulu!" sentak Wanda dengan napas memburu. Davin mengusap wajahnya kasar. Ia tampak begitu frustrasi menghadapi Wanda. Tak jauh berbeda dengan Davin, Wanda pun tampak lelah dengan pembicaraan ini. "Dia ngajak aku ke rooftop buat lihat pemandangan, puas?" kesal Wanda. Davin menoleh. Apakah ia bisa mempercayai alasan konyol itu? "Aku berani bersumpah, aku nggak seburuk apa yang kamu pikirkan. Stop merendahkan aku seperti itu, Dav. Dan stop batasin ini itu di hidupku!" pinta Wanda. Davin hendak menanggapi, tapi Wanda sudah lebih dulu memotongnya. "Cukup jalani kehidupan kita masing-masing! Jangan membuat aku terus-terusan bergantung sama kamu! Karena pada akhirnya justru itulah yang akan membuat aku semakin sakit," imbuh Wanda. Setelah itu, Wanda tidak lagi bicara. Ia menatap ke luar jendela sembari berusaha setengah mati untuk menahan air matanya. Sementara itu, Davin mulai merasa iba. Apakah ia sudah keterlaluan? Apa tuduhannya terhadap Wanda salah? Apa dia sudah menyakiti gadis itu? "Wan," panggil Davin. Wanda masih pada posisinya. Diam dan enggan menanggapi ucapan Davin. "Aku minta maaf kalau-" "Aku mau pulang sekarang!" potong Wanda dengan nada dingin. "Wan, aku tahu aku keterlaluan. Aku cuma khawatir sama kamu. Wajar kan, aku nggak mau saudara aku kenapa-kenapa?" Saudara? Lagi-lagi kata itu keluar dari mulut Davin. Wanda tak bisa lagi menahan air matanya yang langsung saja mengalir setelah mendengar satu kata keramat yang paling menyakitkan itu. 'Bisa nggak sih, Dav, sehari aja kamu nggak nyakitin aku. Aku tahu rasaku ini salah. Tapi kamu tetap nggak berhak buat nyakitin aku setiap saat seperti ini,' monolog Wanda dalam hati. *** Bersambung ... Sakit banget nggak tuh kalau kalian jadi Wanda? Ibarat Davin tuh yang nyanyi lagunya Utopia yang judulnya Baby Doll. Kuajak kau melayang tinggi, dan kuhempaskan ke bumi, ku mainkan sesuka hati, lalu kau ku tinggal pergi. Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur. Maaf belum bisa balas komen satu-satu karena lagi berusaha kejar target. Tapi walau begitu aku tetap baca satu-satu kok komennya. Dan makasih buat yang pada menyempatkan komen. Aku sangat menghargai apresiasi kalian :')
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD