Mistake - 12

1640 Words
Selesai makan malam, Mia mengajak Wanda ke ruang TV. Padahal sebenarnya Wanda malas menuruti tantenya itu. Tapi ia terpaksa ikut karena Mia yang terus memaksanya. Di ruang TV, Wanda kembali merasa terabaikan karena Mia yang terlalu fokus pada Isabell. Sungguh, Wanda tahu pasti kalau Isabell bukan kerabatnya. Lalu kenapa ia bisa semudah itu dekat dengan Mia dan Davin? Apa jangan-jangan... "Iya kan, Wan?" Eh, iya apa? Apa sedari tadi Wanda kelamaan bengong sehingga tidak memperhatikan Mia yang mengajaknya bicara? "Ap- apa, Tante?" tanya Wanda dengan tergagap. "Waktu kecil, dulu Davin suka ngerecokin mainan kamu, kan? Kalau kamu punya mainan baru pasti dia umpetin biar kamu tetep mainnya sama dia mulu," jelas Mia. Ah... Wanda jadi teringat saat-saat itu. Saat di mana Davin terlalu protektif terhadapnya. Jangankan main dengan teman sebayanya, bermain dengan mainannya sendiri saja tidak boleh. Karena Davin yang terus mengajaknya main bersama. Mungkin saat itu usia Wanda masih sekitar tujuh atau delapan tahun, sedangkan Davin dua belas tahun. "Iya. Dari kecil dia emang ngeselin parah," jawab Wanda sambil tertawa. Ia bisa tertawa begitu saja hanya karena mengingat masa kecilnya bersama Davin. Dulu, rasanya, bertengkar dengan Davin sangat menyenangkan. Ia merindukan momen-momen itu. "Ternyata Davin kecil seru juga, ya?" sambung Isabell. Seketika, mood Wanda kembali anjlok saat menyadari Isabell masih ada di sana. Wanda memilih kembali diam. "Bel, mau pulang sekarang? Udah malam, nggak enak sama orang tua kamu," tawar Davin yang baru saja muncul sambil membawa kunci mobilnya. "Ya ampun, Dav, baru juga sebentar Isabell di sini. Jangan gitu ah!" tegur Mia. Wanda memilih diam dan menjadi penonton. "Udah malam, Ma," jawab Davin. "Nginep aja gimana, Bel? Nanti kamu bisa tidur di kamar Wanda, atau nggak di kamar tamu," tawar Mia. "Ma, Isabell habis dari perjalanan jauh, dia butuh istirahat. Lagian orang tuanya kan pasti kangen juga," terang Davin. Wanda menoleh ke arah Isabell. Ia benar-benar bak penonton profesional yang bisa menebak siapa yang akan berbicara setelah ini. "Iya, Tan. Isabell pulang dulu deh. Kapan-kapan Isabell main ke sini lagi," pamit Isabell. Wanda menghela napas lega mendengarnya. 'Pilihan yang bagus,' batinnya. Wanda tersenyum. Ia tidak sadar jika saat itu Davin tengah meliriknya. "Serius mau pulang? Nggak nginep aja? Tante masih betah loh ngobrol sama kamu," ujar Mia memelas. Wanda memutar bola matanya malas. Ia benar-benar tidak suka dengan keberadaan Isabell yang seolah merebut perhatian semua orang darinya. Tapi, memangnya Wanda punya hak untuk protes atau sekadar menyalahkan Isabell? "Iya pulang aja, Tante," jawab Isabell. "Ya udah yuk aku antar sampai depan!" seru Wanda penuh semangat. Mia melirik aneh ke arah ponakannya. Ia baru sadar, jika sedari tadi Wanda tampak murung, dan kini tiba-tiba ceria kembali. Wanda menggandeng tangan Isabell keluar, diikuti oleh Davin dan Mia di belakang mereka. "Wan, mau sekalian ikut nganter Isabell, nggak?" tanya Mia. "Eh?" "Wah boleh juga tuh. Kita bisa ngobrol di sepanjang jalan," sahut Isabell. Wanda melirik ke arah Davin yang kini sedang menatapnya. Ikut mengantar Isabell, lalu pulang berdua dengan Davin? Wanda menggeleng cepat. "Anu- aku.. ak- aku ada tugas resumu mata kuliah biologi," alibi Wanda. "Kamu kuliah jurusan akuntansi, kan? Mana ada mata kuliah biologi?" selidik Davin. Wanda menepuk keningnya. Bagaimana bisa nyasar sampai biologi? Bahkan sudah jelas akuntansi dan biologi ada di rumpun yang berbeda. Akuntansi IPS, sedangkan biologi amat sangat kental dengan unsur IPA. "Eh, kok biologi? Itu... pokoknya ada tugas resume gitu. Aku tadi keceplosan bilang biologi soalnya temen-temen suka ngejekin dosennya suka pakai batik motif mitokondria, habis itu asalnya dari Sangiran yang punya situs peninggalan purba banyak banget itu. Jadinya sekelas manggil dia Bapak Biologi, deh," alibi Wanda. Untung saja meskipun dulunya anak IPS, Wanda cukup banyak memahami soal IPA. Mia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan keponakan tersayangnya. Sementara itu, Isabell terkekeh. "Kamu lucu ya, Wanda," puji Isabell. "Iya aku emang lucu dan gemesin. Makasih ya," balas Wanda dengan penuh percaya diri, membuat Isabell semakin kencang tertawa. "Ya udah kalau gitu aku pamit mau nganterin Isabell dulu ya, Ma," pamit Davin. Isabell melakukan hal yang sama. Berpamitan dengan Mia, juga Wanda. Setelah itu, keduanya berbalik menuju mobil Davin. Davin tampak merangkul Isabell dengan mesra. Dan hal itu berhasil membuat Wanda mengepalkan tangannya erat. 'Sialan! Lihat dia rangkulan sama cewek lain aja rasanya bisa segerah ini,' monolog Wanda dalam hati. "Wan, masuk, yuk!" ajak Mia. Wanda tersadar dari lamunannya. Setelah mobil Davin meninggalkan pekarangan, Wanda mengikuti Mia yang sudah lebih dulu masuk ke rumah. Wanda menghempaskan tubuhnya di sofa ruang TV. Ia menatap Mia ragu, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Isabell itu siapa sih, Tan?" tanya Wanda langsung to the point. Bukannya menjawab, Mia malah tersenyum penuh arti. "Cantik, kan? Baik lagi. Anaknya juga seru," ucap Mia. Benar. Apa yang Mia katakan memang benar. Tapi masalahnya, itu tidak bisa menjawab pertanyaan Wanda sebelumnya. "Iya cantik, baik dan seru. Cuma, dia siapa? Kayaknya Wanda baru kali ini ya ketemu dia?" tanya Wanda lagi. Ia begitu penasaran dengan siapa sebenarnya gadis yang baru ia temui itu. "Ah... dia pacarnya Davin. Mereka kenal saat di London, sama-sama kuliah S2 di sana. Tante belum cerita, ya?" Wanda membulatkan matanya. Apa kata Mia tadi? P A C A R ? Davin punya pacar? Astaga, kenapa tak terpikirkan di benak Wanda kalau gadis itu mungkin saja adalah pacar Davin? Apa Wanda lupa jika ia dan sepupunya itu sudah sama-sama dewasa dan mungkin saja memiliki kekasih? "Lah, Wan, kok malah bengong?" tegur Mia. "Eh... it- itu. Nggak nyangka aja sekarang aku sama Davin udah dewasa. Iya, ya? Bener juga. Udah waktunya Davin punya pacar," ujar Wanda. Mia tersenyum. "Kalau Davin mah sebenarnya udah umur nikah. Kamu tuh yang harusnya pacaran di umur-umur segini. Gimana? Udah ada?" Wanda menelan salivanya kasar. Ia masih tergoncang dengan kenyataan bahwa Davin sudah memiliki kekasih. Dan... gadis itu secantik Isabell? Kenyataan itu seakan memukul kuat Wanda untuk mundur. Dadanya terasa sesak. Sepertinya, ia akan kesulitan menahan tangisnya malam ini. Ia tidak mau terlalu lama di sini dan membuat Mia curiga. Biar bagaimanapun juga, Wanda masih cukup sadar jika perasaannya ini adalah sebuah kesalahan yang pastinya tidak akan disukai orang lain, terutama Mia. "Hmm... itu, Wanda mau fokus belajar dulu. Oh iya, Tante. Wanda mau ke kamar dulu, ya. Mengerjakan tugas sejarah," pamit Wanda. "Sejarah? Anak akuntan punya tuhas sejarah juga, ya?" selidik Mia. "Eh itu, maksudnya yang tadi Wanda depan waktu di depan. Dosennya kan berasal dari Sangiran yang kaya akan peninggalan zaman pra-sejarahnya. Jadi ya gitu, selain Bapak Biologi, kami juga sering menyebutnya Bapak Sejarah," alibi Wanda. Keadaan yang mendesak membuat Wanda perlahan mulai pintar. "Oh, si Bapak yang sering pakai batik motif mitokondria itu, ya?" tanya Mia. Wanda mengangguk saja. Toh ia sendiri yang tadi mengarang itu. "Ya udah sana, belajar yang bener biar nanti IP nya bagus!" ucap Mia menyemangati. Wanda kembali mengangguk. Setelah itu, ia meninggalkan Mia sendirian di ruang TV. "Huft, kasihan Wanda. Dia pasti kesal sedari tadi aku abaikan. Aku terlalu fokus sama Isabell. Harusnya tadi aku kasih waktu mereka buat ngobrol dan saling kenal juga," gumam Mia. Sepertinya ia benar-benar tidak sadar jika Wanda memiliki perasaan terlarang pada putra tunggalnya. Sementara itu, di kamar, Wanda mulai menangis sejadi-jadinya dengan diredam bantal. Ia bak remaja yang telat berkembang. Di usia dua puluh tahun, ia baru merasakan apa itu yang dinamakan patah hati. Dan ternyata, rasanya memang sesakit ini. Kini Wanda mengerti kenapa teman-teman SMA nya dulu sering menangis saat mengetahui gebetan mereka pacaran dengan orang lain. Lebih dari sekadar mengerti, kini bahkan Wanda harus merasakan sendiri betapa dahsyatnya sakitnya patah hati. "Kenapa sih kita dewasa secepat ini? Kenapa harus kita sampai di usia ini sebelum aku move on? Rasanya nggak rela banget ada cewek yang lebih kamu utamain daripada aku. Aku tahu kita nggak akan mungkin bisa bersama. Tapi aku masih nggak rela ngebiarin kamu jadi punya orang lain, Dav," ucap Wanda di tengah isakkannya. Wanda masih menutup rapat wajahnya dengan bantal. Berusaha meluapkan semua kesakitannya tanpa seorang pun yang mendengarnya. Kini, tekatnya sudah bulat. Ia benar-benar akan pergi dari tempat ini. Benar, Davin sudah dewasa. Begitupun dengan dirinya. Sudah saatnya Wanda untuk mandiri dan lepas dari bayang-bayang Davin. Wanda segera bangkit dari kasurnya dan mengetikkan pesan untuk ayahnya di Bandung. Wanda meminta izin untuk ngekos di tempat yang lebih dekat dari kampusnya. Ia menjadikan skripsi sebagai alasannya. Meski sebenarnya, bahkan judulnya saja ia belum terpikirkan. 'Ayah, Wanda kan udah mau skripsian. Kalau skripsian nanti Wanda pasti sering ke kampus di luar jam kuliah juga. Terus, harus dekat print-print an juga. Kalau dari sini, jauh, Yah. Boleh nggak Wanda ngekos aja? Wanda bisa jaga diri kok. Wanda udah dewasa, dan udah paham sama keadaan Jakarta setelah dua tahun tinggal di sini.' Setelah mengirim pesan itu, Wanda kembali membanting tubuhnya ke kasur. Ia berusaha memejamkan matanya meski rasanya sulit. Bukannya tertidur, air matanya malah semakin deras berjatuhan. Ia benar-benar tidak bisa menahannya. Rasanya sangat sakit. *** Bersambung ... Gitu bukan sih rasanya patah hati? Udah lama aku nggak ngalamin :D Kira-kira, ayah Wanda bakal ngasih izin Wanda buat ngekos nggak ya? Kalau enggak, apa Wanda akan menyerah dan pasrah? Jujur ya, aku yang di Jogja aja susah dapat izin ngekos. Dulu harus perjalanan pulang-pergi hampir sejam sekali jalan buat ke kampus. Dan itu berlangsung selama hampir empat tahun :') Aku bukan anak ekonomi. Takut salah-salah bawa mata kuliahnya. Makanya aku belokin aja ke evolusi (biologi sama sejarah) buat meminimalisir kesalahan. Karena kalo evolusi, aku dikit-dikit lebih paham karena aku bidangnya emang di Biologi. Sekalian buat hiburan juga :D Lalu soal motif batik mitokondria, mitokondria itu adalah salah satu organ sel di tubuh kita. Dulu, waktu SMK benar-benar ada guru yang sering banget pakai batik motif Mitokondria dan aku sama temenku sering bilang "Bu Mitokondria". Itu kami ingat sampai sekarang :D Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. See you in the next chapter :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD