Part 5 Aku Tak Akan Menceraikanmu!

1258 Words
Dan di sinilah kami berada, di ruang keluarga, di hari Sabtu. Hanya ada kami berdua, aku dan Mas Nino. Si kembar sudah aku ungsikan sedari pagi ke rumah Mbak Rara dengan alasan mau main bareng Ara. Kami duduk berhadapan. Tampak wajah Mas Nino yang frustasi. Aku? Di luar aku tampak santai, legowo, tapiii di dalam hatiku, sungguh hancur lebur. "Siapa perempuan itu, Mas?" Aku tak mau berbasa-basi lagi. Cukup sudah selama ini basa basi yang kulakukan demi mempertahankan rumah tangga ini. Mas Nino mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk, dia menatapku sedih. Wajahnya tetap tampan, aah suamiku itu memang selalu tampan. "Namanya Nania, sekretaris Banyu." Jawabnya lemah. "Sudah berapa lama kalian bermain di belakangku?" Kembali Mas Nino menatapku. Dia menggeleng perlahan, entah kenapa. "Empat bulan." Aku mencoba mengingat sekira empat bulan lalu ada kejadian apa. Nothing's special. Gak ada kejadian spesial apa pun, kecuali memang mulai empat bulan lalu Mas Nino pulangnya jadi lebih malam. "Pantas saja Mas jadi sering main ke kantor Mas Banyu ya? Mbak Rara cerita ke aku, sebenarnya heran, tapi aku sendiri juga gak tahu." Aku menghela nafas dan mengehembuskannya dengan kuat sebelum berkata, "Kalian berzina?" Mas Nino langsung melihat ke arahku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Marah? Mungkin. "Kami menikah siri dua bulan lalu." "Berarti perzinahan kalian terjadi dua bulan sebelumnya kan? Nekat kamu Mas! Kamu kepala keluarga ini. Kamu sebagai nakhoda membawa bahtera ini ke neraka." Aku mulai bersuara dengan nada meninggi. Kami berdua terdiam. Masih saling pandang. Aku sungguh kecewa padanya. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran, dan aku harus tahu apa jawabannya. "Kenapa kamu lakukan ini Mas? Setelah delapan tahun pernikahan kita? Kukira kita baik-baik saja, pernikahan kita baik-baik saja. Tapi ternyata tidak.” Tarik nafas panjang, hembuskan... Tarik nafas panjang, hembuskan… "Apa kekuranganku? Apa kesalahanku? Apa yang perempuan itu punya yang aku tak punya, hingga kamu tega selingkuh?" Aku menuntut jawaban. Walau sebenarnya mungkin jawaban atas pertanyaanku itu akan sungguh menyakiti hatiku, tapi aku tak peduli. Aku harus tahu, kenapa! Gantian Mas Nino yang menghela nafas panjang. Mungkin dia tidak mau menjawab pertanyaanku, tapi karena aku terus menuntut akhirnya dia bicara juga. "Kamu tak punya kekurangan, kamu tak punya kesalahan apa pun. Kamu sempurna." "Kalau begitu kenapa kamu selingkuh Mas?" Cecarku. “Kalau aku memang sesempurna seperti yang kamu katakana, kamu pasti tidak akan berselingkuh. Selama ini kita bahagia kan?” "Karena aku...., aku minder padamu. Kamu perempuan hebat. Segala bisa. Kamu cantik, baik, cerdas, sholeha, pintar mengurus rumah tangga, dan karir cemerlang. Tak ada kekurangan pada dirimu. Bahkan untuk mengganti ban mobil bocor atau ganti oli motor, cuci mobil motor, atau mencat tembok, semua bisa kamu lakukan sendiri." Twuiiing... wuiiing... wuiiing.... Sebentar, jadi alasan di balik selingkuhnya adalah karena dia minder? Merasa inferior? Dan aku superior? Aku kok jadi gagal paham. "Karena aku tak mau merepotkanmu, Mas. Mas pulang kerja sudah capek, aku bisa lihat itu. Kalau aku recoki dengan hal-hal sepele seperti itu, kasihan kamu Mas. Mas tahu aku kan, aku tak akan minta bantuan selama aku bisa lakukan sendiri. Menjadi satu-satunya anak perempuan di keluarga, membuatku mendapat didikan yang sama dengan anak laki-laki abi yang lain." "Penghasilanmu jauh lebih besar daripada aku. Aku tambah minder. Sepertinya sebagai suami aku gak ada guna sama sekali." "Tapi aku tak pernah mengungkit hal itu, tak pernah mempermasalahkan akan hal itu, Mas. Aku menerimamu sepaket, apa adanya. Aku tetap menghormatimu, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga." "Pernahkan aku menghinamu, Mas?" Mas Nino menggeleng. "Jadi alasan kamu selingkuh karena kamu merasa minder? Merasa inferior? Dan aku superior?" Kembali aku berusaha memastikan alasan perceraian kami. Dia mengangguk. "Pernahkan mas berpikir aku melakukan itu karena aku tak mau merepotkanmu? Karena aku tak mau kamu tambah kecapekan? Karena aku menghormatimu?" Dia terdiam sejenak, sebelum menggelengkan kepalanya dan menunduk. "Kenapa mas gak mau bilang padaku? Aku bisa berubah walau itu sulit." Kami berdua terdiam. "Kenapa mas gak bilang kalau mas ingin menikah lagi? Aku bisa ijinkan kalau mas bilang dengan jujur." Kulihat Mas Nino kaget dengan perkataanku. "Kamu akan ijinkan?" Tanyanya takjub. "Tentu saja, kenapa tidak?" Jawabku sambil tersenyum misterius. "Tapi tentu saja setelah kita resmi bercerai!" Lanjutku. "Ceraikan aku, mas. Aku tak mau dimadu. Aku tak mau ada orang lain di pernikahan kita." "Aku tak akan menceraikanmu." Katanya perlahan, tangannya terkepal seperti menahan emosi. Wajah putihnya memerah. "Mas..." kusentuh tangannya perlahan, "Tangan ini, yang selama ini bekerja keras menafkahi keluarga ini. Kelak di akhirat nanti dia akan bercerita apa saja yang sudah dilakukannya di dunia. Jangan sampai nanti tangan ini, mas gunakan untuk menyakitiku atau anak-anak, karena hasutan perempuan itu. Akan hilang nanti berkah tanganmu, Mas." Tuturku dengan lembut. Jika ada yang mengharapkan air mata di sini, jangan harap ya. Air mataku sudah habis, menetes di tiap malam, menemani sholatku, saat aku mengadu pada-Nya. Aku berusaha tegar. Harus! Demi anak-anak! Sakit hati? Tentu! Dendam? Sepertinya tidak. Bagaimanapun juga Mas Nino adalah ayah dari anak-anakku. "Aku tak akan menyakiti kalian!" Dia bergumam. "Jangan berjanji, untuk hal yang Mas sendiri tak tahu, tak yakin. Sudah banyak kejadian seperti itu. Aku yakin, perempuan itu pasti memintamu untuk menceraikanku kan? Dan melegalkan pernikahan siri kalian?" Diamnya Mas Nino membuatku yakin dengan perkataanku tadi. "Aku benar kan Mas? Baru beberapa bulan dan dia sudah minta itu. Apalagi kalau sudah lama, entah apa yang bisa dia minta." "Aku akan membuat surat perjanjian dengannya." Mas Nino masih saja berusaha meluluhkan hatiku. "Tentang apa? Harta? Aku tak butuh duniawi mas. Yang kubutuhkan hanya anak-anakku." "Kumohon ceraikan saja aku, Mas!" ~~~ Beberapa hari kemudian, Mas Nino memberikan sebuah amplop cokat padaku," Apa ini mas?" Mataku menyipit melihat amplop berwarna coklat itu. "Itu... surat perjanjian. Bacalah." Nada suara suamiku bergetar. Kulihat ada kilat kesedihan di matanya. Kubuka amplop itu, k****a dengan perlahan. Sejujurnya aku sudah bisa menduga isi suratnya, tapi tetap saja aku tak menyangka, ini akan nyata terjadi. Aku mencoba tetap tegar, tersenyum ke arah suami tampanku. Tidak, tidak ada air mata mengalir. Sudah kubilang air mataku sudah habis tiap malam saat aku bersujud pada-Nya, memohon ampun dan petunjuk. Surat itu berisi perjanjian yang ditujukan untuk perempuan itu, bahwa harta warisan akan jatuh kepada si kembar. Dia, tak berhak akan rumah, atau mobil yang sudah kami punyai. Sudah kubilang, aku tak butuh duniawi. Aku masih bisa mencukupi kebutuhan anak-anak. Lagipula aku tak yakin, perempuan itu diam saja, mau menerima surat perjanjian ini. Bisa jadi itu hanyalah akal-akalan dia saja di awal sebelum akhirnya dia berniat untuk menguasai semuanya. "Kenapa aku tidak kamu ceraikan saja, Mas? Jadi kalian bisa lebih leluasa." Mas Nino melihat ke arahku. Terkejut. Mungkin dia kaget dengan reaksiku yang tampak biasa saja. Padahal, sungguh, aku ingin menjerit, melampiaskan semua kekesalan dan kekecewaanku padanya, suamiku, yang tega berselingkuh. Mas Nino menolak melihatku. Dia memalingkan wajahnya. Malahan dia yang menangis. "Ceraikan aku, Mas. Jadikan perempuan itu istri sahmu. Si kembar ikut bersamaku." Bahkan untuk menyebut nama perempuan itu pun lidahku kelu. "Aku tak akan menceraikanmu. Tidak." Kulihat tangan Mas Nino terkepal. Menggeleng keras, tapi dia masih belum mau melihatku. Kudekati dia, kutangkup wajah tampan suamiku. Sambil tersenyum aku berkata, "Di agama kita, seorang lelaki bisa memeliki sampai empat istri asalkan dia bisa memenuhi persyaratan. Salah satunya bersikap adil. Bahkan Aisyah ra pun pernah cemburu pada istri Rasul SAW yang lain. Aku bukanlah Aisyah ra yang berakhlak sungguh mulia. Dan kamu pun bukan Nabi yang bisa adil. Daripada kita sering bertengkar nantinya, timbul dosa, lebih baik kita bercerai." Kukecup lembut bibirnya, sedikit kulumat. Dan kemudian aku pergi menuju kamar anak-anak. Aku tak mau berada di rumah ini lagi. Sudah cukup peranku sebagai istrinya. | | | Jakarta, 6 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD