Part 4 Ketika Cinta Tak Lagi Cukup

1167 Words
Keesokan pagi, aku terbangun pukul tiga. Terbiasa bangun jam segitu untuk sholat tahajud dan kemudian beberes masak untuk sarapan dan bekal si kembar yang sekolahnya full day school. Aku lumayan hobi masak. Dan semakin rajin belajar otodidak dari youtube ataupun dari Bude Prasodjo dan Mbak Rara yang memang jago masak. Kadang, untuk melepaskan emosi, salah satu caraku adalah dengan memasak. Aku akan memasak banyak sekali macam makanan. Kalau sudah begini, biar tak mubazir maka akan dibagi dengan tetangga. Pagi ini aku memasak nasi gurih, ikan nila goreng, sambal dan lalap untuk sarapan. Untuk bekal si kembar aku membuat nas kepal nori isi tuna pedas beserta cemilannya, sosis dan kentang goreng. Buatku yang terbiasa food combining hanya minum jus buah di pagi hari, dan makan sarapan berat sekira jam setengah sepuluh. Puas dengan hasil masakanku, aku segera memanggil si kembar untuk sarapan. Aku sendiri sudah siap ke kantor, sudah wangi, berdandan cantik, pakai lipstik berwarna lebih terang dari biasanya. Sebenarnya karena lipstikku yang berwarna cokelat bata sudah habis dan aku lupa beli. Biarlah kali ini pakai warna lebih terang. Kebetulan ada stock satu lipstick warna merah terang. "Eeh jangan lupa baca doa sebelum makan." Tegurku ke si kembar yang sudah heboh mau langsung makan. "Iyaaa... siaaap bundaaa..." "Eeh kok ada yang beda ya dari bunda?" Tanya Ilyasaa, si kecil yang lebih cerewet, saat melihatku. "Apa ya?" Dia tampak mengerutkan keningnya, menggemaskan sekali. Melihat anak umur tujuh tahun yang berpura berpikir. Tampak Ilyas, si sulung beda sepuluh menit yang lebih kalem dibanding adiknya, langsung memperhatikanku juga, dan dia tersenyum. "Aah aku tahu..." kata Ilyas, "Bunda pakai lipstik warna lebih merah. Bunda cantik banget deh. Ilyas suka." Kata si sulung kemudian mencium pipi kananku. Disambung si bungsu di pipi sebelah kiri. "Hahahaha... aduuh ampuun stop stop... makannya diselesein dulu gih, biar cepet berangkat. Hari ini berangkat sama bunda yaa..." "Iyaa asyiik..." mereka berdua menjerit kegirangan. "Eeh ayah... sini yah, kita sarapan bareng. Tumben ayah bangun kesiangan." Celetuk Ilyasaa yang memang lebih dekat ke Mas Nino dibanding kakaknya. Mendadak badanku tegang. Dari semalam, belum ada percakapan di antara kami berdua. Mas Nino duduk tepat di depanku. Tampak lingkar mata yang sedikit menghitam. Mungkin tidurnya tidak nyenyak. Aku berpura sibuk dengan minum jus buah naga, kemudian segera memakan beberapa buah potong. Aku tahu Mas Nino melihatku dengan intens. Mungkin dia juga merasa ada sesuatu yang berbeda padaku seperti si kembar. "Kok ayah gak cium bunda seperti biasanya?" Celetuk Ilyasa. Yaa, kebiasaan Mas Nino tiap pagi adalah mencium kedua pipiku dan berakhir dengan kecupan lembut di kening. Itu dilakukannya di depan si kembar. Tahukah kenapa sebaiknya suami mencium kening istri? Karena itu akan menggugurkan dosa antara suami istri. Tapi tidak sekarang, aku masih marah. "Ah yaa, ayah lupa..." Jawab Mas Nino, menggeser kursinya sedikit ke belakang, dan hendak berjalan menuju ke kursiku. Badanku semakin tegang. Tidaaak, aku belum siap menerima sentuhannya. Tapi saved by the bell, ponselku bernyanyi dengan nyaring. Kulirik layar lcd ponsel pintarku, tertera nama Pak Ghieyas, atasanku di kantor. "Yaa..., Assalamualaikum Pak Ghie..." Jawabku segera beranjak berdiri sambil membawa piring kotor ke pantry. Sengaja kulakukan agar Mas Nino tidak jadi mencium pipi dan keningku. Bukannya aku mau membalas dendam,tidak. Aku hanya belum siap untuk menerima sentuhan fisik darinya. Jauh di lubuk hatiku, ada nyeri terasa tiap kali mengingat pengkhianatannya. Kulirik Mas Nino yang mematung dan tersenyum kecut ke arah si kembar karena gagal menciumku. "Iyaa... pak, sip, jam delapan kan? Insya Allah habis mengantar si kembar saya langsung pergi ke klien. Kita ketemu saja di situ ya. Assalamualaikum." Aku segera berjalan menuju kamar untuk memakai jilbab. Hari ini aku memakai jilbab warna biru elektrik sedangkan pakainku dominan warna pink. Baju ini jarang kupakai tapi entah kenapa aku ingin sekali memakainya hari ini. Agar auraku tidak semuram hatiku, jadi sengaja memakai pakaian warna cerah. Selesai memakai jilbab, aku bersiap berangkat. Pak Manan, supir kantor, sudah memanaskan mobil dari tadi. "Ayuuk sayang kita berangkat, biar bunda gak kesiangan." Ajakku ke si kembar, dan disambut dengan anggukan mereka. Mereka segera mencium punggung tangan Mas Nino dan masuk ke mobil. Saat aku hendak masuk mobil, Ilyasaa berkata,"Kok bunda gak cium tangan ayah?" Nada suaranya terdengar heran. “Kenapa hari ini ayah dan bunda kok berbeda ya? Kaya lagi marahan gitu?” Lanjutnya. Dengan sangat terpaksa, aku membuka pintu mobil, segera mengulurkan tanganku dan mencium punggung tangan Mas Nino secepat kilat dan segera masuk mobil lagi, demi menghindari Mas Nino menciumku. Sempat kulihat sorot kekecewaan di matanya. Tapi aah apa peduliku? Dia yang mulai bukan aku. ~~~ Beberapa hari ini berlangsung sangat monoton. Sepulang kantor, aku langsung beberes rumah, masak untuk makan malam, menemani si kembar belajar sebelum akhirnya tidur. Aku sengaja menghindari aktivitas ranjang dengan Mas Nino beberapa hari ini. Aku masih sangat marah dan kecewa padanya. Tapi sepertinya malam ini aku tak bisa menghindar. Bagaimanapun juga status kami suami istri sah, dan aku akan dilaknat malaikat jika sampai menolak keinginan suami. Biarlah, demi tak mau dilaknat para malaikat, aku akan melayani Mas Nino. Kulihat Mas Nino tersenyum senang karena aku tak menolak ajakannya. Yaa, aku memang tak menolak, tapi aku juga tak mau merespon setiap sentuhannya. Aktivitas ranjangku bagaikan patung. Aku hanya diam saja, sama sekali tak mau membalas setiap kecupan ataupun sentuhan Mas Nino di tubuhku. Walaupun, demi Tuhan, aku ingin sekali mendesah, merasakan nikmatnya sentuhan Mas Nino yang jujur, sangat kurindukan. Selesai aktivitas ranjang kami, seperti biasa Mas Nino akan mencium keningku. Kali ini aku tak bisa menolak, karena dia mengungkung tubuhku dalam pelukannya. Lagipula, aku sangat lelah, lahir batin. Lelah di kantor, di rumah dan lelah di hati. Aku memunggungi Mas Nino, rasa di d**a kiriku masih sakit. Ada air mata mengalir di pipiku, dan kurasakan ada jemari kokoh menghapus air mata itu perlahan. "Maaf... maafkan aku..." Permohonan maaf itu disertai kecupan berkali-kali di kepalaku. Tidak, Tuhan... jangan sampai aku luluh. Aku sungguh mencintai Mas Nino, tapi aku juga tak sanggup menerima pengkhianatan ini. Lupakah ia pada janjinya di depan penghulu dan Tuhan delapan tahun lalu? Lupakah ia pada janjinya pada abi untuk tidak akan menyakitiku? Akhirnya aku beranjak perlahan, menuju kamar mandi untuk mandi besar. Janaba. Hal yang sebelumnya tak pernah kulakukan setelah aktivas panas kami. Biasanya kami akan berpelukan, berciuman sebelum akhirnya Mas Nino ataupun aku minta nambah untuk ronde berikutnya. Tapi kali ini, sepertinya mulai malam ini, aku akan langsung mandi janaba untuk menghilangkan jejak Mas Nino di tubuhku. Dan Mas Nino tampak semakin sedih melihat hal itu. Selesai mandi besar aku mengambil mukena dan berkata pelan, "Aku akan tidur bersama si kembar." Mas Nino, yang sebelumnya duduk di pinggir kasur dengan kepala menunduk, tampak bingung, mendadak dia berdiri dan menyusulku. Memeluk tubuhku dari belakang, kembali mencium pucuk kepalaku dan mengucap maaf berkali-kali. Percuma saja! Tak akan mengubah apa pun. Tapi aku bergeming, diam saja, mematung. Aku tahu, ini harus segera diselesaikan. Cepat atau lambat, hanya masalah waktu saja sebelum rumah tangga kami berubah menjadi neraka. Bagiku, bagi Mas Nino dan bagi anak kembar kami, Ilyas dan Ilyasaa. | | | Jakarta, 5 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD