Part 3 Dia, Pelakor itu..., Hadir!

1936 Words
Setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan, akhirnya Abi dan Mas Alif menyetujui pinangan Mas Nino. Tapiii banyak sekali syarat yang diajukan oleh keduanya. Salah satunya yang terpenting, Mas Nino harus membahagiakan aku, tidak boleh membuatku meneteskan sebulir pun air matapun! Buseet dah syaratnya... Tiga bulan setelah kedatangan yang pertama, akhirnya papa dan mama Mas Nino resmi melamarku. Karena aku anak perempuan satu-satunya, resepsi pernikahan kami cukup megah. Tanpa kutahu ternyata Abi dan Umi sudah mempersiapkan biaya untukku menikah dari semenjak aku masih SMU! Aku cuma mengajukan dua syarat ke Mas Nino. Pertama, aku tetap boleh kuliah lagi untuk program master di kampus lamaku. Kedua, ini yang kurasa paling berat untuk semua laki-laki, aku tidak mau dipoligami. Hanya boleh ada aku dan anak-anak kami kelak, di hati Mas Nino. Bersyukur dia menyanggupinya. Tak butuh waktu yang lama untuk membuatku jatuh cinta padanya. Dia penuh perhatian, bertanggung jawab dan romantis. Satu hal yang sebenarnya membuatku merasa was-was. Katanya kalau cowok romantis sering gak benar deh. Tapi, aku berusaha agar perhatian dan cintanya hanya untukku. Aku banyak bertanya pada Mbak Rara, yang ternyata sangat bahagia menikah dengan Mas Indra. Mbak Rara berpesan agar masing-masing bisa membawa diri, menempatkan diri sesuai porsinya. Nino sebagai kepala keluarga dan aku sebagai istri, sebagai makmum. Saling mengerti, menghormati dan jujur. Apalagi hanya berselang tiga bulan kemudian aku positif hamil. Kehamilanku membuat Mas Nino semakin menyayangiku, menuruti semua keinginanku. Padahal kehamilanku gak rewel loh. Aku masih tetap kerja dan kuliah. Hanya saja dengan kehamilan kembar, ternyata tak semudah yang k****a dari buku-buku tentang kehamilan, ataupun dari cerita teman-teman yang sudah punya anak. Aku jadi lebih cepat capai. Emosi juga jadi labil. Mungkin pengaruh hormon kehamilan dan usiaku yang masih cukup muda. Untungnya hamil hanya sembilan bulan, tidak setahun! Tapi aku belum sampai sembilan bulan sih, sudah harus "terpaksa" melahirkan, atas saran dokter tentunya. Satu anak, satu kebahagiaan. Tapi dengan anak kembar? Double kebahagiaan tentu saja. Anak kami kembar, keduanya jagoan. Membuat Mas Nino semakin bangga. Sering kali senyum sendiri, dan memamerkan jagoan-jagoan kami dengan bangganya ke teman-teman dan tetangga. Apalagi kalau pas kumpul bareng dengan Mbak Rara dan Mas Indra, yang anak pertama juga laki-laki; Agni dan Rendra yang anak pertama juga laki-laki. Hanya Mas Banyu saja yang belum menikah. Jadi, tentu saja dia sering jadi korban perundungan kami, yang hanya dibalas dengan senyum sabar khas Mas Banyu. Aku sering memergoki Mas Banyu yang sedang mencuri pandang, menatap sendu Mbak Rara dengan mata penuh rindu. Kasian dia jadi lagamon alias laki-laki gagal move on. Dan ternyata saudara-saudara, punya anak kembar yang keduanya jagoan cukup memusingkan kepalaku. Aaaggh... rumah kok gak pernah beres, seperti kapal pecah, kena badai, karam, hanyut diterpa ombak. Aah yaa, bukan hanya dua anak lelaki yang aku punya, tapi tiga! Karena termasuk Mas Nino, yang seringnya bertingkah seperti anak kembar kami. Mas Nino sungguh sangat memanjakan si kembar. Semua permintaan mereka pasti dituruti. Sedangkan aku, terbiasa dididik keras oleh Abi, bertindak layaknya ibu pada umumnya. Lembut, halus tapiii tegas. Aku gak mau anak kembarku kelak jadi anak manja. Lahir dari keluarga berkecukupan, tak boleh membuat mereka bermental lemah. Bisanya cuma minta tanpa usaha. Mereka harus tahu bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu harus dengan usaha, tidak bisa langsung ujug-ujug ada di depan mata tanpa usaha. Tapiii yaah namanya juga seorang ayah. Mau sebandel apapun anaknya, karena merasa sesama jagoan, kadang mereka suka mengerjaiku. Ngambek bareng, bertiga! Kalau keinginan mereka gak aku penuhi. Duuh, mungkin ini yang Umi rasakan ya. Misal, mereka ngotot mau nonton End Game. Padahal kan si kembar masih kecil. Aku, memang gak begitu suka nonton film, kecuali news dan Discovery, NG, pilih film bertema anak-anak yang sesuai umur mereka. Tentu saja mereka, tiga jagoanku, ngambek berjamaah. Gak mau makan, gak mau belajar. Akhirnya dengan berat hati aku menuruti keinginan tiga jagoanku itu. Mereka nonton bertiga, dan aku shopping sendirian hehe. Sebuah penyelesaian masalah yang pintar kan? Tak terasa si kembar sudah tujuh tahun. Delapan tahun sudah pernikahanku dengan Mas Nino. Alhamdulilah Mas Nino sungguh berubah. Beda dari dia saat bujang dulu. Aku sungguh bersyukur akan hal ini. Tak lagi dia berulah macam-macam. Kata Mbak Rara, asalkan perut dan di bawah perut terpuaskan, gak akan neko-neko deh suami. Jadi aku menuruti saran itu. Tapi, musibah menimpa Mbak Rara. Mas Indra meninggal karena kecelakaan mobil. Meninggalkan Mbak Rara yang sedang hamil muda, dua bulan sepertinya. Alhasil, kami saudara dan teman-temannya tentu saja berusaha sekuat tenaga agar Mbak Rara tetap tegar, dan bisa melanjutkan hidup bersama Ara. Tak ketinggalan proyek perjodohan kembali Mas Banyu dan Mbak Rara. Kata Mas Nino, yang jadi tempat curhatan setia Mas Banyu, Mas Banyu sungguh masih mencintai Mbak Rara. Sekarang berusaha sekuat tenaga untuk kembali mendapatkan Mbak Rara. Maju mundur! Mas Nino sendiri sampai uring-uringan karena kemajuan perjodohan Mbak Rara dan Mas Banyu yang maju mundur. Tapi dengan kesabaran Mas Banyu yang sungguh luar biasa, akhirnya mereka bisa bersatu juga. Aaah bahagianya Mbak Rara. Dicintai tulus oleh dua lelaki yang berbeda. Semoga, kali ini pernikahan Mbak Rara dengan Mas Banyu akan langgeng selamanya. Hanya saja, beberapa bulan setelah itu, aku merasakan perubahan sikap Mas Nino. Sekarang jadi sering pulang telat. Biasanya, kami bisa sholat magrib berjamaah di rumah. Tapi sekarang, dalam seminggu mungkin hanya satu dua kali saja. Anehnya lagi, aku sering melihat Mas Nino senyum-senyum sendiri. Aku tidak mau curiga. Tidak, atau belum? Aku jadi was-was. Bagaimanapun juga dengan track record mantan player wahid, aku takut suatu saat sifat itu akan datang lagi. Bahkan sekarang ini kalau menerima telepon, Mas Nino seringkali menjauhkan diri dari kami. Padahal biasanya dia menerima telepon sambil bermain dengan si kembar. Sudah beberapa kali weekend Mas Nino beralasan ada acara kantor atau tugas kantor yang sangat urgent. Sehingga si kembar sering sedih karena waktu bermain bersama ayahnya jadi sangat berkurang. Terkadang membuat si kembar jadi ngambek ke ayahnya. Suatu hari, tak sengaja aku menelpon Mbak Rara. Aku tahu seharusnya aku menyimpan rahasia ini sendiri, tapi aku tak tahan lagi. Aku hanya bilang ke mbak Rara kalau Mas Nino mendadak berubah. Kenapa aku cerita ke Mbak Rara? Karena waktu itu Mbak Rara pernah menanyakan apakah hubunganku dengan Mas Nino baik-baik saja. Aku jawab iya, walaupun sebenarnya mungkin tidak. Sudah mulai ada pertengkaran di antara kami. Keharmonisan rumah tangga kami terkikis tanpa aku tahu sebabnya. Saat aku tanya kenapa, apakah ada yang salah, Mas Nino selalu menghindar dan bilang tak ada apa-apa. Dia hanya mengeluh sungguh capai karena pekerjaan yang overload. Awalnya aku memaklumi. Sejak awal pernikahan Mas Nino memang sering keluar kota. Tapi intensitasnya berkurang saat si kembar lahir. Dan sekarang semakin sering keluar kota dengan alasan tugas kantor. Tapi yang membuatku curiga, kadang kala kemeja yang dipakai Mas Nino harum parfum perempuan. Aku tahu itu bukan harum parfumnya atau parfumku. Tapi kalau aku tanya, Mas Nino hanya mengelak, dan menuduhku mencurigainya. Setelah itu tentu saja kami bertengkar hebat. Beberapa bulan ini uang gaji yang diberikannya kepadaku semakin berkurang. Awalnya aku tidak ngeh, toh karena aku juga punya gaji sendiri, yang kadang kala lebih besar daripada yang diberikan Mas Nino. Aku tak pernah bilang akan hal ini. Aku takut ketimpangan pendapatan kami akan melukai ego laki-lakinya. Kenapa bisa lebih besar? Karena sebagai seorang konsultan ahli lingkungan, aku sering diundang sebagai narasumber untuk seminar atau membuat proyek tertentu. Pikirku, toh ini uang kami, uang anak-anak. Tak perlu dipermasalahkan. Dan memang aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Puncaknya, aku merasa Mas Nino jadi semakin jarang meminta jatahnya tiap malam. Sebelumnya bisa seminggu 4-5 kami. Hahaha hebat kan? Tapi sekarang, mungkin hanya seminggu sekali. Kadangkala kalau aku lagi kepingin banget dan mencoba merayunya, Mas Nino hanya bilang capai. Aaah... kalau sudah begitu, aku cuma bisa bersujud, menangis. Perempuan kan juga punya rasa kepingin terutama saat mendekati tamu bulanan datang, walau tidak sehebat keinginan para lelaki. Aku mencoba bertahan. Demi si kembar tentunya. Umi curiga dengan perubahan sikapku. Tapi aku berhasil menyakinkan Umi bahwa aku baik-baik saja, bahwa pernikahan kami baik-baik saja, walau sebenarnya tidak. Aku belum tahu permasalahan yang sebenarnya apa, jadi lebih baik biarkan saja begini dulu. Toh serapat-rapatnya menutupi bangkai, akhirnya baunya akan menyebar juga. Sepandai-pandainya tupai melompat, kelak akan kepleset juga, jatuh. Dan peribaha itu terbukti. Saat ini, di depanku, aku melihat sepasang manusia yang sedang dimabuk asmara, sedang makan malam di sebuah restoran fine dining yang lumayan elit. Emosi? Marah? Kecewa? Tentu saja! Apalagi perempuan itu sungguh cantik dan berpenampilan menggoda iman laki-laki hidung belang. Aaah, pantas saja, hal ini menjawab semua pertanyaanku selama beberapa bulan ini. Kenapa Mas Nino jadi sungguh berubah, ternyata karena ada perempuan itu. Perempuan penggoda, perempuan lain yang berhasil merusak kebahagiaan rumah tangga kami. Apakah aku akan melabrak mereka? Tidak! Hal itu tidak akan terjadi. Aku seorang perempuan terhormat. Aku dididik penuh tata krama. Akan jadi tontonan gratis dan menghamcurkan harga diriku sebagai seorang istri dan perempuan berhijab jika aku marah dan mengamuk di resto ini. Aku harus main cantik. Tak peduli betapa remuk hati ini. Tak henti berucap istighfar, aku memanggil pelayan. Aku meminta bill untuk mejaku dan meja mereka. Setelah itu kuminta pelayan untuk memberi tahu Mas Nino bahwa tagihan mereka sudah aku bayar. Aku melihat ekspresi kaget Mas Nino. Wajahnya tampak pucat. Dengan anggun, sambil membawa gelas berisi minuman yang masih utuh, aku berjalan mendekati meja mereka. Kusunggingkan senyum termanisku. "Hai... Assalamualaikum, gak nyangka ketemu di sini ya Mas?" Kataku sambil cupika-cupiki pipi Mas Nino. Kulihat wajah perempuan itu sudah merah, melihatku yang seenaknya mencium pipi lelakinya. Wajahnya juga tampak bingung. "Ran..." aku mendengar Mas Nino menyebut namaku, lirih. "Kamu siapa?" Labrak perempuan cantik itu. Aku menoleh ke arah Mas Nino dan berkata manis, "Kamu gak mau memperkenalkan aku, Mas?" Sejujurnya aku hanya ingin tahu, Mas Nino akan memperkenalkan aku sebagai apa. "Siapa dia, Mas?" Suara manja perempuan itu membuatku ingin menyiramkan minuman di gelas yang aku pegang. Lebay banget sih? "Dia... kenalkan, dia Rania." "Rania?" Aku melihat kening perempuan itu berkerut. "Iya, Rania. Dia di.. dia istriku." Akhirnya aku mendengar Mas Nino mengeluarkan kata ajaibnya yang kutunggu sadari tadi. Hmmm ternyata dia masih menganggapku sebagai istrinya. "Halo..., iya, saya Rania, istri sah dari Mas Nino dan ibu dari si kembar, anak-anak kami." Aku berkata datar sambil melihat ekspresi perempuan cantik itu yang mendadak pucat. Tapi aku tidak mengulurkan tanganku untuk bersalaman. Kenapa? Karena aku tak mau dosa perempuan itu berguguran. Dia yang harus menanggung sendiri dosanya. "Cuma mau bilang, bahwa tagihan makan kalian sudah saya bayar. Jadi gak usah khawatir. Silakan lanjutkan makanya karena saya sudah selesai." "Permisi..." aku beranjak pergi. Saat itu Mas Nino segera menyusulku. Dia meraih tanganku. "Ran..." suaranya gugup. Badanku menghadap ke arahnya, kuhela nafas sebelum berkata,"Ada apa lagi? Kamu berharap aku menangis? Tidak akan! Kita akan membicarakan hal ini kalau Mas masih ingat jalan ke rumah untuk pulang." Kuhentakkan tangannya dengan keras. Istighfar tidak berhenti dari mulutku. Aku mengendarai CRV-ku dengan ngebut. Untunglah karena sudah malam, jalanan lancar. Sampai di rumah, setelah mandi, aku segera ke kamar si kembar. Mengecek keadaan mereka, yang tidur dengan tenangnya. Tanpa beban. Tanpa tahu betapa hancur hati bundanya karena dikhianati. Puas tidur bersama si kembar, aku menuju kamarku. Kulirik jam dinding, sudah hampir jam sebelas malam. Sepertinya Mas Nino belum pulang. Ya Tuhan, apakah artinya aku baginya? Tidak lama, aku mendengar deru suara mesin mobil masuk ke garasi. Aku berpura tidur saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku tahu Mas Nino berjalan perlahan, mengendap, bagai maling yang takut ketahuan. Aku merasa sisi peraduanku bergoyang. Dan kemudian sebuah kecupan teramat lembut mendarat di keningku. Terdengar suara lirih, "Maaf... maafkan aku..." Dan setelah itu Mas Nino beranjak ke kamar mandi, meninggalkanku yang kemudian menangis dalam diam. Aku, aku benci dia! Aku benci kenapa aku sungguh mencintainya! | | | Jakarta, 5 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD