Bab 6 : Bertemu Shawn

2197 Words
Vega celingak-celinguk di depan gerbang sekolah sendirian. Hari ini adalah hari pertamanya masuk SMA. Sekolah elit yang dipilih oleh orang tuanya. Sebenarnya Vega lebih memilih untuk bersekolah di Australia, di sekolah yang sama dengan sahabatnya, Risa. Tetapi papanya tidak setuju. Menurut beliau, sekolah disana tidak aman. Tidak ada yang bisa mengawasi Vega. Belum lagi pergaulannya yang bebas. Saat bell berbunyi, Vega buru-buru berlari masuk ke dalam sekolah. Dia takut terlambat. Karena menurut cerita yang dia dengar, peraturan sekolah ini sangatlah ketat. Apalagi kakak seniornya lumayan galak. Vega pun berlari dengan cepat. Takut jika terkena hukuman di hari pertama mos. Karena terburu-buru, Vega menabrak seseorang hingga orang itu terjatuh. "Aww!" pekiknya sambil memegangi bahunya yang terasa sakit karena sempat berbenturan dengan tubuh orang itu. Vega terus mengusap-ngusap bahunya. Dan tepat di hadapannya, seorang siswa yang sepertinya juga siswa baru seperti Vega sedang jatuh terduduk. Pemuda itu mencoba bangkit dari jatuhnya. Lalu membersihkan seragamnya. Telapak tangannya sedikit lecet dan mengeluarkan darah. Vega membulatkan mata melihatnya. Pemuda itu berusaha membenahi seragamnya yang kotor. Tidak memperdulikan darah yang keluar dari lukanya. Lalu pemuda itu mendongak menatap Vega. "K-kamu gapapa?" tanyanya terbata. Vega menggeleng. Pemuda itu pun mengambil bukunya yang terjatuh saat bertabrakan dengan Vega tadi. "Maaf ya," ucapnya pelan. Vega sedikit merasa bersalah. Kan dia tadi yang menabrak. Tapi malah pemuda itu yang meminta maaf. Apalagi melihat darah yang merembes keluar dari telapak tangannya. Vega menggeleng lagi. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang nggak hati-hati dan nabrak kamu." Pemuda itu tersenyum. Senyum yang sangat tulus. "Aku juga kurang hati-hati tadi. Jalan sambil baca buku," ujarnya. Vega yang melihat senyumnya jadi ikut tersenyum. Sejenak Vega memperhatikan penampilannya. Dia terlihat sangat sederhana. Baju seragamnya yang sepertinya sudah lama karena terlihat usang dan warna putihnya memudar. Sedikit ke kuningan. Berkaca mata bulat. Kaca mata minus yang sekarang sudah tidak lagi biasa dipakai orang. Karena modelnya yang sudah jadul sepertinya. Vega memperhatikannya dari atas hingga bawah. Membuat pemuda itu sedikit bingung. "Kenapa?" tanyanya membuat Vega tergagap. "Ah. Gapapa kok. Hehe," cengirnya menutupi malu. Pemuda itu tersenyum. "Kamu siswa baru juga?" tanyanya. Vega mengangguk. "Iya. Kok kamu tau?" jawabnya. Lagi-lagi pemuda itu tersenyum. "Itu kaos kaki kamu hitam putih. Nih sama kan. Aku juga." Vega mengangguk lalu membalas senyumnya. "Ya udah ayo masuk. Nanti keburu kegiatan mos dimulai," ujar pemuda itu. Pemuda itu pun berbalik membelakangi Vega. Dan akan beranjak pergi namun Vega menahannya. "Tunggu!" Pemuda itu membalik badannya ke arah Vega. "Iya?" Vega menggigit bibir bawahnya ragu. "Aku boleh barengan sama kamu nggak? Aku sendirian. Nggak punya temen yang juga sekolah disini," ujarnya lirih sambil menunduk. Pemuda itu tersenyum tipis. "Boleh kok. Ayo!" ajaknya. Vega langsung tersenyum senang. Lalu maju beberapa langkah dan mensejajari posisi pemuda itu. "Oh iya kita kan belum kenalan. Nama kamu siapa?" tanya Vega seraya mengulurkan tangannya. Pemuda itu pun menerima uluran tangannya dan menjabatnya lembut. "Lian," jawabnya singkat. Keduanya sama-sama tersenyum. Tangan mereka masih bertautan. Sinar mentari yang memancar lembut mengiringi dua anak manusia melangkah. Saling mendekat satu sama lain. Sambil sesekali berbincang bersama. *** “Hah? Serius?” pekik Dinda tanpa sadar. Mata gadis itu membulat sempurna dan mulutnya menganga. “Lo nggak lagi bercandain gue kan, Ga?” tanyanya curiga. Vega menggeleng yakin. “Gue mau ikutan baksos sama elo.” Dinda mengerutkan keningnya heran. Seorang Vega Naravega Harun yang tidak suka dengan keramaian dan kegiatan kumpul-kumpul kini mendadak ingin ikut dalam kegiatan bakti sosial anak-anak OSIS. “Boleh ya, Din gue ikut? Please... Gue pengen banget,” mohon Vega. Gadis itu bersikeras ikut bakti sosial. Sejak tadi dia berusaha memaksa Dinda agar diperbolehkan ikut acara yang ditujukan untuk anggota OSIS tersebut. Ya, sejak bertemu dengan Lian dan Nisa kemarin dia terus saja memikirkan mereka. Vega penasaran sekaligus kasihan dengan keadaan panti tempat mereka tinggal. Dia juga ingin sekali membantu anak-anak disana. Dinda terdiam sejenak. Matanya sedikitpun tak lepas dari Vega. Gadis itu terlihat aneh. Dia berbeda dengan biasanya. “Din.. boleh ya?” mohon Vega dengan wajah memelas, berharap sahabatnya itu akan mengijinkannya ikut. Dinda mengendikkan bahunya. “Kalo gue sih boleh-boleh aja lo ikut. Masalahnya itu acara khusus buat anak-anak OSIS, Ga. Jadi, nggak tau deh kalau anak bukan OSIS ikut boleh atau nggak.” Penjelasan Dinda membuat Vega mendesah kecewa. “Yah... masa nggak boleh sih? Kan harusnya malah bagus kalau banyak yang bantu.” Lagi-lagi Dinda hanya bisa mengendikkan bahunya. “Ntar deh gue tanyain ke Shawn. Barangkali boleh kalo lo yang ikut.” Vega mengerutkan dahinya. “Shawn? Siapa Shawn?” Dinda mendesah pelan. “Ya ampun, Ga! Lo itu harus mulai bergaul deh sama anak-anak lain. Masa Shawn nggak tau! Sebenernya lo itu sekolah dimana sih?” omelnya. Vega hanya mengerucutkan bibir mendengar omelan gadis itu. Memang kenyataannya dia tidak mengenal dan tidak mau mengenal Shawn, Sean, Sandy atau siapapun itu. Karena baginya bisa mengenal Lian saja sudah cukup. Dan Dinda tentu saja. *** “Gimana? Boleh?” tanya Vega pada pemuda tampan yang sedang duduk di depannya itu. Pemuda itu mengangguk pelan dan langsung membuat Vega berjingkrak senang. Shawn tersenyum kecil melihat tingkah Vega. “Makasih banyak ya, Shawn. Makasih banyak!” ujar Vega girang. Gadis itu menyalami dan meremas tangan Shawn berkali -kali karena saking senangnya. “Jadi kapan acaranya? Apa yang bisa aku lakuin sekarang, Shawn?” tanya Vega dengan bersemangat. “Mungkin sekarang kamu bisa bantu Mikha buat minta sumbangan kali ya?” kata Shawn. “Itu kalau kamu mau sih,” lanjutnya. “Aku pasti mau, Shawn! Aku mau banget!” balas Vega cepat. Shawn mengangguk. “Ya udah. Kamu tunggu disini aja. Bentar lagi Mikha mau kesini. Nanti kalian mintain sumbangan ke setiap kelas yah.” Vega manggut-manggut. Wajahnya terlihat begitu bahagia dan berseri-seri. Gadis itu mengikuti Mikha meminta sumbangan untuk dari kelas ke kelas-kelas. *** “Gila! Itu duit sumbangan banyak amat yak!” ucap Dinda takjub sambil menggeleng pelan. Shawn mengangguk. “Ya gini, Din. Kalo yang mintain sumbangan cewek cantik. Dapetnya banyak. Coba kalau gue yang mintain, pasti nggak bakal sebanyak ini,” balasnya. Dinda berdecih pelan. “Nggak usah sok merendah, deh! Kan fans lo juga banyak. Gue yakin mereka pasti nggak ragu-ragu masukin semua duit jajan mereka ke kotak sumbangan,” cibirnya. Shawn terkekeh. Pemuda itu menoleh pada Vega. “Makasih ya, Ga. Udah bantuin kita. Berkat kamu kita dapat banyak sumbangan. Dan aku yakin, kalau kita nggak cuma bisa nyumbang ke pantinya Lian. Tapi ke panti-panti asuhan lainnya.” Vega mengangguk cepat. Senyumnya mengembang sempurna. “Jadi, aku besok boleh ikut bakti sosial sama Lian kan?” ujarnya senang. Kemudian gadis itu menyadari dia salah bicara saat Shawn dan Dinda menatapnya bingung. Dan dia buru-buru meralat perkataannya barusan. “M-maksud gue bareng kalian,” katanya sambil meringis malu. Anggukan Shawn dan juga senyuman Dinda membuat Vega menghela nafas lega. Akhirnya... *** “Hai!” Vega tersenyum sambil melambai pada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di depan mushalla. Anak itu sontak bangun saat Vega menghampirinya. Dia terlihat kaget juga bingung. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Vega disini. “Kamu Anak yang waktu itu kan?” tanya Vega ramah. Anak itu menggeleng. “M-maaf, Kak. Aku mau ke belakang dulu,” balasnya lalu cepat-cepat beranjak. Namun rupanya Vega masih bisa menahan gerakannya. “Tunggu! Jangan pergi dulu! Kakak nggak bermaksud buruk kok.” Dia tersenyum ramah pada anak itu. “Kamu bener Anak yang waktu itu di lampu merah kan? Masih ingat sama Kakak?” tanyanya. Anak itu mengangguk ragu-ragu. Sorot matanya memperlihatkan rasa takut. Dia celingukan ke kanan dan ke kiri seolah takut bila ada yang melihat mereka. “Kenapa?” tanya Vega. Anak itu menggeleng pelan. “Jangan bilang Ibu ya, Kak. Ibu nggak tau kalau Adit sama Rizki dagang asongan di lampu merah.” Mendengar itu, sontak saja Vega terkejut. Pantas saja anak itu menghindar darinya sejak di teras tadi. Ternyata dia takut Vega membeberkan pertemuan mereka pada ibunya. Vega tersenyum tipis lalu mengangguk. “Tapi lain kali Adit jangan dagang asongan lagi ya? Di jalan itu bahaya. Adit bisa celaka nanti. Adit nggak mau kan tambah nyusahin Ibu nanti?” Anak itu menjawab dengan gelengan lemah. Dan Vega membelai kepalanya lembut. “Ya udah Adit balik ke dalam sana! Mau sholat kan?” Adit tersenyum kecil lalu menurut. Dia masuk kembali ke dalam mushalla. Vega mendesah pelan. Sungguh dia merasa iba dengan anak -anak disana. Bertemu dengan mereka semua membuatnya bersyukur meski dia sering kali kesepian di rumah. Setidaknya dia masih punya papa dan juga bisa hidup dengan layak. Tidak seperti mereka yang kalau ingin punya seragam baru harus menunggu sampai ada orang yang mau mendonasikan seragam bekas ke panti mereka. Gadis itu berbalik, hendak kembali ke depan dimana teman- temannya berada. Namun sosok tinggi menjulang membuatnya kaget. “Shawn!” serunya. “Kamu bikin orang kaget tau nggak!” omelnya. Shawn meringis kecil. “Maaf...” balasnya. “Aku kira lagi ngapain tadi ke dalem sendirian.” Vega berdecak kecil. Dia berjalan melewati Shawn. Namun pemuda itu menahan langkahnya. “Ternyata hati kamu lembut juga ya?” ujar Shawn yang membuat Vega memicingkan matanya, menatap Shawn curiga. “Maksud kamu apa?” Shawn mengendikkan bahunya. “Untuk seorang gadis populer di sekolah dan masih mau bergaul apalagi sampai ikut baksos kayak gini menurutku itu luar biasa.” “Apaan sih, Shawn! Nggak usah lebay.” “Beneran, Ga. Aku kira kamu itu sombong karena kamu nggak pernah mau berteman sama yang lain di sekolah selain Dinda.” Vega menyunggingkan senyum tipisnya, yang tampak begitu manis di mata Shawn. “Aku nggak mau berteman bukan karena sombong. Tapi aku ngerasa nggak nyaman aja sama gaya berteman mereka. Saling pamerlah, saingan buat ngerebutin cowoklah, yang inilah, itulah. Itu bikin aku males dekat sama mereka. Yang mereka obrolin sehari-hari pasti nggak jauh-jauh dari gebetan.” Shawn tertawa geli mendengar curhatan Vega. Pemuda tampan itu menggeleng lemah. Baru kali ini dia melihat Vega banyak berbicara. Sebelumnya gadis itu terlalu tertutup pada teman-temannya. “Tapi kalau berteman sama aku mau, kan? Aku nggak suka pamer dan ngomongin gebetan loh. Aku juga nggak suka ngobrolin tentang lipstik, bedak dan lain-lainnya.” Sontak saja Vega tertawa. Dia memukul lengan Shawn pelan. “Emang kamu cowok apaan ngomongin lipstik.” Shawn mengendikkan bahunya. “Jadi, mau kan berteman sama aku?” ujarnya penuh harap. Vega terdiam sejenak. Lalu mengangguk pelan. Dia menyambut tangan Shawn yang terulur padanya. “Iya, Shawn. Aku mau,” balasnya sembari tersenyum. *** Vega mengelap buliran keringat yang memenuhi dahi dan pelipisnya. Hari semakin siang, semakin panas dan jalanan semakin ramai. Sudah seharian dia dan teman-temannya berjalan sepanjang jalan raya untuk membagi-bagikan roti dan s**u untuk anak-anak jalanan, pengamen dan para pengemis di pinggir jalan. Gadis itu sudah semakin lelah. Kakinya pegal luar biasa. Maklumlah dia tidak pernah berjalan jauh. Kemana-mana dengan mobil. Apalagi dia sekarang sedang membawa satu dus s**u kotak yang lumayan berat. Padahal kalau di rumah, boro- boro bawa barang segitu beratnya. Kadang kalau mau pergi ke sekolah, sopirnya yang membawakan tas miliknya. Tapi untuk sekarang, dia tidak mungkin menolak membawa barang itu. Karena semua teman-temannya membawa beban yang sama dengannya. Masing-masing sudah kebagian jatah membawa dus berisi makanan dan ada pula yang membawa sembako untuk dibagikan pada warga kurang mampu di sekitar sana. Vega menghentikan jalannya. Lalu diletakkannya kardua s**u tersebut ke atas tanah. Gadis itu mendesah lelah. Sungguh dia tidak sanggup berjalan lagi. Rasanya dia mau pingsan saja. Semua teman-temannya sudah berjalan lebih dulu. Tinggallah dia sendiri di belakang tanpa ada seorangpun yang menunggunya. Gadis itu berjongkok, ingin menangis tapi malu. Akan seperti apa tanggapan teman-temannya melihatnya yang sangat manja itu? Tidak ada satupun dari mereka yang mengeluh sama sekali. Hanya dia yang berulang kali beristirahat. Vega tersentak saat melihat seseorang mengangkat dus bawaannya yang dia letakkan di atas tanah. Sontak saja dia berdiri. Lalu gadis itu tertegun untuk beberapa saat. “Lian?” lirihnya. Lian mengangguk. “Kamu jalan duluan! Ini biar aku yang bawa. Vega memandangi pemuda itu lama lalu tersenyum. “Tapi bawaan kamu udah berat,” balasnya sembari menunjuk dus yang sedang dipanggul oleh Lian. “Gapapa. Aku udah biasa,” balas Lian. “Tapi, Li...” “Kamu jalan duluan aja!” suruh Lian. “Aku jalan bareng kamu aja deh.” “Jangan, Ga. Bakal lama nanti. Karena aku mau nunggu Dinda dulu.” Senyuman manis yang tadi tersungging di bibir tipis Vega mendadak musnah. Gadis itu terdiam cukup lama. Tak lama dia melihat Dinda berlari kecil menuju ke arah mereka. Gadis itu terlihat kaget melihat Vega. “Loh... Vega masih disini? Kirain udah duluan sama Shawn,” ujarnya. Vega menggeleng. “Barusan gue berhenti buat istirahat. Terus ada Lian,” jawab Vega. Dinda manggut-manggut. “Ya udah, ayo kita jalan lagi! Ntar malah kehilangan jejaknya temen-temen yang lain. Kan ngga lucu kalau kita tersesat disini,” gurau Dinda. Lian tertawa renyah. Pemuda itu mengacak rambut Dinda pelan. “Emang disini hutan, bikin tersesat!” ledeknya. Dinda ikut tertawa. “Ya udah, yuk jalan!” ajaknya. Dia menoleh pada Vega. “Ayo, Ga!” Vega hanya mengangguk pelan. Gadis itu mengikuti Lian dan Dinda dari belakang. Sambil mendengarkan percakapan seru mereka. Hanya mendengarkan, karena dia tidak sanggup berbicara. Semua anggota badannya terasa lemas. Pun dengan hatinya. Altair&Vega_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD