Bab 5 : sisi lain dirimu

2630 Words
Lian mengayuh sepedanya memasuki perumahan elit tempatnya biasa mengantar koran. Setumpuk koran di keranjang sepedanya dan juga sebuah kantong plastik tergantung disana. Lian mengerem sepedanya lalu menyandarkannya di depan gerbang rumah yang sangat besar. Rumah termewah di komplek elit itu. Diambilnya satu buah koran yang ada di keranjang sepedanya. Juga kantong plastik hitam yang menggantung di sepedanya kemudian menekan bel. Tidak beberapa lama keluarlah seorang pria berumur sekitar lima puluh tahunan dari rumah mewah itu. Pria itu terlihat bingung melihat Lian. “Lian? Kok tumben kesini pagi banget? Terus kok pake tekan bell. Kan biasanya juga korannya langsung dilempar,” ucap Pak Imam, satpam rumah itu. Lian mengangguk pelan lalu memberikan koran itu pada Pak Imam. “Iya pak. Agak pagi hari ini. Ini korannya.” Pak Imam pun menerima koran yang diberikan Lian. “Makasih ya, Li.” “Oh iya, Pak. Nitip ini buat Mbak Vega. Ini punya dia kemarin ketinggalan di sepeda Lian.” Lian menyerahkan kantong plastik itu pada Pak Imam. Pak Imam pun menerimanya dengan bingung. “Sepatunya Non Vega? Kok bisa ada sama kamu?” ujarnya bingung. Lian tersenyum tipis. “Iya Pak. Ketinggalan di sepeda Lian. Kemarin pas hujan kan Mbak Vega saya boncengin naik sepeda kesini,” jawabnya. “Kamu boncengin Non Vega? Naik sepeda? Sepeda ini?” ujar Pak Imam terheran. Lian mengangguk cepat membuat Pak Imam terbelalak. “Yang bener kamu Li?” ucapnya sekali lagi masih tidak percaya. “Beneran Pak. Kenapa emang?” Kini ganti Lian yang bingung melihat Pak Imam yang terlihat syok. Pak Imam hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak bisa membayangkan si tuan putri naik sepeda butut. Dibonceng Lian pula. “Kenapa pak? Ada yang salah?” “Eh. Enggak kok Li. Ya udah ntar Bapak kasih sepatunya ke Non Princess,” jawab Pak Imam. “Non Princess?” ujar Lian bingung. “Itu, Non Vega. Kan dia udah kayak princess di rumah,"” ucap Pak Imam sedikit berbisik. Lian terkikik geli melihat ekspresi satpam itu. “Di sekolah juga kok, Pak.” “Ya maklumlah anak satu-satunya. Orang tuanya kaya lagi. Jadi ya manja. Apa-apa selalu diturutin,” balas Pak Imam. Lian mengangguk. Dia sangat paham akan hal itu. Karenanya dia tidak boleh berharap bisa dekat dengan gadis itu. Karena perbedaan mereka terlalu jauh, bagaikan bumi dan rembulan. *** Lian yang sedari tadi sibuk di dapur membantu Bu Hanna menyiapkan barang dagangannya. Mulai pagi ini, Bu Hanna kembali berjualan gado-gado di depan panti. Sebenarnya Lian sudah melarang karena kondisi Bu Hanna yang kurang sehat. Namun Bu Hanna terus memaksa. Keuangan panti sedang dalam masa sulit sekarang. Kurangnya donatur dan kebutuhan sekolah anak-anak panti menjadi alasannya. Ya, tiap tahun mereka harus mengganti buku dan membayar keperluan sekolah lainnya. Meskipun ada sedikit keringanan yang diberikan sekolah bagi anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Tetap saja masih berat bagi Bu Hanna dan Bu Aisyah untuk membagi pengeluaran. Belum lagi Bu Aisyah yang bulan lalu sudah pensiun dari pekerjaannya menjadi seorang guru honorer di sebuah sekolah swasta. Bu Hanna yang juga sudah beberapa bulan berhenti berjualan gado-gado karena sakit yang dideritanya. Lian menghela nafas panjang saat melihat Anisa menguntitnya selama di dapur. Sejak tadi pagi gadis kecil itu terus merengek pada Lian. Sudah menjadi kebiasaannya, tiap libur sekolah Anisa minta diantar Lian menonton televisi di toko elektronik milik Koh Rion. “Nisa kenapa sih ngikutin Bang Lian mulu?” ujar Lian. Anisa terlihat mengerucutkan bibirnya kesal. Wajahnya sudah merengut sejak pagi. “Tau ah! Bang Lian udah nggak sayang sama Nisa!” ucapnya sebal. Lian menghentikan pekerjaannya yang sedari tadi mengaduk bumbu kacang yang ada di atas kompor. “Nis, Bang Lian kan lagi bantuin Ibu. Nanti agak siangan ya?” Nisa menggeleng. “Kalo siang keburu kartun Sofia habis, Bang. Kan Sofia tayangnya jam setengah tujuh,” jawabnya kesal. “Ya ntar kalo Sofia habis, kan ada gantinya kartun lain. Bisa kan nonton yang lain?” Nisa malah merengek-rengek makin kencang. “Nggak mau! Nisa maunya nonton sofia, Bang!” Lian menghela nafas pelan lalu sudah akan menjawab rengekan Nisa. Tapi Bu Hanna menahannya. “Udah kamu tinggal aja, Li! Udah selesai kok. Tinggal bawa ke depan. Kasian tuh udah bangun dari pagi nungguin kamu.” “Tapi Bu...” “Nggak apa-apa kok. Nanti biar dibantu Riski sama Adit bawa ke depan. Kasian adik kamu, Li. Kalo aja Ibu punya uang lebih. Pasti Ibu akan belikan televisi. Biar anak-anak ada hiburannya di panti.” Lian mendekatinya dan mengusap punggung wanita yang sudah dia anggap ibu kandungnya itu. “Udahlah, Bu. Yang penting Ibu bisa berobat. Urusan TV itu kan nggak seberapa penting. Nanti biar Lian kasih pengertian sama Anisa dan Adik-adik,” balas Lian. Bu Hanna mengangguk. Lalu mendorong Lian keluar dari dapur. “Udah sana buruan anterin Nisa! Udah mau nangis tuh gara-gara ketinggalan nonton Sofia!" Lian pun beranjak meninggalkan dapur dan menghampiri Anisa yang sedang ngambek di teras depan rumah. “Ayo Nis. Buruan!” ajak Lian. Anisa memalingkan wajahnya. “Nggak jadi! Percuma! Sofia udah kelar.” Lian tersenyum kecil. “Kata siapa?” tanyanya. Anisa memandang Lian penuh amarah. “Ya iyalah! Ini udah jam tujuh lebih. Ya udah kelar Sofianya!” sungut gadis kecil itu. Lian menahan tawanya. “Tapi kan masih bisa liat lewat kaset DVD. Lengkap dan panjang lagi filmnya. Episodenya juga banyak,” balas Lian. Seketika Anisa langsung menoleh Lian cepat. Matanya menyipit tidak percaya. "”Emang bisa lihat yang di kaset?” tanyanya serius. Raut wajahnya yang lucu membuat Lian terkekeh kecil. Lian mengangguk mantap. “Bisa dong. Nanti biar bang Lian yang minta izin sama Koh Rion.” Anisa langsung mengangguk bersemangat. Gadis itu tersenyum senang lalu segera berhambur naik ke sepeda Lian. Lian hanya menahan tawa melihatnya. Dia ikut senang melihat senyum bahagia gadis kecil itu. *** “Yah... kok tutup sih, Bang?” Anisa terlihat kecewa saat mereka sampai di depan toko Koh Rion yang sedang tutup. Dahi Lian berkerut bingung. Belum buka kali, Nis. Kita tunggu aja ya! Siapa tau Koh Rion habis ini dateng.” Nisa menggeleng tidak setuju. “Nggak mungkin, Bang. Kan koh Rion bukanya selalu pagi. Si Koh kan tau tiap minggu pagi Nisa selalu kesini. Makanya tiap minggu Koh buka pagi!” ujar Nisa. Lian tersenyum lalu memencet pipi Nisa yang tembam seperti pipinya. “Bisa aja kamu! Koh Rion buka pagi karena kalo minggu pagi pasar di depan itu ramai. Jadi lebih banyak orang yang kemungkinan dateng kesini. Bukan buat kamu juga,” cibirnya. Nisa menggembungkan pipinya. Bibirnya maju seperti bebek yang membuat Lian makin gemas dan terus menggodanya. Mereka berdua saling serang. Saling mencubit pipi yang sama- sama tembam. Sampai sebuah suara menyadarkan mereka. “Lian?” sapa seorang gadis pada Lian. Lian mendongak menatapnya kemudian terkejut saat mendapati Vega sedang berdiri di hadapannya sembari memegang dua kantong belanjaan yang penuh. Gadis itu tengah mengenakan baju santai dan sendal jepit. Rambutnya dikuncir kuda ke atas. Wajahnya bersih tanpa riasan. Ini adalah sisi lain Vega yang tidak pernah dia lihat. Selama ini yang dia tau Vega selalu tampak sempurna dan cantik. Tapi melihat Vega yang sekarang tidak buruk juga. Justru gadis itu terlihat lebih sempurna Lian memandangnya tak percaya dengan apa yang kini dia lihat. “Vega?” ucapnya lirih. Gadis itu tersenyum manis pada Lian. “Kamu ngapain disini?” tanyanya. “Kamu sendiri ngapain disini? Kamu dari pasar?” tebak Lian ragu saat melihat sayuran di balik kantong plastik yang dibawa Vega. Gadis itu mengangguk cepat. Lalu tersenyum ramah pada Lian. “Iya nih aku tadi iseng ikut Teh Ririn ke pasar,” jawabnya. “Kalau kamu ngapain?” “Aku?” “Iya Lian. Kamu ngapain disini? Ini siapa?” tanya Vega sambil menunjuk Anisa. “Ini Anisa, adikku,” jawab Lian. Vega tersenyum manis pada Anisa. “Hallo, Cantik!” sapanya pada Anisa. Anisa membalas senyum Vega sambil mengangkat tangannya “Hallo Kakak!” balasnya. “Kamu ngapain disini?” “Lagi nungguin Koh Rion. Kata Bang Lian, Koh Rion bentar lagi dateng.” Vega mengernyit. “Koh Rion?” ulangnya. Anisa mengangguk. “Koh Rion yang punya toko ini,” jawabnya sambil menunjuk toko elektronik di depan mereka. Vega mengangguk paham. “Oh, Anisa mau beli apa emang?” “Mau nonton TV Kak,” jawabnya bocah kecil itu tanpa ragu. Dan seketika Lian langsung menutup mulut mungil Anisa dengan tangannya. Hingga gadis kecil itu meronta minta dilepaskan. “Em-eh nggak kok, Ga. Kita tadi cuma mau keliling di sekitar sini. Main sepeda.” Anisa menggigit tangan Lian yang membekapnya dengan kencang. “Aww. Nisa!” seru Lian marah. Namun Anisa malah menjulurkan lidahnya meledek Lian. “Habis Bang Lian bohong sih. Kan kata Ibu bohong itu dosa. Iya kan Kak?” tanya Nisa pada Vega. Vega terkikik geli mendengarnya. “Iya, Cantik. Bohong itu dosa. Bang Lian bohong ya?” Anisa mengangguk mantap. “Iya Kak. Kan kita disini nungguin Koh Rion biar bisa nonton TV. Nonton Sofia, Kak!” ujarnya. “Nonton TV? Maksudnya?” ujar Vega bingung. Anisa mendesah pelan. Lalu menepuk dahinya. “Iya, Kak. Nonton TV. Kan di panti nggak ada TV. Jadi Nisa nonton disini aja. Gratis juga kok disini. Kalo di rumah Kakak ada TV nggak?” ujar Nisa yang membuat Vega terkejut. Vega menatap lekat gadis kecil yang mengoceh macam- macam itu. Nisa bercerita kartun kesukaannya. Meskipun berkali-kali bibirnya dibekap oleh Lian supaya tidak melanjutkan kata-katanya. “Iihh ...Bang Lian mah!” serunya sebal saat Lian kembali menutup mulutnya yang tak henti-henti mengoceh. “Nisa!” panggil Vega sehingga membuat Lian menghentikan sesaat usahanya untuk menutup mulut Nisa. “Nisa mau nggak ikut ke rumah Kak Vega? Kita nonton kartun di rumah Kak Vega aja yuk! Koh Rion mungkin datengnya masih lama,” tawar Vega. Gadis kecil itu langsung bersorak gembira. “Beneran Kak? Boleh emang?” serunya senang. Vega mengangguk. “Iya boleh. Ayo ikut kakak!” ajaknya. “Jangan Nis!” tahan Lian saat Vega akan menggandeng tangan Nisa. Gadis kecil itu langsung terlihat sedih. Senyumnya seketika menghilang. “Kenapa Bang?” “Kita pulang aja! Nanti Ibu nyariin kita. Ayo pulang!” Lian menarik tangan Nisa. Gadis kecil itu merengek pada Lian. “Sebentar aja kok, Bang. Nisa janji deh. Nanti kalo kartunnya udah kelar nisa langsung pulang. Ya ya boleh ya Bang?” Lian menggeleng. Lalu menatap tajam Nisa sambil berbisik. “Kita pulang aja. Jangan malu-maluin deh. Pokoknya Bang Lian nggak kasih ijin.” Anisa langsung berwajah sendu. Matanya berkaca-kaca. Air matanya sudah siap menetes. “Tapi kan Bang. Nisa pengen banget liat kartun. Sekali ini aja. Boleh ya Bang?" ucapnya parau. Vega memandang Anisa yang memelas. Hatinya ikut sedih. “Biar Anisa ikut aku, Li. Kasian dia pengen nonton TV. Nanti pulangnya biar aku anter.” “Jangan, Ga! Nggak perlu. Kami pulang aja. Ayo, Nis!” “Lian! Lian!” Vega mencoba memanggil pemuda itu, namun rupanya Lian tidak mendengarnya atau mungkin tak mau. Pemuda itu mengayuh sepedanya dengan kencang menjauh dari tempat Vega berdiri. *** Bu Hanna yang sedang melayani seorang pembeli menatap Lian penuh dengan tanda tanya. Saat melihat Anisa berlari ke dalam sambil menangis sesenggukan. Adit yang baru datang dari dalam rumah membawa kertas bungkus di tangannya juga melihat bingung Nisa yang berlari masuk ke rumah sambil terus menangis. "Nisa kenapa, Dit?" tanya Bu Hanna pada Adit sambil mengambil selembar kertas bungkus yang baru dibawa Adit. Adit mengendikkan bahunya sekilas. "Ngga tau, Bu. Palingan juga kartunnya udah kelar. Terus ngga mau pulang. Ibu kayak nggak tau Nisa aja," jawab Adit acuh. Bu hanna menghela nafas panjang. Lalu melanjutkan aktifitasnya membungkus gado-gado buatannya. Lalu menyerahkannya pada ibu-ibu yang tadi memesan. "Berapa Bu?" "Sepuluh ribu," jawab Bu Hanna. Ibu itu pun mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari dompetnya. Dan memberikannya pada Bu Hanna. "Terimasih Bu," ucap Bu Hanna. Dan dijawab senyuman oleh ibu itu. "Itu Lian kan Bu?" tanya ibu itu sambil menunjuk Ali yang sedang menyandarkan sepedanya di tembok sisi rumah. Bu Hanna tersenyum. "Iya," jawabnya singkat. "Ganteng ya, Bu?" ujar si ibu pada Bu Hanna. Bu Hanna tersenyum melihat Lian yang kini berjalan ke arahnya sambil melempar senyum. Tampan memang. "Nggak nyangka loh Bu. Si Lian bisa kayak gini. Kalo liat dulu mah, nggak nyangka Lian bakal ganteng, gagah, terus pinter lagi." "Iya Bu. Alhamdulillah." "Ya sudah Bu Hanna. Saya permisi," ujar si ibu. Terima kasih," jawab Bu Hanna. Lian tersenyum memasuki warung kecil tempat Bu Hanna berjualan. "Assalamualaikum," ujar Lian seraya menyahut tangan Bu Hanna lalu menciumnya. "Waalaikum salam. Udah pulang Li? Itu tadi Nisa kenapa nangis?" tanya Bu Hanna. "Oh. Itu tadi tokonya si Koh lagi tutup, Bu. Terus Nisa ngambek." Bu Hanna geleng-geleng kepala. Sudah kebiasaan Nisa selalu ngambek jika kemauannya tidak dituruti. Apalagi Lian selalu memanjakannya. Lian memang sangat sayang pada Nisa. "Jangan terlalu dimanjain, Li. Biar nggak keterusan," ucap Bu Hanna menasehati. "Iya, Bu. Tadi ketemu temen Lian. Terus diajakin nonton TV di rumahnya. Tapi Lian larang. Ya gitu deh jadinya, ngambek," jelas Lian. "Temen apa? Sekolah?" "Temen sekolah Bu." "Cewek?" "Iya. Yang kemarin sepatunya ketinggalan di sepeda Lian pas hujan itu." "Oh... yang kata Riski, pacar Abang itu ya?" goda Adit. Lian terbelalak. Lalu mencubit pipi gembul Adit gemas saat melihat matanya berkedip-kedip lucu. "Sok tau banget nih bocah. Anak kecil udah tau pacar-pacaran," ujar Lian. Adit tertawa girang. Begitu juga Bu Hanna yang ikut tertawa melihat Lian yang salah tingkah digoda Adit. "Ibu! Bang Lian nih cubitin pipi Adit mulu! Ntar kempes lagi nih pipi kebanggaan Adit!" Adit mengadu pada Bu Hanna dan bersembunyi di belakang tubuh wanita itu. Bu Hanna hanya terkekeh melihat kedua putranya. "Bang Lian!" rengek Adit sambil berlari masuk karena Lian terus menggodanya. *** Vega duduk melamun sendirian di dekat kolam ikan di belakang rumahnya. Memperhatikan Teh Ririn, pembantu di rumahnya yang sedang menjemur baju di halaman belakang rumah. Gadis itu menghela nafas panjang. Sudah hampir tiga tahun. Tapi Lian belum juga mau memaafkannya. Memang salahnya sih dulu dia berbohong pada Lian. Tapi kan dia sudah minta maaf. Bahkan bukan sekali dua kali Vega mencoba meminta maaf. Tapi entahlah kenapa Lian tak kunjung memaafkannya. Mungkinkah bagi Lian kesalahan Vega sangat besar sampai tidak bisa memaafkan? Vega terus-menerus menghela nafas berkali-kali sambil melamun. Hingga membuat Teh Ririn yang kini sudah selesai menjemur baju, menatapnya bingung. Wanita itu mendekati Vega yang masih asyik dengan lamunannya. Lalu Teh Ririn menepuk pundaknya pelan. Hanya sebuah tepukan kecil tapi langsung membuat Vega terkejut bukan main. "Ih.. Teh Ririn ngagetin aja sih!" sungutnya. "Jangan ngelamun, Non. Kesian tuh ayam tetangga pada mati." Vega mengerucutkan bibirnya. "Apa hubungannya sih. Ngelamun sama ayam mati. Heran deh." Teh Ririn terkekeh geli melihat wajah lucu Vega saat sedang kesal. "Ngelamunin apaan sih non? Cowok?" godanya. Vega terbelalak. Kenapa bisa benar tebakan Teh Ririn? Apa sebegitu terlihatkah jika Vega sedang melamunkan seorang cowok? Vega meraba kedua pipinya yang terasa panas. "Apaan sih Teh Ririn ini." Vega menunduk malu. Teh Ririn makin tertawa kencang. Di usapnya kepala Vega yang sudah seperti adik baginya itu. "Ngelamunin cowok juga gapapa kok, Non. Kan Non Vega udah besar. Habis ini lulus sekolah. Terus kuliah." Vega menghela nafas dalam. "Iya sih Teh," ucapnya lemas. "Tuh kan." Vega berdecak kesal. "Dengerin dulu ih," ucapnya sambil manyun. "Iya. Iya. Terus cowok mana?" "Ada lah. Temen sekolah sih. Dulu aku pernah punya salah sama dia. Berkali-kali minta maaf tapi nggak digubris. Udah hampir tiga tahun padahal. Tapi dianya masih cuek sama aku." "Oh..." Teh Ririn mangut-manggut. "Dih. Cuma oh doang gitu?" ucap Vega tak terima. "Lah terus harus gimana?" "Tau ah!" ujar Vega ngambek. Teh Ririn tertawa geli melihatnya. Di usapnya pipi Vega yang mengembung lucu. "Anak cantik jangan ngambekan dong," rayunya. "Habis Teh Ririn sih. Dicurhatin malah gitu!" "Oh.. jadi mau curhat?" godanya sambil mengangkat alis. Vega berdecak kesal lalu memalingkan wajahnya. "Iya iya. Maaf. Kan Teteh cuma bercanda. Serius banget sih?" "Hm," jawab Vega singkat. Teh Ririn tersenyum. "Emang salah Non apaan?" "Aku pernah bohongin dia dulu. Terus dia marah dan sampai sekarang masih nyuekin aku," ucap Vega sedih. Teh Ririn pun memandangnya iba. "Terus Non Vega udah usaha buat minta maaf ke orang itu?" Vega mengangguk. "Udah, eh. Berkali-kali malah. Tapi dia terus menghindar dan nggak mau maafin." "Terus usahanya apa?" Vega mengernyit. Menatap Teh Ririn bingung. "Usaha? Usaha apaan?" "Ya usaha untuk mengembalikan kepercayaan dia sama Non Vega." Vega memandangi Teh Ririn lama. Berusaha mencerna kata-kata yang diucapkannya. "Usaha?" Teh Ririn mengangguk. "Orang yang dibohongi itu bisa sangat marah Non. Karena dia merasa kepercayaannya sudah dirusak. Jadi kadang kala meskipun sudah minta maaf berkali-kali pun belum tentu bisa memaafkan," jelasnya. "Kadang. Meski udah dimaafin, belum tentu orang itu akan kasih kepercayaan lagi. Jadi kita harus usaha. Buat orang itu percaya lagi sama kita," lanjutnya. Vega menatap Teh Ririn dalam lalu mengangguk. "Iya sih Teh. Dulu aku cuma minta maaf. Dan nggak berbuat apa-apa biar dia bisa maafin aku," ujarnya sedih. "Jadi sekarang kalo Non Vega masih mau dapat maaf sekaligus kepercayaan dari dia, Non Vega harus berusaha meyakinkan dia lagi supaya percaya sama Non." Vega mengangguk paham. Teh Ririn pun tersenyum. "Ingat ya Non. Hati itu ibarat kaca. Jika sudah retak akan meninggalkan bekas. Dan jika pecah tidak akan bisa diperbaiki lagi. Jadi, jangan pernah mencoba bermain hati," ujar Teh Ririn sambil mengedipkan sebelah matanya genit. Vega jadi tertawa melihatnya. "Iya Teh. Mulai sekarang Vega akan usaha biar Lian mau maafin Vega," ucapnya bersemangat. Sesaat kemudian Teh Ririn mengerutkan dahinya. Menatap bingung Vega yang tersenyum sendiri. "Lian?" *** Lian mengerem sepedanya begitu sampai di tempat tujuan terakhir dia mengantar koran pagi ini. Sedikit lama Lian menatap ke bagian lantai atas rumah megah itu. Sebuah kamar yang ada tepat di atasnya. Kamar itu terang. Lampunya menyala. Namun kordennya masih tertutup. Lian terus memandangnya agak lama. Lalu dia menghela nafas panjang. Setelahnya Lian melempar koran terakhir dengan asal ke halaman rumah itu. "Awwh!" Lian yang sudah akan mengayuh sepedanya pun berhenti saat mendengar suara rintihan. Lian pun buru-buru turun dari sepeda dan menyandarkannya di pagar rumah itu lalu mencoba membuka gerbang. Biasanya jam segini Pak Imam dan mang ujang udah bangun dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Lian membuka pintu gerbang yang memang tidak terkunci lalu masuk ke dalam. Betapa terkejutnya dia saat melihat Vega sedang duduk di bangku depan pos satpam. Bibirnya mengerucut lucu. Sambil mengusap dahinya. Lian berjalan menghampirinya. "Vega? Kamu ngapain disini? Maaf ya kamu pasti kena lemparan koranku tadi. Aku ngga sengaja." Vega mengangguk pelan. "Iya. Gapapa kok. Cuma lain kali hati-hati dong kalo lempar," omelnya. "Iya maaf. Kan aku ngga tau kamu disini. Lagian tumben banget kamu disini? Biasanya jam segini masih tidur?" Vega menatap Lian. "Aku nungguin kamu," jawabnya. "Hah? Aku? Kenapa?" tanya Lian bingung. Vega mengangguk cepat. "Mau bilang makasih," ujarnya lembut. "Makasih? Buat apa?" "Kamu udah nganterin aku pulang pas hujan kemarin. Sama balikin sepatu aku yang ketinggalan di sepeda kamu itu." Vega mengangguk paham. "Oh... itu." "Aku mau bilang makasih kemarin. Pas ketemu di depan toko elektronik. Pas aku pulang dari pasar. Tapi kamunya udah main pergi aja. Huh!" rajuk Vega. Lian terkikik melihatnya. "Oh iya. Kamu kemarin serius dari pasar ya?" "Iya." "Pasar yang diujung jalan itu?" "Iya." "Yang becek itu?" "Iya Lian," jawab Vega sedikit menekan nada suaranya. "Kok bisa?" "Hah? Maksudnya?" "Ya kok bisa kamu ke pasar tradisional yang becek, bau terus sesak. Biasanya kalo belanja ke mall," ejeknya. Vega menyipitkan matanya. Menatap Lian penuh dendam. Lian yang melihatnya pun merasa ngeri. Lian segera berbalik dan akan pergi dari rumah Vega. "Liaaann!" panggil Vega kencang membuat Lian berhenti. Lian membalikkan badannya. "Apa?" "Jangan lari dari tanggung jawab! Jidat aku masih sakit nih!" ucap Vega sambil menunjuk keningnya yang tadi terkena lemparan koran Lian. Lian menghela nafas kasar lalu kembali menghampiri Vega. "Lebay ah! Gini doang masa sakit sih," ujarnya pelan. Lian menyentuh dahi Vega lembut. Meneliti sekitar keningnya yang terkena lemparan koran. Vega diam mengamati Lian yang mengusap lembut keningnya. Wajah Lian saat ini terlihat sangat tampan. Apalagi dia tidak memakai kacamata bulatnya yang selalu membuatnya terlihat culun. Bulu mata lentiknya. Alis hitam dan tebalnya. Hidungnya yang mancung menantang. Lalu bibirnya yang merah. Mendadak Vega dilanda gugup luar biasa saat Lian meniup-niup lembut dahinya. Jantungnya berdebar tidak karuan. "Udah kan? Masih sakit?" tanya Lian. Vega menggeleng cepat. Sebenarnya dia senang bukan main. Perasaan bahagia langsung menyeruak saat Vega mendekatinya. "Makasih," balas Vega lembut. Lian mengangguk lalu berjalan menjauhi Vega. Keluar gerbang dan melajukan sepedanya meninggalkan komplek tersebut. Sementara Vega masih duduk diam tidak bergerak sama sekali. Gadis itu memegangi dadanya yang masih tidak mau berhenti berdebar kencang. Sebuah senyum kecil terlukis di bibirnya. Altair&Vega_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD