bc

Altair dan Vega

book_age16+
1.3K
FOLLOW
4.1K
READ
love-triangle
fated
second chance
goodgirl
drama
sweet
icy
first love
poor to rich
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Langit yang begitu jauhnya. Rindu yang begitu dekatnya. Galaksi dan semesta yang menaungi kita. Di langit mana aku dapat temukan dirimu yang lenyap dari sisiku.

Altair seorang pemuda yang tinggal di panti asuhan sejak kecil karena dibuang oleh orang tua kandungnya. Jatuh cinta pada Vega, seorang gadis dari keluarga kaya yang menjadi idola semua orang. Bagi Altair, bersama dengan Vega adalah hal mustahil. Dia tau sikap baik Vega padanya selama ini hanyalah usaha gadis itu untuk memanfaatkannya. Altair yang kecewa pun memutuskan untuk pergi ke tempat dimana tidak dapat melihat Vega lagi. Sampai Vega pun tau apa artinya cinta.

Pict by : Pinterest

Design by : Canva

Edit by : Nayla Fitri

chap-preview
Free preview
Bab 1 : Mengagumimu dalam diam
Lian terbangun saat adzan subuh berkumandang. Pemuda itu menggeliat di atas kasurnya. Merentangkan tangannya. Dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Dia berusaha bangun dari kasur. Meskipun rasanya dia tidak rela untuk meninggalkan kasurnya yang baru beberapa jam lalu dia tiduri. Semalam Lian memang belajar hingga pukul dua malam. Dan kini pukul setengah lima pagi dia harus bangun dan menjalankan kewajibannya. Setelah mandi dan sholat subuh, pemuda itu langsung mengayuh sepedanya dengan semangat menuju tempatnya bekerja. Kios milik Bang Dadang, agen koran dan majalah. Lian menyandarkan sepeda bututnya pada tembok kios. Sepertinya dia kesiangan hari ini. Sudah banyak para rekan- rekannya, sesama loper koran yang mengantri untuk mendapatkan koran-koran yang akan mereka jajakan. Parman, seorang pria yang berumur sekitar tiga puluh tahunan menyapa Lian dengan membawa setumpuk koran di tangannya. Parman ini hidup sebatang kara di Jakarta. Beberapa tahun lalu, keluarganya tewas saat badai tsunami menyapu Aceh. Pria itu menepuk pundak Lian yang sedang mengantri. “Kesiangan ya lo, Li?” tegurnya. Lian tersenyum tipis menanggapinya. “Iya, Bang. Semalem gue belajar sampai malem. Ada ujian soalnya Bang hari ini.” “Rajin bener lo, Li. Ya udah deh. Gue duluan, ya!” pamitnya. Lian mengangguk membalas tepukan di bahunya. “Oke Bang. Semoga laris, ya!” ujarnya. Sampai giliran Lian yang menerima pembagian koran. Bang Dadang, pria paruh baya yang berbadan kekar dan bertato itu, sudah hampir dua tahun ini memperkerjakan Lian. Setiap pagi Lian mengantar koran ke rumah-rumah yang b**********n koran Bang Dadang. Lian tersenyum saat menerima setumpuk koran di tangannya. Koran itu masih terasa hangat. Mungkin baru turun cetak. “Nih Li, bagian lo nganter empat puluh koran kayak biasanya. Kecuali rumah di blok AG 1. Orangnya udah pindah kemarin.” Bang Dadang menyerahkan tumpukan koran ke tangan Lian. “Majalahnya nggak sekalian aja Bang?” tanya Lian yang melirik ke tumpukan majalah di sudut kios. Bang Dadang melambaikan tangannya. “Udah. Itu dulu aja Li. Majalahnya ntar sepulang sekolah aja lo anter. Keburu siang. Ntar sekolah lo telat lagi.” Lian mengangguk setuju, “Ya udah deh, Bang. Lian berangkat dulu, ya? Assalamualaikum,” pamitnya “Waalaikum salam. Hati-hati Li!” seru Bang Dadang pada Lian saat pemuda itu menata koran di keranjangnya. Lian melambai pada Bang Dadang dan orang-orang yang ada disana. Lalu dengan semangat Lian mengayuh sepedanya menuju sebuah perumahan elit yang tiap hari disambanginya. Gapura raksasa yang kokoh langsung menyambut Lian saat pertama kali memasuki pintu masuk ke kawasan perumahan itu. Lian berhenti sejenak di depan pos satpam. “Pagi Pak Wawan!” sapanya pada seorang pria yang seumuran dengan Bang Dadang yang sedang bertugas menjaga kawasan itu. Satpam tadi pun tersenyum melihat Lian. “Baru dateng Li? Kesiangan ya?” tebaknya. Lian hanya meringis. “Iya nih Pak Wawan. Lian nganter koran dulu, ya?” ujarnya. “Hati-hati, Li. Jalan licin.” Pak Wawan berteriak mengingatkan Lian agar berhati-hati. *** Dengan penuh semangat, Lian mengantar koran dari rumah ke rumah. Hingga pada rumah terakhir, di ujung jalan. Lian melirik jam ditangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah enam. Lian pun melempar koran terakhirnya dengan cepat. Lalu mengayuh sepedanya kencang. Secepat mungkin dia harus sampai di rumah. Karena kewajibannya belum selesai sampai disini. Setelah berganti seragam, Lian pun segera masuk ke ruang makan. Namun sebelum itu, Lian terlebih dahulu berjalan ke dapur, menghampiri sosok wanita yang umurnya tidak lagi muda, sedang memindahkan sayur dari panci ke dalam mangkuk. Lian menepuk bahunya pelan. Lalu mengendus-ngendus pada sayur yang tadi dimasak wanita itu. “Hmm.. baunya enak bener. Pasti maknyus nih Bu,” ucapnya sambil mencecap-cecap bibirnya. Seperti merasakan rasa sayur tadi. Wanita itu tersenyum kecil. Lalu mengusap kepala Lian sayang. “Sarapan sana! Keburu telat sekolahnya!” suruhnya. “Iya. Tapi bentar aku bantuin Ibu Hanna yang paling cantik ini dulu!” goda Lian mengedip genit pada wanita itu. Wanita itu tertawa geli melihat Lian. Lalu mendorong tubuhnya menjauh dari dapur. “Udah gapapa. Biar Ibu yang beresin dapur sendiri. Kamu sarapan gih. Ntar kesiangan!” Lian tersenyum manis. Lalu mengacungkan jempolnya pada wanita itu. “Ok deh Ibu cantik,” ujarnya semangat lalu keluar dapur Lian menarik kursi di sebelah Mutia, gadis kecil yang imut dan menggemaskan. Gadis berusia empat tahun ini, kini bersekolah di taman kanak-kanak. Lian duduk di sebelah Mutia yang terlihat sibuk dengan makanannya. “Tia kok makan duluan? Nggak nunggu Bang Lian? Emang udah doa?” tegur Lian pura-pura marah. Gadis itu tertawa kecil seraya menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya. “Maaf Bang. Tia udah laper. Jadi Tia makan dulu. Tapi Tia udah baca doa kok. Beneran,” ujarnya menggemaskan. Lian mengacak rambutnya sayang dan mengangguk. “Ya udah. Tia lanjutin makan ya. Bang Lian juga mau makan nih.” Lian lalu menyendok nasi dan mengambil lauk tempe dan sayur kangkung kesukaannya. Tidak beberapa lama kemudian seorang anak laki-laki bertubuh gemuk ikut bergabung bersama mereka di meja makan. Adit, nama anak lelaki itu. Sekarang dia sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Anak itu terlihat lemas dan sama sekali tidak bersemangat saat duduk di samping Lian. Adit hanya memandangi makanan yang ada di meja dengan sesekali menghela nafas. Lian mengernyit bingung melihat adiknya yang sedang menunduk lesu di sampingnya. Biasanya jika waktunya makan, Adit adalah anak pertama yang antusias. Tapi kini sebaliknya dia malah terdiam saat melihat tempe goreng dan sayur kangkung favoritnya. “Adit nggak makan? Makan gih! Ntar keburu telat,” ujar Lian Anak itu menggeleng pelan. “Adit nggak mau sekolah, Bang,” ucapnya lemas. Lian terkejut mendengarnya. Adit malas sekolah? Itu sangat bukan Adit yang dikenalnya. Adit adalah siswa teladan di sekolah. Selain pintar, anak itu juga rajin. Jadi tidak mungkin adit tidak mau sekolah tanpa alasan. “Loh... kok gitu, sih? Emang ada masalah?” tanya Lian Anak itu menghela nafas pelan. “Adit malu, Bang. Adit diledekin temen-temen Adit. Katanya seragam Adit buluk,” ujarnya sendu. Lian terdiam. Melihat ekspresi sendu anak itu. Iya, dia pasti sangat malu. Seragam yang dipakai Adit memang sudah usang. Memang kebanyakan anak-anak di panti sangat jarang berganti seragam sekolah. Jika ada orang yang menyumbangkan seragam sekolah bekas, barulah anak-anak bisa berganti seragam. Karena itu tak heran seragam mereka sudah usang dan bisa dibilang tidak layak pakai. Lian mengelus kepala Adit dengan lembut. “Adit pake seragam itu dulu, ya? Nanti kalo Abang udah gajian Abang beliin seragam baru,” hiburnya. Adit menoleh Lian tidak percaya. “Beneran Bang? Adit mau dibeliin seragam baru?” tanyanya antusias. Lian mengangguk mengiyakan. Anak lelaki itu langsung bersorak kesenangan. “Makasih ya, Bang,” ucapnya seraya tersenyum. Lian tertawa kecil melihat perut gendut Adit yang ikut bergoyang saat dia bersorak kegirangan. Lian ikut senang melihatnya. Dia sudah bertekad untuk mengabdikan hidupnya pada panti asuhan yang sudah membesarkannya. Memberikan apapun yang dia mampu bagikan untuk anak-anak yang senasib dengannya. Dibuang dan ditinggalkan oleh orang tuanya. Jam menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit saat Lian keluar dari panti dan mengambil sepedanya. Dengan membawa sebuah boks kue, Lian mengajak Anisa, adiknya di panti yang berumur tujuh tahun untuk berangkat bersama. Gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas sarusekolah dasar itu keluar dengan kuncir kuda khasnya. Juga poni di atas alis yang membuatnya tampak manis. “Ayok Bang Lian!” ajaknya bersemangat. Anisa langsung duduk di bagian depan sepeda Lian, setelah Lian mengaitkan boxnya ke atas boncengan belakang sepedanya dengan tali. Mereka biasanya berangkat bertiga bersama Rizki yang sepantaran dengan Anisa. Tapi karena Rizki demam sejak semalam, hari ini dia tidak masuk sekolah. Anisa bernyanyi sepanjang perjalanan ke sekolah. Gadis kecil itu selalu ingin duduk di depan sepeda Lian. Katanya biar bisa melihat pemandangan. Lian tersenyum kecil saat suara merdu Anisa menyanyikan lagu bunda milik Melly Goeslaw. Di panti, hanya Anisa lah yang lebih banyak tau tentang dunia luar. Karena memang di panti tidak ada televisi, jadi anak-anak jarang mengetahui keadaan dunia luar. Palingan sepulang sekolah mereka belajar, bermain dengan sesama anak panti lalu mengaji. Tapi si kecil Anisa yang lincah dan selalu ingin tau, seringkali merengek pada Lian. Ingin nonton TV. Jadi Lian mengajaknya ke sebuah toko elektronik di ujung jalan raya. Anisa sangat senang bila pemilik toko menyetel kartun kesukaannya, Sofia dan Frozen. Gadis kecil itu akan nonton dengan semangat di depan toko. Pemilik toko, seorang pria keturunan Tionghoa. Akhirnya merasa iba dan menyuruh Lian dan Anisa nonton TV di dalam tokonya. Akhirnya Lian pun mengenal pria itu, Koh Rion. Sekitar lima belas menit kemudian mereka sampai di depan sekolah Anisa. Gadis itu langsung turun dari sepeda dibantu Lian. “Nisa berangkat ya, Bang. Nanti Abang jadi jemput kan?” tanyanya seraya mencium tangan Lian. Lian mengangguk. “Iya Nis. Nanti Bang Lian pulang awal. Materi ujiannya cuma dua. Nanti Bang Lian tunggu disini ya?” Gadis kecil itu tersenyum senang. “Ok deh Bang! Nisa juga capek kalo jalan kaki terus pulang sekolah,” ucapnya lalu terkikik. Lian tersenyum lalu memandang gadis kecil itu sampai masuk ke dalam sekolahnya. Setelah itu, Lian kembali melajukan sepedanya ke sekolahnya. SMA Putra Bangsa, tempat selama hampir tiga tahun ini Ai menuntut ilmu. Sekolah elit dan favorit ini memberikan Lian beasiswa karena kecerdasannya. Lian menyandarkan sepedanya pada pohon mangga yang ada di tempat parkir sekolah. Tak lupa Lian menggemboknya agar tidak hilang. Hilang disini bukan berarti dicuri, karena sekolah ini sangatlah aman dari pencurian. Tetapi hilang ini karena diambil oleh siswa yang jahil. Pernah suatu kali sepeda Lian panik saat dia akan pulang namun sepedanya tidak ada di tempat dia meletakkanya tadi pagi. Tau-taunya sepeda Lian digantung di atas pohon mangga. Jadilah Lian memanjat pohon mangga yang lumayan tinggi di bantu satpam sekolahnya, Lian berhasil membawa sepeda itu turun. Namun sialnya seragam Lian yang sudah tipis pun sobek terkena ranting pohon yang tajam. Lian bergegas ke kantin karena jam ditangannya sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh pagi. Setengah jam lagi bel masuk berbunyi. Dengan langkah tergesa-gesa, Lian masuk ke kantin yang masih sepi. Karena jarang anak yang ke kantin pagi-pagi. Kebanyakan mereka ngerumpi di kelas atau bermain basket di lapangan. Kadang juga masih sibuk mengerjakan PR yang belum selesai. Lian tersenyum pada si ibu kantin, Bu Nila yang sedang sibuk menata jajanan di etalase. “Pagi Bu Nila!” sapanya. Perempuan seumuran Ibu Hanna itu tersenyum pada Lian. “Tumben jam segini baru dateng, Li?” tanyanya. “Iya nih Bu. Lian kesiangan. Nih jajannya. Ada tiga puluh biji ya, Bu.” Lian meletakkan boks yang di bawanya dari rumah ke atas meja kantin. Bu Nila mengangguk sekilas. “Besok-besok bawanya agak banyakan dikit ya, Li! Anak-anak kadang pulang sekolah masih nanyain jajanan.” Lian mengendikkan bahunya. “Ya ntar kalo bisa sih Bu. Bu Hana belum sembuh betul soalnya. Ini aja Lian tau Bu Hana maksain jualan.” “Bu Hana belum sembuh ya, Li? Ya udah deh. Semoga Bu Hana cepet sembuh ya! Biar bisa terus jagain kamu dan anak- anak panti,” ujar Bu Nila tulus. Lian mengangguk lalu merapikan seragamnya yang terlihat sedikit berantakan. “Ya udah. Lian masuk dulu Bu. Takut telat. Ntar malah nggak boleh ikut ujian.” Bu Nila mengangguk mengiyakan. Lian pun bergegas keluar kantin dan berjalan melewati lorong menuju kelasnya. Lian menaiki tangga karena memang ruang kelasnya ada di lantai dua. Lian berjalan tergesa-gesa tanpa melihat ke depan. Akibatnya saat sampai di atas, tubuhnya menabrak seseorang. Dia mengaduh kesakitan karena pantatnya dengan sukses mendarat di lantai yang keras. Lian juga mendengar suara seseorang sedang mengaduh yang terasa sangat dekat dengannya. Beberapa saat kemudian Lian tersadar jika yang ditabraknya tadi seorang gadis. Lian mendadak mematung ketika menyadari gadis tadi terjatuh tepat di pangkuannya. Lian diam selama beberapa saat. Kemudian gadis itu juga sadar jika sedang terduduk di pangkuan Lian. Cepat-cepat gadis itu bangkit dan membenahi seragamnya dengan gugup. Lian pun tidak kalah gugupnya dengan gadis itu. Lian merapikan kemeja dan juga menepuk-nepuk celananya yang kotor di bagian pantatnya. “Kamu ngga apa-apa?” tanya gadis itu lembut. Lian tergagap. Lalu mengibas-ngibaskan tangannya refleks. “Gapapa kok. Gapapa. Maaf aku tadi nggak sengaja,” balasnya gugup. Bagaimana tidak, gadis yang ditabraknya tadi adalah Vega Harun. Gadis terpopuler di sekolah. Gadis cantik yang dijuluki tuan putri oleh semua siswa disana. Vega adalah gadis istimewa di sekolah. Hampir semua siswa lelaki memujanya. Cantik, kaya dan populer. Sungguh sempurna predikat yang melekat pada diri gadis itu. Suara bel berbunyi menyadarkan mereka. Gadis itu langsung terburu-buru meninggalkan Lian dan masuk ke kelasnya yang bersebelahan dengan kelas Lian. Lian tersenyum memandang gadis itu yang kini telah lenyap dari hadapannya. Lian tersenyum tipis. Mengusir semua bayangan yang masuk ke dalam kepalanya. Gadis itu terlalu sempurna untuknya. Mereka berdua ibarat langit dan bumi. Jika Lian mengharapkan bisa dekat dengannya sama seperti si pungguk yang merindukan rembulan. Lihat saja betapa cantik dan menawannya gadis itu. Sedangkan dirinya hanyalah pemuda yang berasal dari panti asuhan. Tidak memiliki apapun yang bisa dia banggakan kecuali kepintarannya. Dandanan yang culun dengan kacamata tebal. Baju yang sudah buluk. Dan tampak jahitan di bahu dan punggungnya. Juga tasnya yang tanpa resleting. Hingga pemuda itu terpaksa memasangkan peniti di bagian kanan dan kiri tasnya. Agar bukunya tidak terjatuh bertebaran. Apalagi sepatunya yang butut. Bagian depannya sudah robek. Solnya yang telah tipis. Juga warnanya yang dulunya hitam kini telah memudar. Lian mengambil buku yang terjatuh di lantai. Sepertinya buku itu milik Vega yang terjatuh saat mereka bertabrakan. Lian mengambil buku itu dan memasukkan ke dalam tasnya. Vega hanya bisa dia pandang. Vega hanya bisa dia kagumi dalam diam. Altair&Vega_

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
19.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
106.9K
bc

My Secret Little Wife

read
115.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
201.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook