Bab 7 : Tidak Bahagia

1735 Words
Suara bell berbunyi. Tanda jam istirahat telah tiba. Lian menghela nafas lega. Akhirnya jam istrihat tiba juga. Dari pagi dia kelaparan karena belum sarapan. Lian memutar pinggangnya ke kanan dan ke kiri. Lalu membuka tasnya. "Kamu nggak makan?" tanya Lian pada gadis di sampingnya. Lian mengeluarkan sebuah kotak bekal dari dalam tasnya. Sementara semua siswa yang sedang mengikuti MOS di aula sekolah pun berhambur ke pintu. Berebut keluar terlebih dahulu. Ingin secepatnya mengisi perut yang sedari tadi keroncongan saat mengikuti kegiatan MOS yang dimulai sejak pagi. Gadis itu menggeleng lemah. "Aku takut ke kantin sendirian, Li. Kamu mau nggak ke kantin bareng aku?" Lian menatapnya tidak enak. Pasalnya dia sudah membawa bekal yang sisiapkan Bu Aisyah tadi pagi sebelum berangkat. "Aku bawa bekal, Ga. Tadi dibawain Ibu dari rumah," jawabnya. Vega menunduk lemas. Perutnya sudah sangat lapar. Dia juga ingin ke kantin seperti anak-anak lainnya. Tapi dia takut pergi sendiri. Dia kan tidak mengenal siapapun di sekolah barunya. Hanya Lian yang dia kenal. Tapi Lian sudah membawa bekal. Alamat Vega harus menahan lapar hingga jam pulang sekolah. "Kamu mau makan bekalku nggak? Nih! Makan aja! Aku udah kenyang." Lian memberikan kotak bekalnya pada Vega. Vega menatapnya bingung. "Kamu nggak makan?" tanyanya. Lian menggeleng. "Aku udah kenyang. Tadi pagi makan banyak di rumah. Kamu makan aja! Nih sendoknya!" Lian memberikan sendoknya pada Vega. "Nggak usah, Li. Ini kan bekal makan siang kamu. Aku gapapa kok. Bisa makan di rumah nanti." Vega mengembalikan bekal tadi pada Lian. Lian menahan tangannya lalu membuka kotak bekal itu. Bau sedap tempe orek dan telur dadar juga sambal langsung bisa tercium. Menggugah selera makan, membuat Lian dan Vega sama-sama semakin lapar. "Makan, Ga! Ntar keburu jam istirahat habis." Lian memaksa Vega memegang bekal dan sendoknya. Vega menelan ludahnya. Dia sedikit tergiur dengan makanan di depannya. Dia merasa tidak enak karena merebut bekal Lian. Tapi sumpah. Perutnya benar-benar minta diisi. "Beneran Li?" ucapnya pelan. Vega mengangguk lalu tersenyum lembut pada Vega. Vega pun langsung memakan bekal Lian dengan lahap. Sepertinya makanan itu benar-benar enak. Sampai Vega makan dengan serius. Sambil sesekali melirik pada Lian. Sementara itu Lian meraih tas disampingnya. Lalu mendekapnya erat. Mencoba menahan perutnya agar tidak terus berbunyi dan semakin perih karena menahan lapar. Tidak apa-apa jika dia kelaparan asalkan gadis yang dia sukai bisa makan saat ini. *** “Oh iya! Ntar lo ikut belajar lagi di rumah Lian?” tanya Dinda pada Vega siang itu saat keduanya berjalan beriringan ke tempat parkir. Vega mengangguk pelan. Pastilah dia ikut. Tidak akan dia sia-siakan kesempatan untuk belajar dengan Lian. Tidak akan pernah. Meski banyak tawaran dari teman-teman lainnya untuk belajar bersama. Dia tidak mau. Dia hanya mau belajar dengan Lian. Dia lebih memilih Lian. Karena meskipun dia sekarang punya banyak sekali teman, tapi dia hanya punya satu orang Lian. Dan dia tidak mau jauh lagi darinya. Sudah berbulan-bulan ini dia terus berusaha untuk kembali dekat dengannya. Dan Lian juga sepertinya sudah mulai kembali seperti dulu. Tentu saja Vega sangat senang dengan perubahannya. Seiring berjalannya waktu, kemarahan pemuda itu pun mencair. “Bukannya elo hari ini ada jadwal les piano?” tanya Dinda. Vega mengangguk. “Iya. Tapi gue bolos. Mendingan gue belajar bareng Lian sama elo daripada ikut les piano.” “Ooh...” ujar Dinda manggut-manggut. Wajah kecewa gadis itu membuat Vega mengerutkan keningnya. ”Emangnya kenapa, Din?” tanya Vega. Dinda mengendikkan bahunya. “Nggak sih,” balasnya. “Kirain elo nggak ikutan. Soalnya gue mau-” “Lo mau apa?” potong Vega. Dinda tersenyum tipis. Pipinya mendadak memerah. “Um... gue mau...” Dinda tersenyum pada Vega. Gadis itu memegangi dadanya yang tak berhenti berdetak kencang. “Gue suka sama Lian, Ga. Dan gue pengen ngungkapin perasaan gue. Jadi gue harap kali ini lo nggak usah ikut ke rumah Lian ya?” ujarnya penuh harap. “Please...” Jantung Vega seakan berhenti berdetak seketika. Nafasnya terhenti. Tenggorokannya tercekat. Sehingga tidak ada kata yang bisa dia ucapkan. Dinda menatapnya dengan memelas. Kedua tangannya dikatupkan di depan d**a. “Please... gue suka sama Lian udah lama banget. Dan gue baru punya keberanian sekarang. Please, Ga... gue mungkin nggak bisa lagi nahan perasaan gue sama Lian.” Gadis itu menunduk melihat ekspresi Vega yang begitu terkejut. Wajah gadis itu pucat pasi. Dinda sangat tau Vega pasti sangat kaget mendengar pengakuannya. Vega tidak akan menyangka bila Dinda bisa jatuh hati pada Lian. “Gue tau Lian emang Anak panti. Dia yatim piatu dan nggak punya apa-apa. Hidupnya beda jauh sama kita. Tapi, cinta itu nggak bisa diukur sama apa yang kita punya kan, Ga. Gue nggak bisa nahan diri gue buat nggak jatuh cinta sama Lian.” Vega tidak tau apa yang harus dia katakan dan lakukan. Jadi gadis itu hanya mematung di tempatnya berdiri sembari mendengarkan cerita Dinda tentang perasaannya pada Lian. *** Gue tau Lian emang Anak panti. Dia yatim piatu dan nggak punya apa-apa. Hidupnya beda jauh sama kita. Tapi, cinta itu nggak bisa diukur sama apa yang kita punya kan, Ga. Gue nggak bisa nahan diri gue buat nggak jatuh cinta sama Lian. Vega terpekur seorang diri di atas ranjangnya. Kata-kata Dinda tentang Lian tadi terus terulang dalam benaknya. Entah kenapa dia merasa sedih. Dia tidak rela kalau Dinda punya perasaan berbeda pada Lian. Vega tidak rela ada orang lain yang menyukai Lian melebihi dirinya. Apalagi itu adalah Dinda, sahabatnya yang sangat dekat dengan Lian. Gadis itu ternyata sudah mengenal dan menyukai Lian cukup lama tapi Vega tidak pernah tau. Dinda selama ini tidak pernah mengatakan pada Vega jika dia sangat dekat dengan pemuda itu. Padahal mereka bersahabat cukup lama dan saling berbagi saat ada masalah. Namun siapa sangka jika selama ini menyukai orang yang sama dengan diam-diam? Vega memegangi dadanya yang terasa nyeri. Dia tidak bisa berhenti membayangkan jika Lian ternyata juga menyukai Dinda. Lalu setelah ini mereka akan bersama, seperti sepasang sejoli, bersama kesana-kemari di depan matanya. Gadis itu menutup wajahnya, tak sanggup lagi memikirkan hal itu. Vega menangis terisak, untuk pertama kalinya karena seorang Lian. *** Ketakutan Vega sejak kemarin kian nyata saat melihat Dinda dan Lian berjalan bersama hari ini di lorong sekolah. Mereka mengobrol seru. Sesekali Vega melihat keduanya tertawa bersamaan. Vega menundukkan kepalanya, lalu berbalik ke arah yang berlawanan dengan tujuannya. Dia pergi ke taman sekolah. Lalu duduk di bangku taman dengan wajah sendu. Melihat Lian dan Dinda tadi, mungkin saja keduanya sudah berpacaran. Dinda pasti benar-benar mengungkapkan perasaannya pada Lian. Dan pemuda itu pasti menerimanya dengan senang hati. Dia kan juga sangat menyukai Dinda. Ya, siapa yang tidak suka Dinda. Gadis baik dan ramah itu, juga populer di kalangan teman-temannya. Apalagi dia juga cantik. Pasti banyak yang menyukainya. Vega mendesah lirih. Dia meletakkan tas sekolahnya di sampingnya. Lalu bersandar lemah di bangku taman. Tak terhitung sudah berapa kali dia menyesal sudah membohongi Lian dulu sampai pemuda itu membencinya. Mungkin jika dulu dia berterus terang jika dia putri Akmal harun, bukan putri sopirnya, pasti saat ini dia masih berteman dengan Lian. Dia pasti masih mendapat kepercayaannya. Tapi mau dia menyesal sebanyak apapun, itu tidak akan merubah keadaan. Semua sudah terjadi. Dan dia tidak bisa memperbaikinya. Sudah terlambat baginya untuk menyadari perasaannya pada Lian. Pemuda itu sudah punya gadis lain yang dia sukai. Dan itu bukan dirinya. “Kok ngelamun?” Vega tersentak saat tiba-tiba seorang pemuda berdiri di hadapannya. “Shawn? Kok kamu disini?” tanyanya. Shawn mengendikkan bahu. “Aku ngikutin kamu.” “Apa?” tanya Vega tak yakin. “Tadi aku liat kamu jalan terus aku ikutin deh.” Vega mengerutkan keningnya. “Ngapain ngikutin aku?” tanyanya. “Emang nggak boleh? Vega berdecak kecil melihat Shawn mengedipkan sebelah matanya. “Apaan sih, Shawn!” Shawn terkekeh. “Eh, nggak mau masuk kelas? Udah mau bel loh!” Vega menggeleng pelan. “Aku lagi nggak mood, Shawn. Kayaknya aku mau bolos, deh.” “Kalau gitu kita bolos bareng yuk!” “Hah?” Shawn berdiri dan menarik tangan Vega. “Ayo! Aku juga lagi pengen bolos nih!” Vega menggeleng cepat. “Tapi, Shawn...” Shawn mengambil tas Vega dan menarik paksa gadis itu. “Ayo, cepetan! Mumpung belum bel!” Dan Vega merasa dirinya sudah gila saat mengikuti langkah Shawn ke tempat parkir. “Shawn, ini pertama kalinya aku bolos,” ujar Vega sambil memasang sabuk pengaman ke badannya. “Jangan khawatir. Aku juga sama,” balas Shawn sambil tersenyum kecil. *** Vega turun dari mobil Shawn sambil tersenyum. Gadis itu berdiri di depan mobil lalu melambai pada Shawn. Dia baru masuk ke dalam rumah setelah mobil yang dikemudikan oleh Shawn menjauh dari gerbang rumahnya. Gadis itu tak henti tersenyum saat berjalan masuk ke dalam rumah. Saat Vega membuka pintu rumahnya, dia dikejutkan oleh Dinda yang mendadak muncul di depannya. “Astaga! Dinda! Lo ngapain disini?” kesalnya. “Lo bikin kaget gue tau nggak!” “Lo darimana? Lo bolos sekolah hari ini. Lo kemana?” Vega mendengus pelan lalu berjalan masuk dan melewati Dinda tanpa berniat menjawab pertanyaannya. Dinda menutup pintu lalu mengejar langkah Vega. “Ga!” panggilnya. “Vega!” Dinda menahan pintu kamar Vega saat sahabatnya itu berniat menutupnya. “Lo kemana aja? Kenapa lo bolos?” Vega melempar tas sekolahnya ke atas ranjang. Lalu melepas sepatunya. “Bukan urusan lo!” jawabnya cuek. Dinda menghela nafas pelan. “Lo nggak biasanya kayak gini. Lo kenapa, Ga?” tanyanya. “Bukan urusan elo!” “Ga...” Vega melepas dasi yang terpasang di kerah lehernya dengan kesal. “Kenapa sih elo pengen tau aja gue kemana? Itu kan urusan gue. Mau gue sekolah kek, mau gue bolos kek. Suka- suka gue lah!” Dinda menggeleng pelan. Dia tidak menyangka jika Vega sahabatnya bisa seperti itu. “Vega...” "Mulai sekarang elo nggak usah ikut campur urusan gue. Urusin aja urusan lo sendiri!” “Vega!” sentak Dinda. Gadis itu berjalan mendekati Vega yang sedang melepas kuncir rambutnya. “Lo kenapa sih? Lo kenapa jadi kayak gini? Apa gue buat salah sama lo?” “Nggak ada,” balas Vega cepat. Gadis itu menyingkirkan Dinda yang berada di depannya agar bisa beranjak menuju ke kamar mandi. “Mending elo pulang. Gue mau istirahat. Gue capek.” Dinda menggeleng pelan saat mendengar Vega membantingpintu kamar mandi. Gadis itu benar-benar bingung melihat perubahan Vega yang mendadak. Vega, sahabatnya yang lemah lembut kini berubah. Entah apa masalah gadis itu. Tapi Dinda yakin ada sesuatu yang terjadi pada Vega sehingga sahabatnya itu berubah. Altair&Vega_
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD