"Eh Ga... Tadi aku denger ada anak yang bilang. Salah satu murid baru disini ternyata anaknya Pak Akmal harun. Itu loh pengusaha properti ternama di Indonesia," ujar Lian sambil memakan bekalnya siang itu.
Hari ini adalah hari kedua MOS di SMA Putra Bangsa. Di hari kedua ini, Vega sengaja membawa bekal agar dia bisa makan dengan Lian.
Vega yang sedang makan bekalnya dengan lahap hampir saja tersedak. Gadis itu menatap Lian tajam. Hatinya berdebar-debar. Bagaimana Lian tau tentang papanya?
Vega merasa cemas. Jangan sampai Lian tau jika dialah anak Akmal Harun yang dibicarakan Lian. Vega takut temannya itu akan menjauhinya. Mengingat perkataan Lian kemarin saat pulang dari sekolah.
Lian bilang dia tidak suka jika berteman dengan orang kaya. Menurut Lian kebanyakan orang kaya itu sombong. Selalu mentang-mentang dan mau menang sendiri. Suka membully dan berlaku seenaknya pada orang-orang sepertinya.
Lian juga menyebutkan ada alasan lain. Tapi pemuda itu tidak memberitahukannya pada Vega. Karena mungkin cukup hanya dirinya saja yang tahu, katanya.
Nafsu makan Vega mendadak hilang saat mendengar perkataan Lian. Lama Vega mendiamkan nasinya. Lalu menutup kotak bekalnya. Dia sudah tidak ingin lagi makan barang sesendok pun.
"Loh, Ga. Kenapa nasinya nggak dihabisin?" tanya Lian bingung.
Vega menggeleng. "Nggak, Li. Udah kenyang. Perutku nggak enak nih," jawabnya. Hatiku juga nggak enak Li, batinnya.
"Li..."
"Iya?" Lian masih fokus pada bekalnya. Masakan Ibu Aisyah memang benar-benar enak. Hingga Lian makan begitu lahap.
"Em.. kalo kamu mau nggak temenan sama anaknya Pak Akmal Harun?" tanya Lian hati-hati.
Lian menghentikan makannya. Lalu menoleh pada Vega. Menatapnya lekat. "Emm.. gimana ya? Aku sih kurang suka berteman sama orang kaya, Ga. Aku kurang nyaman. Mending temenan sama kamu. Sama-sama orang biasa yang nggak banyak tingkah," jawabnya sambil tertawa.
Vega diam tidak bersuara. Tenggorokannya tercekat. Lidahnya mendadak kelu. Tidak sanggup untuk menjawab kata-kata Lian. Memang ini salahnya.
Kemarin dari awal mereka bertemu, Lian sempat menanyakan Vega tinggal dimana. Vega yang bingung hendak menjawab pun asal bicara.
Dia mengatakan kalau dia juga tinggal di sebuah perkampungan biasa. Ayahnya hanyalah seorang sopir. Vega berbohong karena takut Lian merasa tidak nyaman berteman dengannya yang statusnya berbanding terbalik dengan dirinya.
Vega takut Lian minder dekat dengannya. Jadi karena Lian sebelumnya sempat bercerita dia tinggal di panti asuhan sejak kecil, Vega pun sedikit berbohong tentang identitasnya.
Sedikit. Menurut Vega. Entah bagaimana jika Lian tau nantinya. Vega saat ini tidak memiliki teman. Lian adalah satu-satunya teman yang dia miliki. Jadi dia bertekad untuk merahasiakan ini sampai akhir. Lian tidak boleh mengetahui siapa dia sebenarnya.
***
Vega merogoh saku tasnya, mencari ponselnya dan berniat menghubungi Pak Ujang. Tadi dia memang sengaja menyuruh Pak Ujang menjemputnya sore karena dia ada kelas tambahan. Namun karena kebetulan guru yang akan mengajar berhalangan hadir, akhirnya dia bisa pulang lebih awal.
Gadis itu berdecak pelan saat menyadari jika ponselnya tertinggal di kelasnya. Sembari merengut, Vega berjalan kembali ke kelasnya untuk mengambil ponsel miliknya yang tertinggal. Tadi dia lupa memasukkan kembali ponselnya yang dia letakkan di laci karena terlalu bersemangat untuk pulang.
Suasana sekolah sudah mulai sepi. Para siswa sudah banyak yang pulang. Sepertinya Dinda juga sudah pulang dulu. Mengingat Dinda, Vega mendesah pelan. Dia sengaja menjauhi gadis itu, termasuk Lian.
Vega sudah tidak lagi ikut belajar bersama dengan mereka beberapa waktu belakangan. Dia bertekad untuk menjauhi kedua orang itu. Menjauh dari hal-hal yang berpotensi membuatnya sakit hati.
Dan benar saja, tanpa melihat Lian dan Dinda membuat hatinya membaik. Tapi tidak dengan rindunya. Jujur, dia sangat ingin bersama dengan Lian seperti waktu lalu. Tapi itu tidak mungkin. Berdekatan dengan Lian bisa membuatnya makin sakit hati.
Langkah Vega terhenti saat tanpa sengaja dia mendengar suara berisik dari gudang sekolah yang dia lewati. Gadis itu mengernyit, menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara-suara berisik itu dengan seksama.
“Mampus nggak lo! Dasar Anak kampung! Nggak tau diri!”
Vega berusaha mengintip lewat celah pintu yang terbuka karena sangat penasaran. Mata Vega sontak membulat. Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Ternyata ada beberapa orang siswa disana, sedang menghajar seseorang.
Vega tidak bisa melihat wajahnya karena orang itu sedang meringkuk. Vega menelan ludahnya kelu. Awalnya dia berjalan mundur, hendak menjauhi tempat itu. Namun mendengar suara pekikan kesakitan orang yang sedang dihajar itu membuatnya tak tega. Tapi dia juga bingung hendak melakukan apa.
Dia terlonjak kaget saat pintu di depannya mendadak terbuka. Mata Vega melebar sempurna ketika sosok yang sangat dia kenali berdiri tepat di hadapannya. “Mario?” kagetnya.
“Vega? Kamu ngapain kesini?”
Vega menelan ludahnya kaku. Dia meneliti tampilan Mario dari atas ke bawah. Pemuda itu tampak baik-baik saja meski seragamnya acak-acakan.
Dan sudah bisa ditebak jika orang yang sedang meringkuk tak berdaya di lantai tadi bukanlah Mario. Jadi, pemuda itu pastilah orang yang menghajarnya.
Vega mengerjap tak percaya. “Kamu ngapain di dalem?” tanyanya pada Mario.
Pemuda itu hanya menggeleng pelan. “Ng-nggak! Tadi aku cuma beres-beres gudang,” balasnya beralasan.
“Bohong!” Vega hendak masuk namun Mario mrnghalangi langkahnya.
“Beneran, Ga. Aku itu tadi dihukum guru karena kemarin bolos.”
“Gue nggak percaya! Gue liat tadi lo mukulin orang di dalem. Iya kan?”
“Vega... kamu salah liat. Aku itu-”
Vega menerobos masuk dan gadis itu terbelalak melihat dua orang teman Mario sedang berada di dalam sana. Dan Vega lebih kaget lagi saat mengenali orang yang terbaring di lantai dengan seragam lusuh dan kotor.
Vega termanggu, memandang sosok itu dengan wajah pias. Perlahan, dia melangkah maju mendekat. Gadis itu seperti orang linglung.
Perlahan, Vega menyentuh lengannya. “Lian?” panggilnya. Vega merasa dadanya sangat sesak. Matanya pun sudah mulai berair.
“Lian!” panggilnya lagi.
Dan saat pemuda itu membuka matanya yang bengkak dan merah, saat itu pula Vega tidak bisa menahan tangisnya. “Lian!” jeritnya.
***
“Mau minum?” tawar Vega pada pemuda yang sedang duduk di depannya itu.
Pemuda itu menggeleng pelan. “Nggak usah, makasih.”
Vega menyentuh tulang pipi pemuda itu dengan berhati-hati. "Apa ini masih sakit?” tanyanya.
Lian menggeleng. “Udah lebih baik,” balasnya. “Makasih udah nolongin aku.”
Vega tidak menjawab. Gadis itu malah menghela nafas panjang. “Harusnya kamu laporin perbuatan Mario ke guru. Bukannya diem kayak gini.”
“Nggak perlu. Aku nggak mau urusannya jadi panjang.”
“Tapi Mario itu perlu dikasih pelajaran, Li! Anak b******k kayak gitu harusnya dimasukin ke penjara anak tau nggak!” seru Vega.
“Aku nggak nyangka dia bakal tega berbuat gini. Gue tau dia anak bandel. Tapi aku nggak tau dia bakal sejahat ini.”
Lian beranjak dari duduknya sembari meringis menahan sakit. "Aku pulang dulu. Takut nanti Ibu nyariin.”
“Aku anter ya?”
Lian menggeleng. “Nggak usah, aku jalan kaki aja.” “Lian! Kamu itu sakit! Kenapa mau pulang jalan kaki?”
"Gapapa, aku udah biasa kok.”
Jawaban itu sontak membuat Vega berdecak kesal. Gadis itu bangkit dan langsung menghampiri Lian. Vega meraih lengan Lian dan melingkarkan ke bahunya. Dia memapah tubuh Lian, membantu pemuda itu berjalan.
“Kita ke mobil dulu ya,” ujar Vega padanya.
Lalu gadis itu berteriak memanggil Pak Ujang dan memintanya untuk mengantar Lian pulang.
“Vega... nggak usah. Biar aku pulang sendiri aja.”
“Nggak usah nolak. Kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang. Coba kalau kamu sehat, aku nggak akan peduli, ngerti!”
Lian terdiam. Pemuda itu menghela nafas panjang lalu mengangguk pelan. Dia menurut saat Vega membantunya masuk ke mobil. “Makasih,” ucapnya pada gadis itu.
Vega tersenyum kecil. Senyuman kecil yang berlanjut dengan rasa bahagia yang meletup-letup dalam hatinya.
***
Lian masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap. Dia menutupi kepalanya dengan jaket hitam miliknya yang lusuh. Suasana panti sudah sepi karena memang sudah malam. Lian yakin anak-anak pasti sudah tidur.
Tapi ibunya mungkin belum. Dan karena itu Lian terburu- buru masuk ke kamarnya demi menghindari ibunya. Dia tidak mau wanita tua itu tau apa yang baru saja menimpanya. Dia takut ibunya kaget dan sedih.
“Baru pulang?” Lian terlonjak kaget saat melihat wanita itu berdiri tepat di belakangnya yang akan menutup pintu kamar.
Pemuda itu meringis pelan. “Ibu...” ucapnya.
“Belum tidur, Bu?” tanyanya basa-basi.
Namun ibunya tidak menjawab. Wanita itu menghampiri Lian. Dan seolah tau yang disembunyikan pemuda itu, Ibu Hanna menyingkap jaket Lian secara paksa.
“Ya Allah... muka kamu kenapa, Nak?” pekiknya kaget.
“Bu...” Lian berusaha melepaskan tangan ibunya yang berada di kepalanya, memeriksa luka-luka di wajahnya dengan seksama.
“Lian baik-baik aja kok, Bu.”
“Baik-baik gimana? Ini muka kamu babak belur kayak gini, kok. Kamu berantem ya?”
“Nggak, Bu.”
“Kalau gitu kamu pasti dipukulin sama orang. Iya, kan?”
“Itu, Bu... tadi Lian... Lian tadi misahin orang berantem. Terus nggak sengaja kena pukul, Bu. Jadi... kayak gini deh.” Lian menahan nafasnya. Dia tidak mampu menatap wajah ibunya saat sedang berbohong seperti itu.
Sungguh dia merasa bersalah sudah berbohong. Tapi dia tidak mau ibunya semakin kuatir dan bersedih. "MasyaAllah, Nak. Lain kali kamu harus hati-hati ya!
Jangan sampai kayak gitu lagi,” ujar Bu Hanna.
“Lian boleh nolongin orang. Tapi Lian juga harus mikirin keselamatan Lian sendiri.”
Lian mengangguk. “Iya, Bu.”
Ibu Hanna mengusap lembut rambut hitam pemuda itu. Dia sangat menyayangi anak itu melebihi dirinya sendiri. Lian adalah penyemangatnya.
Dialah anak yang membuat Ibu Hannah memutuskan menjadikan rumah warisan orang tuanya sebagai panti asuhan untuk merawat anak-anak yang dibuang oleh keluarganya seperti Lian.
Beliau masih ingat betul saat pertama kali menemukan Lian kecil yang ditinggalkan orang tuanya di taman bermain.
Ibu Hanna langsung jatuh hati pada sosok mungil dan tampan itu. Lalu membawanya pulang ke rumah dan merawat dia seperti anaknya sendiri.
Ibu Hanna membelai kepala Lian yang kini direbahkan di pahanya. Pikirannya berkecamuk.
Beliau bingung dengan nasib anak-anaknya nanti jika umurnya tidak panjang. Siapa yang akan merawat dan menjaga mereka.
Bu Hanna tidak sanggup membayangkan jika nanti anak- anaknya harus hidup terlantar.
Mungkin dia memang benar-benar harus menyerahkan anak- anak panti pada yayasan sosial yang lebih mampu merawat mereka nanti.