Noda merah di pipi Kaflin.

1407 Words
Kaflin baru saja memeriksa laporan medis salah satu pasiennya, kemudian kembali ke ruang kerja. Melepas jas putih, menyampirkan di kursi sebelum mendudukinya. Dia melihat mesin waktu yang melingkar di pergelangan tangan, sudah pukul sebelas malam. Waktunya pulang tetapi Kaflin masih harus memeriksa beberapa jadwal untuk beberapa hari ke depan tepat ponselnya berdering. Amira Salvia. Nama perawat ibunya tertera di layar. Tanpa berpikir lama, Kaflin langsung mengangkat telepon dari Ami. Dengan kondisi Fani—mamahnya, apa pun bisa terjadi. Ami memang akan melaporkan keadaan Mamah selama Kaflin bekerja di rumah sakit. “Ya, Ami.. kenapa?” tanya Kaflin, tidak biasanya Ami menelepon di waktu seperti ini. “Hm, Pak dokter masih di rumah sakit?” “Iya, tapi ini udah mau pulang. Apa terjadi sesuatu pada Mamah?” “Tidak, dok. Ibu baik-baik saja.” Kaflin melepaskan pulpen dari genggaman, bersandar menunggu perawat muda itu bicara. “Begini, ada yang mau Ami bicarakan dengan Pak dokter.” “Saya dengarkan... katakan.” “Di rumah saja, lebih enak bicara langsung. Ami menelepon hanya memastikan Pak Dokter pulang jam berapa, Ami akan tunggu di rumah.” “Sesuatu yang penting?” tanya Kaflin. “Penting banget.” Jawabnya. “Baik, saya akan segera pulang.” “Terima kasih, Pak dokter. Sampai bertemu di rumah.” “Ya.” Lalu panggilan telepon berakhir. Kaflin menebak kira-kira apa yang mau disampaikan Ami? Dia meletakan ponsel di meja, lebih dulu menyelesaikan tugas kecilnya hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk selesai. Kemudian mengantungi ponsel ke dalam saku celana. Meraih kunci mobilnya juga. Mematikan lampu ruangan adalah kebiasaan Kaflin sebelum meninggalkan tempat tersebut. Sapaan ramah pada perawat maupun petugas rumah sakit jadi ciri khas Kaflin setiap berjalan. Memberi senyum memikat yang buat wanita salah tingkah. “Dokter Kaflin!” seruan tersebut menghentikan langkah Kaflin yang akan mencapai pintu utama rumah sakit. Kaflin berhenti dan menoleh, melihat wanita cantik dengan celana bahan dan baju atasan kemeja lengan pendek. Jas putih terlampir ditangan. Rambut sebahunya bergoyang ketika melangkah, “Dokter Hana..” sapa Kaflin pada salah satu rekan dokter di rumah sakit ini. “Mau pulang ‘kan?” tanyanya dengan suara lembut begitu sampai di hadapan Kaflin. Kaflin mengangguk, “Ya, aku sudah selesai.” “Boleh nebeng? Kebetulan aku tidak menyetir hari ini terus sopir di rumah cuti.” Kebetulan mereka searah. Kaflin tersenyum kecil sambil mengangguk, “Mari aku antar!” “Tidak merepotkan?” “Kalau aku bilang repot, kamu mau apa?” Dokter Hana memberi senyum lebar sampai gigi putih dengan satu gigi gingsul manis terlihat, “aku akan membayarmu.” Keduanya terkekeh dan berjalan keluar rumah sakit. Beberapa karyawan rumah sakit yang menyaksikan ikut iri setiap kali melihat kedekatan dokter Hana dan Kaflin. Jika saja mereka jadi pasangan sudah pasti begitu serasi. Terlibat pekerjaan dalam bidang sama, sesama dokter dan punya wajah tampan serta cantik. Usia bahkan hanya beda satu tahun lebih muda dokter Hana. Kaflin memang terkenal baik pada semua orang. Sikapnya itu yang kerap buat wanita bisa salah paham. Tetapi, baiknya itu tidak pernah ada yang bisa menaklukkan hati Kaflin. Rumor beredar di rumah sakit kalau Hana memang menyukai Kaflin, sayang Kaflin tidak memiliki perasaan seirama selain sebagai teman. Dokter Kaflin punya banyak kelebihan, hanya satu kekurangannya yaitu gagal move on. “Thank.” Kata Hana begitu Kaflin membukakan pintu untuknya. Kaflin berjalan mengitari bagian depan mobil, barulah masuk ke kursi belakang kemudi. “Langsung pulang?” tanya Hana penuh harap. Mobil melaju, lalu lintas masih terbilang ramai meski jalan lancar. Kaflin menangkap nada ajakan dari temannya, “Tidak. Kalau kamu mau, kita bisa cari tempat makan. Saya belum makan.” “Astaga, Kaf lihat lho ini jam berapa? Hampir tengah malam.” Dia terkekeh, “kamu tidak makan malam?” Hana mengangguk, “tidak pernah makan lebih dari jam tujuh malam.” Kaflin tidak aneh mendengar aturan yang wanita itu bilang. Hana memang terkenal dokter yang sangat patuh menjaga pola hidup sehat bahkan Hana tidak menjadikan nasi sebagai sumber karbohidratnya. “Kamu biasa makan tengah malam?” “Kalau lapar ya makan.” Jawab Kaflin enteng. Buat Hana menatap takjub, “tapi, kok bisa tetap tubuhmu proporsional?” Kaflin kembali menoleh sebentar, tatapan mata mereka bertubrukan. “Diseimbangi olahraga. Kalau tidak ya aku yang suka makan malam ini bisa punya perut buncit,” guraunya buat Hana tertawa. “Cari tempat makan saja kalau begitu.” Ucap Hana lagi. “Kamu cuman menonton saya makan?” “Aku bisa pesan minum tanpa gula.” Kata Hana. “Kalau begitu pilihan saya drive thru di depan.” Katanya sambil membelokkan mobil ke resto cepat saji. Kaflin memesan dua porsi. Buat Hana menatap penuh tanya “dua porsi buat kamu sendiri?” “Tidak, saya belikan buat seseorang di rumah.” Untuk Ami yang pasti sedang menunggunya. Satu tahun lebih Ami kerja bersama Kafli, Ami tahu kalau wanita itu tidak punya aturan jam makan seketat Hana. Bahkan, kadang kalau malam menemukan Ami berada di dapur dan memasak Mie instan. Ulah Ami juga Kaflin kadang ikut, dimasakan Mie oleh wanita itu. Kaflin tersenyum samar ingat beberapa malam lalu bersama Ami mereka makan Mie jam dua pagi. Hana tidak bertanya lebih jauh, sisa perjalanan mereka isi dengan obrolan seputar pekerjaan. Mereka berdua akan pergi ke Bandung akhir pekan untuk mengisi seminar kesehatan. Hingga perjalanan tidak terasa, Kaflin menghentikan mobil tepat di depan gedung apartemen yang di tempati Hana. Tanpa di sangka, sebelum Hana keluar wanita itu mendekat dan melabuhkan ciuman di pipi. “Terima kasih dan hati-hati kamu.” Kaflin hanya tersenyum simpul. Menunggu Hana keluar dan menunggu mobil Kaflin berlalu dari sana. Dia terbiasa dapat ciuman kecil di pipi dari teman wanita, bukan sesuatu bisa membuat hati Kaflin merasakan getaran yang sudah lama padam. ** Ami menunggu Kaflin sampai rumah. Tetapi, sudah satu jam duduk di kursi bar Kaflin belum muncul sampai Ami tertidur di sana dengan dua tangan berlipat dan wajah tenggelam di antaranya. Entah berapa lama tertidur sampai dia merasakan kehadiran seseorang. “Ami... jangan tidur begitu..” “Ami, bangun.” Beberapa kali ada yang bicara dan akhirnya membuat kelopak mata Ami terbuka bersama dia mengangkat wajah. “Akh!” dia meringis merasakan pegal di tengkuknya terlalu lama. “Bisa-bisanya kamu tidur dengan posisi tersebut!” Kaflin mengomel sambil mendekat dan berdiri di belakang Ami. Refleks memijat tengkuk Ami. Sesuatu yang membuat Ami bergidik dan perutnya tergelitik atas sentuhan tersebut. Kaflin tidak menyadari tindakan tersebut, memijat pelan. “Bagaimana?” “Sudah tidak pegal, makasih Pak dokter.” Ujarnya pelan. Kaflin bergerak mundur dan duduk di sisi Ami. Mata Ami melirik bungkus dari resto ayam siap saji, “maaf ya lama menunggu, saya lapar jadi mampir beli ini juga.” Tangan Kaflin mengeluarkan semua, “buat Ami juga?” tanya Ami begitu Kaflin meletakan di hadapannya seporsi burger. “Ya, kamu tidak akan menolak.” “Memang tidak. Menunggu Pak dokter selain buat mengantuk juga lapar.” Guraunya dan semangat menemani Kaflin makan. “So, apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Kaflin di tengah mengunyah burger. Meminum air putihnya. “Hm, itu pak—“ Ami menelan makanan lebih dulu, “Ibu saya telepon, Pak Dokter kan yang kirim laptop ke rumah saya? Kok bisa-bisanya tidak bilang dulu. Duh, Pak itu laptop mahal banget. Saya kan mintanya dibantu carikan, bukan belikan. Harganya selangit buat saya....” Ami terus mengoceh karena keberatan dengan yang Kaflin lakukan. Kaflin tetap santai menghabiskan burger bagiannya. Kemudian mengelap bibir dan minum. “Udah?” tanya Kaflin melihat Ami yang bicara panjang lebar sampai napasnya terengah-engah. Kemudian Kaflin mendekatkan gelas berisi air ke hadapan Ami yang langsung meminumnya. “Udah.” “Sekarang biarkan saya yang bicara.” Kata Kaflin dan menghadap Ami. “Saya mau melakukannya. Anggap saja hadiah, bonus dari saya. Kamu tidak berkewajiban menggantinya.” “Tapi, Pak hadiah semahal itu.” “Jangan lihat harganya. Saya tulus memberikan untuk adikmu. Biar mereka semakin semangat belajar dan bisa membanggakan kamu yang sudah sangat bekerja keras untuk mereka.” Ami menghela napas, bisa melihat kalau Kaflin sangat tulus. “Benar Pak?” “Astaga, Ami. Iya. Sudah jangan bahas lagi.” “Terima kasih ya Pak.” Ami mengucapkan sambil meraih tangan Kaflin. Menggenggam sambil menatap lekat sampai Ami mencondongkan tubuh, tangan refleks menunjuk pipi Kaflin. “Ada merah-merah di pipi Pak Kaflin.” Impulsif Kaflin menyentuh pipinya, langsung ingat kalau bagian pipi sebelah situ yang dicium Hana. Warna merah yang Ami maksud pasti lipstik dari bibir Hana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD