Kendalikan Hati.

1447 Words
Kebaikan Kaflin pada setiap wanita dirasa juga oleh Ami. Banyak sekali yang Kaflin bantu untuknya maupun keluarga. Salah satunya yang Kaflin lakukan dengan membelikan laptop lalu mengirimnya ke rumah Ami di kampung. Jika Kaflin mengizinkan, Ami akan mencicil untuk ganti harga laptop tersebut yang mungkin sekitar tiga tahun baru bisa lunas dengan kemampuannya. Tetapi, Kaflin jelas tidak akan biarkan Ami mengembalikan apa yang sudah ia berikan. Mereka masih duduk di kursi yang sama setelah pembicaraan serius bagi Ami. Tentu serius bila menilik harga laptop yang Kaflin berikan. Ya Tuhan, seharga motor baru! “Gunakan tisu, Pak dokter.” Ami segera mengambil tisu untuk membersihkan pipi Kaflin dari noda merah yang ditemukan. Kening Ami mengerut, polos ia berujar lagi “seperti noda lipstik, Pak dokter punya lipstik?” Mata Kaflin melotot mendengarnya, berhenti mengusap pipi. Ami konyol sekali. Mengira nodanya sudah hilang dari pipi, “yang benar saja saya punya lipstik?!” “Terus itu punya siapa?” “Teman saya, dokter Hana.” “Eh, dokter Hana sengaja mencoret pipi Pak dokter dengan lipstik?” kembali bertanya polos. Kaflin mendesah dengar kepolosan Ami. Lupa kalau Ami memang sepolos itu, Kaflin tidak akan menjelaskan kalau noda merah di pipi berasal dari Hana yang menciumnya. Tidak akan menceritakan hingga membuat Ami melemparkan pertanyaan polos lainnya. “Ya anggap begitu. Sudah jangan dibahas. Sudah bersih?” tanya Kaflin. Ami menatap Pipi Kaflin. Masih ada noda. Tindakan Ami selanjutnya membuat Kaflin terdiam seperti patung ketika Ami loncat dari tempat duduk dan menggenggam tisu di tangan, lalu memangkas jarak. Agak menunduk sambil lembut membersihkan pipi Kaflin. Satu tangan lain berada di pipi Kaflin, permukaan tangan Ami tidak selembut wanita lain karena ia banyak melakukan pekerjaan. “Masih ada, belum bersih.” Ucapnya, efek dari itu hangat menerpa wajah Kaflin. Kaflin terdiam, Ami tidak menyadari kecanggungan yang mungkin akan terjadi. Lalu ketika Ami akan mundur. Tap! Tangan Kaflin meraih jemarinya. Ami kembali bertemu tatap, seiring napas yang tertahan beberapa detik. “Thank you.” Kata Kaflin sambil mengambil tisu dari tangan Ami. Sentuhan yang tanpa sengaja membuat Ami menelan ludah, salah tingkah dan mendadak kenyang. “Pak dokter, udah malam. Ami pamit kembali ke kamar.” Tanpa menunggu persetujuan Kaflin Ami berbalik dan melangkah. Kaflin terkekeh kecil, kembali bersuara memanggil namanya. “Ami.” “Udah malam Pak dokter.” Sautnya sambil berhenti berjalan tetapi enggan untuk berbalik. “Saya tahu, sudah malam.” “Ya, terus? Pak dokter butuh sesuatu?” “Berbalik dulu.” Kata Kaflin. Ami menggelengkan kepala cepat. “Ami sudah mengantuk!” Kaflin tahu kalau wanita itu hanya menghindar dari situasi canggung yang baru terjadi. “Kamu salah tingkah?” “Ti-tidak. Biasa saja!” “Bohong?” Akhirnya Ami berbalik dengan delikan kesal, pipinya samar merona. “Saya cuman mau bilang, makananmu belum habis. Bawa saja ke kamar.” Kata Kaflin. Ami melongo bersamaan Kaflin yang mengambil bungkus makanan miliknya yang sudah kosong untuk dibuang, lalu meloncat turun dari kursi bar. Ternyata Kaflin ingin mengingatkan makanan Ami yang tertinggal. “Oh, iya! Ami lupa!” dia mengusap tengkuknya. Oh Astaga, Ami! Apa yang aku pikirkan sih? Batinnya. Salah tingkah buat ia menyembunyikan wajah agar Kaflin tidak melihat rupanya itu. “Pak dokter..” panggil Ami. Kaflin berhenti berjalan, mengangkat pandangan. “Hm?” “Apa Pak dokter pernah berpikir dengan sikap seperti itu.. baik dan perhatian yang diberikan bisa buat seseorang salah paham?” “Lalu saya harus berhenti baik dan perhatian agar tidak ada yang salah paham?” Kaflin membalikkan tanya pada Ami. Ami menggeleng kecil. Kaflin tahu kalau Ami selain polos juga akan jujur dengan sesuatu yang dipikirkan. “Kamu pernah dengar ada yang berkata, jangan berhenti berbuat baik meski banyak yang tak suka? Saya hanya mencoba jadi diri sendiri, selebihnya perihal perasaan orang lain, di luar kuasa saya. Bukan saya yang bisa mengendalikan.” Ucapan Kaflin ditutup dengan senyum kecil. Kaflin sadar kalau terkadang sikapnya itu malah membuat seseorang memiliki perasaan khusus padanya. Padahal Kaflin tidak membuat-membuat bersikap demikian hanya untuk memikat hati orang-orang. Personal dirinya memang seperti itu. Ami hanya mengutarakan pendapatnya. Ami menghela napas, semoga Kaflin tidak salah paham. “Memang kamu lebih suka kalau saya tidak baik dan bersikap dingin?” Kepala Ami menggeleng cepat, bergidik membayangkan sikap Kaflin terbalik begitu. “Jangan!” Kaflin terkekeh, tangan mengacak puncak kepala Ami dengan lembut. Setiap melakukannya, jantung Ami berdentum kuat. “Katanya sudah ngantuk, cepat istirahat atau besok kesiangan. Besok jadwal Mamah check up ke rumah sakit. Kita pergi bersama.” “Ya, Pak. Terima kasih untuk laptop dan makanannya.” “Sama-sama. Good night.” “Night, Pak dokter.. Kalau Pak dokter mandi, pakai air hangat. Udah terlalu malam dan cuacanya dingin.” Ujar Ami terakhir mengingatkan penuh perhatian. Pun Kaflin mengacungkan jempol dan langkahnya berlalu dari sana. ** Seperti Kaflin bilang kalau hari ini Fani ada Check up. Ami menyiapkan pakaian untuk Fani ke rumah sakit, tak lupa baju hangat karena sejak semalam diguyur hujan terus menerus. Selama bekerja di rumah Lais, ada sesuatu yang diam-diam Ami amati. Yaitu ketika Dokter Kaflin sedang serius sekali menyirami tanaman-tanaman yang ada di halaman rumah atau memberi makan pada ikan-ikan KOI koleksi papahnya, setelah cukup beberapa waktu berolahraga di ruang Gym dan sebelum bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Ami berbalik sebum keberadaannya tertangkap basah Kaflin. Ia menunggu di ruang makan, pagi ini akan menyuapi Fani sambil sarapan bersama suami dan anaknya. Belakangan ini kurang Kaivan Lais yang masih berada di Amsterdam. Dengar dari Kaflin kalau Kai berhasil dengan misi meyakini wanitanya pulang. Sepertinya mereka akan rujuk. Ami turut senang karena Fani juga terlihat jauh lebih semangat dan lebih sering tersenyum begitu mendengarnya. Fani terlihat sangat menyayangi menantu sudah seperti putrinya sendiri. Sekitar satu jam, semua berkumpul. Kaflin jadi yang terakhir muncul, Ami menatap Fani yang tersenyum menatap putranya. Terlibat perbincangan serius dengan papahnya. Kaflin memang menggeluti bidang doktor tetapi latar keluarga bisnis buatnya harus belajar dan paham. “Papah ada meeting jam sepuluh, hari ini absen menemani mamahmu ke rumah sakit. Tidak apa kalau hanya kamu dan suster Ami?” ujar Papah sambil menatap Kaflin lalu pada Ami. “Ya, tenang saja Pah. Kaflin juga sudah ijin sebentar untuk dampingi Mamah.” Akhirnya mereka hanya bertiga ke rumah sakit, biasanya kepala keluarga Lais juga ikut. Dari caranya, Ami bisa memastikan kalau mereka pasangan yang saling mencintai. Meski dalam keadaan istrinya sakit parah, kadang ketika sedang libur seperti hari Minggu. Ami tidak banyak bekerja, karena Papah dari Kaflin yang turut merawat istrinya. Beberapa minggu lalu adalah ulang tahun Fani, suaminya dengan romantis memberinya buket bunga yang cantik. Lalu mengajak makan malam keluar. Ami memegang kursi roda sementara Kaflin memindahkan Fani dari mobil hingga duduk di atas kursi roda. “Biar saya yang dorong.” Kata Kaflin mengambil alih. Ami mengangguk kecil, berjalan di sisi kursi roda sambil memegang tas berisi laporan-laporan medis sebelumnya milik Fani. Ada air minum juga yang ia bawa. Mereka menuju poli khusus Neurologi. Tempat dokter spesialis ahli saraf. Baru mereka akan naik lift ketika seseorang wanita cantik menghampiri dengan senyum manisnya. “Dokter Kaflin.” Sapanya. Ami dan Kaflin menoleh, “Dokter Hana.” Sapa Kaflin. Ami langsung terlempar pada sebuah ingatan pembicaraan semalam. Noda merah di pipi Kaflin dari lipstik milik dokter cantik tersebut. Ini yang namanya dokter Hana? Batin Ami. “Tante Fani.” Sapa dia pada Fani, menunduk dan memberi pelukan kecil. “Apa kabar?” Fani memberi senyum ramah, “baik. Kamu?” “Aku juga baik. Kaflin selalu cerita tentang kemajuan kesehatan Tante. Aku senang dengarnya. Ini mau periksa kan?” tanyanya. “Ya. Jadwal Mamah periksa.” Kaflin yang menjawab. Mereka terlibat obrolan kecil membuat Ami jadi tak kasat mata keberadaannya. Dia bahkan pilih posisi di belakang saat di lift. Sementara Kaflin dan Hana bersisian. Dari tatapan Hana, cukup menyiratkan ada perasaan spesial dari wanita itu. Lalu setelah sampai di lantai tiga, Kaflin yang hendak berjalan menyadari Ami yang terdiam. “Ami, ayo!” Ajaknya. Hana berbalik menatap Ami, seolah baru melihatnya. “Ini suster yang merawat Tante?” “Ya. Namanya Amira. Tadinya suster di rumah sakit ini, bekerja di ruang anak-anak.” “Oh.” Ketika Ami akan berjalan di sisi Kaflin, seolah Hana tak mau tersisih, dia mendahului dan lagi membuat Ami berjalan di belakang mereka. Ada perasaan tercubit dihatinya, Ami harus sadar posisinya. Kalau wanita seperti Hana salah satu yang bisa dan cocok menggantikan Shenna untuk bersama Kaflin. Dan dari cara Kaflin bicara pada Hana, Ami menyadari hal lainnya kalau tidak ada yang spesial dari setiap perhatian maupun kebaikan Kaflin pada Ami. Sebab lelaki itu baik dan perhatian pada setiap orang. Kaflin benar satu hal, bahwa setiap perasaan seseorang bukan salah sikapnya. Dan Ami harus mengendalikan hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD