Menjadi perawat pribadi Dokter
“Kondisi Ayah menurun.”
“Ibu sudah membawa Ayah periksa?”
“Ayahmu tidak mau, ada yang beritahu pengobatan alternatif. Ayahmu ingin coba, tapi biayanya belum ada. Di tambah adik-adikmu mau ujian, butuh biaya besar juga.”
“Berapa biayanya, bu? Setelah Ami gajian, nanti bawa Ayah dan jangan cemaskan biaya adik-adik. Ami akan cari jalan keluar untuk kita.”
Tarikan napasnya begitu dalam juga berat, seberat beban hidupnya. Tangan kurusnya sejak tadi gerak mengangkat sendok berisi makanan, tetapi lidahnya tidak menemukan rasa yang memanjakan begitu mengunyahnya. Sangat terasa hambar. Nafsu makan Ami benar-benar menguap, meski tetap memaksa makanan masuk ke perutnya hanya untuk menjaga dirinya tetap sehat, jangan sampai tumbang atau semua akan kacau. Pembicaraan dengan Ibu beberapa hari lalu membuat kepalanya pening tujuh keliling, Ami pikir gajinya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi begitu melihat nominalnya. Ami harus mengikat perutnya, makan dua kali sehari dan mengirit kebutuhan lainnya demi pengobatan Ayah dan biaya sekolah ketiga adiknya di kampung sana.
‘Aku harus kuat, jangan mudah menyerah! Tidak akan ada yang akan memberi uang percuma, tanpa usaha sendiri!’ batinnya.
Masih sibuk dengan pikirannya sendiri di tengah keramaian, Amira hampir saja tersendak minum karena senggolan siku teman seprofesinya. Sesama perawat di rumah sakit.
“Amira.”
“Apa sih, Mel?! Hampir aja aku tersendak!”
“Kamu bukan penasaran dokter Kaflin yang dibicarakan orang-orang di sini?!”
Kening Ami mengerut, sampai menemukan potongan demi potongan pembicaraan yang sering dia dengar setelah bekerja di rumah sakit ini selama satu bulan. Tertuju pada satu nama.
Dokter Kaflin Lais.
Semua orang pekerja terkhusus para perawat dan staf rumah sakit tidak ada yang melewati untuk memuji dokter muda dan tampan. Hanya Ami yang belum terpapar virus dokter Kaflin. Sampai Ami bertanya pada temannya, sesama perawat bernama Melia.
Memang seganteng apa Dokter Kaflin Lais itu sih?
Pemilik nama Amira Salvia, perawat muda yang baru berusia awal dua puluh mulai penasaran.
Sementara itu dari yang Ami dengar, selain jadi dokter di rumah sakit ini dan punya klinik sendiri, dokter Kaflin sering ikut kegiatan sukarelawan tenaga medis ke pelosok-pelosok, daerah yang sulit di jangkau dan masih tidak ada rumah sakit. Sepertinya Kaflin baru kembali.
“Di pintu masuk, itu yang lagi jalan sama Dokter Bobi dan Dokter Cinta.” Sebut Melia.
Ami terlambat karena dia hanya bisa melihat bagian punggung yang tegap dan bahu yang lebar membuat para wanita membayangkan nyamannya bersandar di sana saat memeluk dari belakang. Langkah dokter itu kian menjauh sepertinya menuju meja di ujung kantin yang khusus untuk para dokter dan petinggi rumah sakit.
“Ganteng, kan? Lihat kamu aja tidak bisa berkata-kata—“
“Aku belum bisa memastikan, wajahnya terhalang.” Ami sendiri, perawat di bansal khusus anak.
Melia mendesah sebal, “telat sih kamu!”
“Hm.” Ami tidak menanggapi. Dia fokus menikmati makan siang, waktunya tidak banyak. Membiarkan temannya mengoceh lebih seperti memuja ketampanan dari dokter muda tersebut.
“Dokter Kaflin Lais punya tinggi seratus delapan puluh senti, lalu sepatu dokter Kaflin ukuran empat puluh tiga-“
“Kamu hafal sekali.” Amira menggeleng kecil, “sampai ukuran sepatunya saja hafal.”
Temannya itu tersenyum penuh maksud, “kamu terlalu polos, di jelaskan pun tidak akan mengerti!”
Ami tetap tidak tertarik sampai Melia kembali memberi informasi yang kali ini berhasil menarik atensinya. “Dokter Kaflin lagi cari perawat pribadi untuk ibunya.”
“Perawat untuk ibunya?” Ami menaikkan pandangan pada Melia yang duduk di hadapannya.
“Ibunya sakit stroke. Sempat koma, di rumah sakit ini. Keadaannya naik-turun, sementara ini ada perawat, tapi dengar-dengar perawatnya mau Resign. Dokter lagi cari pengantinya. Penghasilan yang ditawarkan juga menggiurkan, berkali lipat dari gaji perawat pada umumnya.”
“Kok bisa? Dokter Kaflin dari keluarga kaya?”
Melia melongo, “ampun Ami, selama ini kamu tinggal di mana sih?!”
Ami polos, tak paham maksud ucapan temannya.
“Kamu pernah dengan nama Lais. Lais Grup?”
“Jujur aja, tidak pernah.” Ami tak pernah dengar, “aku tahunya keluarga Anang Hermansyah, Raffi Ahmad, atau suaminya Nia Ramadani yang pengusaha kaya itu.” Jawabnya polos. Bagi Ami mereka lebih terkenal karena sering di lihatnya ada di televisi maupun media sosial.
Melia menghela napas, sangat gemas sampai rasanya ingin mencubit pipi Ami.
“Cantik-cantik kurang gaul kamu!”
Ami tidak akan tersinggung sebab memang ia tidak punya waktu untuk melihat kehidupan orang lain, ia fokus mencari cara agar keluarganya tidak kekurangan.
“Jadi, dokter Kaflin Lais itu kaya?”
“Pake banget!” Melia bicara semangat, tapi berbisik karena kantin dalam keadaan cukup ramai. “Dokter Kaflin anak ke dua, kakaknya Kaivan Lais yang meneruskan bisnis. Rumah sakit tempat kita bekerja ini, masih punya keluarganya. Kerabat dekat keluarga Lais.”
Mata Ami kemudian menyipit, “kamu bisa tahu sekali.”
“Sudah jadi rahasia umum, Ami.”
Ami akhirnya kembali menengok ke belakang, tepat pada meja yang ditempati oleh seseorang yang sedang mereka bicarakan. Sayang, Ami lagi-lagi hanya bisa menatap punggung tegapnya. Walau baru tampak belakang saja sudah menunjukkan tubuh proporsionalnya.
“Ami.. kamu lagi butuh biaya, kan? Coba melamar jadi perawat pribadi untuk ibunya.”
“Tidak ah, aku biasa merawat anak-anak di sini. Lagi pula aku baru masuk, masa sudah mau Resign.”
“Justru itu! Dokter Kaflin ingin dari bangsal anak. Cocok. Merawat seseorang penderita stroke dibutuhkan kesabaran dan telaten seperti merawat anak-anak. Tidak perlu khawatir, kalau kamu diterima jadi perawat pribadi di rumah Dokter, pasti rumah sakit permudah kamu Resign. Dokter Kaflin sendiri nanti yang akan bantu kamu mengundurkan diri.” Beritahu Melia.
Ami tidak pernah menduga bahwa beberapa hari setelahnya dia benar-benar menemui dokter Kaflin. Nekat. Untuk memberi surat lamaran. Dia tidak punya pilihan karena sangat butuh biaya. Untuk pengobatan Ayahnya.
“Kamu yang namanya Ami?”
Demi Tuhan, jantung Ami rasanya seperti ada bom yang siap memorak-porandakan. Melia dan semua staf yang membicarakan pria di depannya, tidak berdusta apalagi menyebarkan berita Hoaks alias palsu.
Ami gugup, susah payah membasahi bibir yang terasa kering. Tenggorokan dia pun. Kakinya gemetar. Bukan hanya tampan dan muda, tapi Dokter Kaflin punya tatapan lekat yang buat wanita bisa lemah iman.
Astaga! Ya Tuhan.. apa yang baru aku pikirkan! Batin Ami. Dia menggelengkan kepala tanpa sabar sampai mengundang heran Kaflin.
“Amira Slavia—"
“Salvia, yang benar pak dokter.” Potong Ami cepat.
Kaflin menatap dan kembali membaca fotokopi kartu identitas yang tersemat paling depan di surat lamaran Ami.
“Hm, oke.. sorry. Hanya beda sedikit.”
Ami mengangguk. Polos. Kaflin kembali membuatnya merinding kala menatap detail.
“Kamu baru bergabung di rumah sakit, tapi berani melamar jadi perawat pribadi untuk orang tua saya. Kenapa?” Kaflin mulai wawancaranya.
Ami menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. Sudah menduga bila pertanyaan tersebut yang akan keluar dari dokter Kaflin.
“Saya mencoba—“
“Saya mencari perawat serius bukan untung ajang uji coba.” Potongnya cepat.
“Pak dokter, saya belum menjelaskan.”
“Katakan.”
Mata Kaflin tertuju pada kedua tangan Ami yang saling menggenggam di atas meja. “Sama seperti Pak dokter, saya punya orang tua yang juga sakit. Bedanya, Pak dokter butuh perawat dan saya butuh biaya untuk pengobatan Bapak saya.”
Kaflin mulai tertarik, Ami tidak membuat alasan mengada-ngada untuk membuat Kaflin terkesan. Jujur, polos. Dua hal yang langsung bisa Kaflin lihat ada pada karakter wanita muda di depannya.
“Apa yang terjadi pada bapakmu?”
“Sakit, satu tahun lalu mengalami kecelakaan kerja. Bapak saya harus menjalani amputasi kaki.” Setiap mengingat orang tuanya, dikampung. Dadanya sesak. “Saya anak sulung, Pak. Bekerja di rumah sakit besar ini saja sudah kesempatan terbaik dalam hidup saya, tapi, saya tidak bisa stuck di sini bila ternyata pemasukan masih kurang.”
Penampilan Ami jelas terlihat sederhana dibanding staf rumah sakit lainnya. Pasti bukan karena hidupnya yang hedon. Ami memang tulang punggung keluarga.
“Saya tidak bisa.” Jawab Kaflin kemudian. Buat wajah Ami murung sejenak sebelum memberi senyum.
“Uhm, ya. Tidak apa-apa. Saya mengerti. Terpenting saya sudah mencoba,” Ami kemudian berdiri, hendak pamit tetapi ucapan Kaflin selanjutnya buat dia bingung.
“Kamu mau ke mana? Saya belum selesai bicara. Kembali duduk.” Perintahnya, refleks Ami menurut.
Ami memerhatikan wajah tampan dokter muda di depannya. Punya alis tebal. Hidung mancung berbingkai kaca mata. Memiliki tulang rahang berbulu. Tidak lebat. Bibirnya merah alami. Tatapan matanya yang menghipnotis, bisa-bisa buat lawan bicaranya mengalami amnesia.
Selama Kaflin membaca berkas lamaran Ami, mata Ami tidak bisa berhenti jalan-jalan. Mulai pada leher dengan jakun yang seksi, lalu pada tubuh proporsional dengan otot kencang, kemeja yang Kaflin kenakan tidak menutupi. Jelas hasil olahraga dan pola hidup sehat yang dijalani.
Dari wajah dan perawakan, Ami yakin bila Kaflin punya darah luar. Keturunan bule. Begitu juga yang di dengar dari teman-temannya.
“Amira.” Panggil Kaflin membuat Ami kembali menatap ke wajahnya.
“Ami saja, Pak Dokter.”
Salah satu alis tebal hitamnya naik, “Saya tidak menerima lamaran kamu, tapi saya pribadi yang meminta kamu untuk bekerja merawat ibu saya mulai akhir bulan ini. Bisa?”
Mata Ami mengerjap lucu, “Kok ribet yah, pak?” tanyanya polos.
“Ribet?” Kaflin mengerut.
“Kalimat Pak dokter, jadi lamaran saya di tolak tapi Pak dokter meminta saya—“
Brak!
Ami terlonjak pas Kaflin menutup mapnya agak kencang. “Intinya sama saja. Jadi, kamu mau menjadi perawat pribadi Ibu saya? Iya atau tidak?”
Ami refleks berdiri, kemudian mengambil tangan Kaflin. Menyalami. “Ya! Tentu Pak Dokter!”
Tingkah yang membuat sudut bibir Kaflin membentuk lengkungan manis.
“Saya yang akan bilang ke direktur rumah sakit sendiri. Soal kamu resign dari rumah sakit, dan bekerja pada saya mulai akhir bulan.”
Hari itu, menjadi awal Amira Salvia bekerja untuk keluarga Lais. Satu langkah membawa proses baru dalam hidupnya.