Doorprize?

1410 Words
“P-Pak dokter, saya tidak—“ “Jelaskan nanti.” Potong Kaflin menatap Ami yang masih berada di atasnya. Wajah Ami sudah merah padam. “Ya?” Ami mengernyit bingung. Kaflin menatapnya lekat, “pertama-tama menyingkirlah lebih dulu dari atas tubuh saya sebelum ada orang rumah ini yang memergoki dan salah paham.” Manik mata Ami membulat sambil bergerak impulsif dengan bangun dari atas tubuh Kaflin. Kedekatan yang baru terjadi sungguh tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang berdentum sangat kuat. Berharap Kaflin tidak merasakannya karena posisi menempel barusan. Ami merapikan rambutnya juga, tanpa berani mengangkat pandangan takut bertemu tatap langsung dengan atasannya. “Maafkan Ami, Pak walau bukan seratus persen kesalahan Ami.” Pangkal hidung Kaflin mengerut, lalu bibirnya menyeringai dengar pengakuan Ami yang polos. “Bagaimana-bagaimana maksud kamu? Kok saya tidak paham. Jadi kamu minta maafnya tulus atau—“ “Ini tidak akan terjadi kalau Pak Dokter yang tidak memegang tangan Ami terus tahu-tahu menarik.” “Saya dalam keadaan tidur, masa saya bisa melakukan itu.” Ami mencebikkan bibir, Kaflin tidak sadar dengan perbuatannya. Otak cerdas Ami berpikir cepat akan kemungkinan yang bisa jadi bukti. “Sungguh, Pak. Ami tidak bohong!” Ami sampai mengangkat dua jari. Sementara Kaflin melihat wajah memelas Ami, matanya memancarkan kebenaran atas ucapannya. Dia seperti berani bertaruh. Tidak tega mengerjai wanita itu, Kaflin tertawa kecil. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam. Bukannya istirahat.” “Ambil minum, Ami haus. Tadi lupa mengisi tekonya.” “Oh.” Gumam Kaflin yang tadi ketiduran ketika sedang menonton acara sepak bola. Terlonjak bangun ketika tubuh Ami menimpa tepat ke atas tubuhnya. “Ami kembali ke kamar ya, Pak dokter.” Ijinnya. “Ya.” Kaflin berdiri kemudian mematikan televisi dan mencari keberadaan ponselnya. Setiap gerak yang tidak luput dari perhatian Ami. Menangkap atasannya sempat mematung menatap layar ponsel yang hidup sejak tadi, masih memutar video yang tersimpan. “Cantik sekali ya, Pak!” Celetuk Ami menarik atensi Kaflin. Artinya Ami mengakui telah melihatnya. Kaflin seperti tersadar segera menghentikan video di ponselnya kemudian memasukkan kesaku celana. “Siapa?” tanyanya enggan padahal Ami sangat yakin kalau Kaflin paham kalau Shenna yang dibicarakan. Ami sadar terlalu lancang, segera dia menggeleng kecil. Kali ini benar-benar pamit kembali ke kamar. Begitu juga Kaflin. Melangkahkan kaki, Ami memasuki kamar. Meletakan teko berisi air di nakas setelah menuang ke gelas. Meneguk isinya karena tenggorokan yang kering ditambah terkejut dengan kejadian bersama Kaflin. Jantung Ami bahkan masih terasa berdentum kuat seolah-olah ada yang sedang menabuh gendang. Tangannya meraba debaran tersebut sembari sudah berbaring. Mencoba memejamkan mata tetapi malah bayangan wajah Kaflin tadi yang begitu dekat kembali berputar. Belum lagi aroma Kaflin seakan menempel di pakaian yang Ami kenakan. Setiap kali dia menarik napas, tidak hanya oksigen yang terhirup ke hidung dan mengisi dadanya melainkan parfum khas Manly yang Kaflin kenakan. Dia kembali membuka mata, kemudian menggerutu. “Apa sih yang aku pikirkan?! Aish! Nanti yang ada aku besok bisa kesiangan!” gumamnya lalu memaksa matanya terpejam dan akhirnya Ami tertidur. Terbangun esok harinya agak panik, Ami bangun jam setengah enam lewat. Bagi Ami yang terbiasa bangun jam lima, tentu menganggap kesiangan. Mandi dengan cepat, Ami harus mengurus Fani, langkah Ami yang terburu berpapasan dengan Kaflin. Ami menunduk selain ingat kejadian semalam juga malu baru muncul hampir jam enam. Bekerja satu tahun lebih di sana bisa buat Ami mulai paham keseharian Kaflin yang termasuk disiplin dan selalu bangun pagi. Rutin olahraga. Ami meneguk ludahnya susah payah ketika menemukan Kaflin dalam keadaan tanpa pakaian atas. Memperlihatkan tubuh proporsional hasil rutin olahraga. Belum lagi bentuk perutnya yang kencang, kotak-kotak seperti roti sobek. “Apa yang kamu lihat?” Ugh! Ami terpergok oleh Kaflin sedang lancang memandang. Sontak Ami kembali menundukkan kepala. “Hm, Ami cuman mau menyapa! Lagian Pak dokter kenapa sih tidak pakai baju jalan-jalan di luar!” “Saya mau ke ruang Gym. Nanti juga berkeringat, jadi malas pakai baju.” Jawabnya santai. Ami mengulum bibir, sadar kalau buat apa dia mempertanyakan hal pribadi itu. Ini rumahnya, selama bagian bawah tertutup. Oh ya ampun pikiran ku tercemari! Pipinya panas, Ami pilih berlalu dari sana. Lebih baik dia menemui Fani dan mengurusnya. Jadwal pagi adalah mandi, berjemur dan sarapan juga ada beberapa obat yang dikonsumsi rutin. “Matahari pagi ini munculnya malu-malu.” Gumam Ami. Fani yang satu tahun dirawat ditangan Ami, sudah sangat nyaman. Salah satu celoteh seperti sekarang ini sudah biasa dia dengar. Selain merawat dengan sepenuh hati, Ami selalu menunjukkan sisi ceria yang hangat. Membuat hari-hari Fani yang sepi jadi lebih berwarna. “Kamu ceria sekali.” Kata Fani meski dengan aksen yang butuh pemahaman khusus. Stroke selain buat kakinya tidak bisa lagi digerakkan juga bibirnya tidak normal. Di awal-awal terserang bahkan Fani sulit bicara dan berkat semangat juga terapi rutin, semua mulai ada kemajuan. Sudut bibir Ami membentuk senyum, Ami merapikan syal di leher Fani. Sedikit membungkuk. Dia menghormati Fani seperti ibunya sendiri. “Semalam Ami mimpi indah, Bu.” Katanya sambil mendorong kursi roda yang ditempati Fani. Konsep yang Ami jalankan selama merawat Fani adalah apa pun kondisi hati Ami, termasuk sedang dengar masalah dari keluarganya di kampung tetap berusaha terlihat ceria di depan Fani. Dia percaya keceriaan Ami akan menular membuat Fani tidak banyak pikiran dan semangat. Seperti yang dia lakukan. Ami menyuapi Fani di halaman belakang sambil menghangatkan tubuh. Pagi itu, Kaflin yang selesai Gym lebih cepat dan kebetulan dari ruang Gym ada kaca besar yang bisa melihat ke halaman belakang rumah, dia berdiri di depan kaca dan bisa memandang ibunya sedang bersama Ami. Entah apa yang dibicarakan Ami sampai-sampai Kaflin bisa melihat senyuman lagi di wajah ibunya walau tipis. “Aku tidak salah menilai dan memilih.” Bisik Kaflin. Sempat ragu karena Ami tidak punya pengalaman. Tetapi, Ami mau belajar dan bisa menjalani hari-hari bahkan sudah setahun lebih bekerja untuknya. Masih di posisi tersebut, ternyata Ami seperti menyadari sedang di perhatikan ketika menatap ke arahnya dan jadilah pandangan mata mereka terpaut. Ami memberi senyum manis terbaiknya, Kaflin membalas barulah keluar dari ruang Gym untuk bersiap ke rumah sakit. Mengguyur diri di bawah shower, Kaflin teringat pembicaraan dengan Amira di Gazebo malam tadi. Adik dari Ami membutuhkan laptop. Kaflin tahu kalau Ami adalah tulang punggung keluarga. Dia harus memikirkan agar setiap hari keluarganya tidak kelaparan, ayahnya bisa dapat pengobatan dan keempat adiknya mengenyam pendidikan. Kaflin kagum dengan yang Ami lakukan sebagai anak sulung. Di luar sana pasti banyak yang seperti menangung berat kehidupan seperti Ami, karena kenal Ami membuat mata hati Kaflin terbuka untuk sadar kalau di dunia ini tidak semua orang seberuntung dirinya dalam perihal kehidupan. Akan tetapi, asmara tentu saja Kaflin tidak seberuntung itu ketika ditinggalkan tanpa kata perpisahan oleh wanita yang begitu dia cintai. ** Beberapa hari kemudian, Ami mendapat telepon dari ibunya lagi. Ami yang sedang mencuci peralatan bekas makan Fani, menjeda sejenak untuk mengangkat telepon tersebut. Kemudian dia menarik napas sejenak lalu menempelkan ponsel ke telinga. “Nduk, laptopnya—“ Ami sudah duga kalau Ibu akan menanyakan laptop yang beberapa hari lalu mereka bicarakan. Sayang, Ami masih mempertimbangkan membeli sambil mengintip tabungan pribadi. “Ibu, Maafkan Ami karena belum beli dan bisa mengirimkan ke rumah.” Potong Ami cepat, lembut selalu jadi ciri khasnya ketika berbicara dengan ibunya. “Lho, kamu bilang apa?” “Ya itu, Ibu pasti mau tanya laptop buat Bayu, kan? Ami baru akan cari akhir pekan ini, kebetulan bisa cuti keluar sehari.” Ibunya diam, seperti terkesiap dengan pernyataan Ami. “Kalau kamu belum beli lalu paket berisi laptop yang datang ke rumah.. dari siapa?” Tidak hanya Ibu tetapi Ami juga sangat terkejut mendengarnya, sampai membekap mulut sebelum bertanya “Paket? Laptop apa Bu?” “Sebentar Ibu lihat lagi.” Ami menunggu dengan perasaan terkejut. Orang baik mana yang mau mengirimkan laptop ke rumahnya? “Bu, atau salah alamat?” “Tidak. Adikmu sudah pastikan semuanya. Nama, nomor telepon dan alamatnya memang ke rumah ini.” Suara Ibu kembali terdengar Kejutannya bertambah ketika adiknya, Bayu menyebutkan merek laptop dan kondisi yang masih baru. Harga laptop tersebut bahkan jelas bukan receh. Ami kalau pun mau membelikan adiknya laptop, tidak akan memilih merek tersebut yang harganya bisa menguras sampai tak tersisa tabungan dimilikinya. “Cek, nama pengirimnya. Siapa Bu?” “Kamu. Amira Salvia.” “Huh?” Ami sampai melongo bahkan mencubit punggung tangan sendiri. Apa dia mengikuti sebuah acara doorprize terus menang? Ah rasa-rasanya terlalu mustahil. Detik itu, pikiran Ami hanya mengarah pada satu nama yaitu bosnya. Dokter Kaflin Lais.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD