Jatuhlah ke pelukan dokter?!

1644 Words
“Nduk.. di Jakarta harga Laptop lebih murah mungkin ya dari pada di sini?” Ami baru saja makan malam setelah memastikan kalau Ibu Fani sudah istirahat. Ada suaminya yang temani kalau malam kecuali jika sedang dinas keluar kota atau negeri dan bisa menginap beberapa hari bahkan seminggu lebih, baru Ami akan tidur di kamar bosnya. Menemani sekaligus berjaga Fani butuh sesuatu. Belum masuk ke kamar, ada satu tempat di rumah ini yang buat Ami tenang juga nyaman. Berada di sana bisa buat penatnya berkurang, yaitu taman yang ada di sisi rumah. Melewati kolam renang. Ada gazebo yang di bawahnya kolam ikan Koi koleksi punya ayahnya pak Dokter. Harga satu ikan bisa mencapai lima juta. Ami yang berada jauh dari keluarga tetap rutin berkomunikasi dengan ibunya. Seperti sekarang ini. “Laptop apa Bu? Buat siapa? Bayu?” tebak Ami menyebut adik tepat di bawahnya. Ami punya empat orang adik. Bayu sekarang kelas dua belas. Sementara adik yang lain, kembar Rosa dan Raka sudah kelas sembilan. Terakhir bungsu, Tiara yang spesial di antara yang lain. Bersekolah di berkebutuhan khusus. Tiara anak Autisme. Terbayang betapa banyak kebutuhan yang harus di penuhi. Sementara Ayah telah sakit dan tidak bisa bekerja berat bahkan keluar rumah. “Buat Bayu tapi bisa dipakai sama-sama dengan adik-adikmu yang lain.” “Jaman Ami dulu ke warung internet, Bu.” “Sekarang udah beralih fungsi buat main game. Ibu takut adik-adikmu ketinggalan teknologi apalagi Rosa pilihannya mau masuk Sekolah kejuruan komputer.” Tandanya pembicaraan dengan Ibu malam ini jadi pikiran Ami. Ibu benar, sekolah jaman sekarang butuh di dukung peralatan yang memadai. Bahkan ujian kelulusan saja tidak pakai kertas seperti jaman Ami dulu. Jika adiknya, Bayu sudah keluar sekolah setidaknya sedikit bisa mengurangi biaya yang harus di keluarkan. Apalagi Bayu sendiri memang tidak mau lanjut kuliah jika tidak kebetulan dapat beasiswa seperti Ami. Bayu tidak mau kian bebani kakaknya. “Coba nanti Ami cari tahu, ya Bu. Paling cari yang bekas saja.” “Iya, jangan mahal-mahal. Itu juga kalau kamu ada tabungan, kalau tidak ada ya bukan keharusan seperti kebutuhan pokok.” Kata Ibu berusaha agar tidak jadi pikiran Ami. Tetapi, bagi Ami malah sudah jadi pikiran. Panggilan dengan ibunya berakhir setelah Ami menanyakan kabar Ayah dan adik-adik lainnya. Terutama Tiara yang butuh perhatian ekstra. Bahkan, keadaannya bergantung pada Ibu dan keluarga lainnya. “Baru telepon Ibumu?” tahu-tahu suara berat Kaflin menyapa, Ami terlonjak hampir menjatuhkan ponselnya. “Tuh kan Pak dokter!” “Apa?” tanya Kaflin heran melihat wajah Ami memberengut lucu. “Kenapa datangnya selalu bikin kaget!” “Itu tadi kamu kaget? Saya kira tidak.” Gurau Kaflin sambil tertawa kemudian berjalan dan mengambil posisi di sisi Ami yang masih menggerutu. “Lagian kamu ngapain di sini sih? Sendirian lagi.” “Baru telepon Ibu.” “Iya, saya dengar kok.” “Berati Pak dokter udah dari tadi nguping?” Kaflin kembali tertawa kecil, Ami bicara kerap asal dan polos. “Saya tidak nguping pembicaraan kamu. Hanya kebetulan saya menghampiri pas kamu masih mengobrol sama ibumu.” “Sama aja.” “Beda, Amira” Elak Kaflin. Tanpa sadar mereka jadi berdebat. “Kamu duduk di sini, tidak takut kerasukan?” “Kerasukan hantu?” Ami lalu tergelak geli, “Pak dokter percaya kejadian seperti itu?” “Saya suka lihat acara-acara di Youtube, Mi. Yang datang-datang ke gedung kosong terus si yang punya Indera keenam itu kerasukan.” Ungkap Kaflin polos kian menambah melongo Ami. “Serius, Pak?” “Iya. Lucu sih.” Mulut Ami semakin terbuka lebar, “Acara horor dibilang lucu. Pak dokter-pak dokter!” sampai-sampai dia berdecak. Kaflin tertawa santai, duduk menyilangkan kaki jenjangnya. Ami bergidik karena paling tidak suka menontonnya, dia bisa parno. “Oh jelas, Pak dokter mana ada takut udah biasa di rumah sakit!” Kaflin hanya menggeleng kecil. Hening beberapa saat sampai Kaflin mendengar wanita di sampingnya mendesah kecil. “Ibu dan ayahmu sehat, kan? Adik-adikmu juga?” tanya Kaflin kemudian dengan perhatian. Ami mengangguk, “sehat, Pak.” “Lalu kenapa kamu terlihat khawatir?” “Banyak yang dipikirkan, semakin ke sini biaya sekolah semakin besar belum lagi pendukung-pendukungnya.” Ami lupa pada siapa dia mengeluh. Atasannya. Kaflin mana pernah mengeluhkan biaya sekolah yang besar. Dia saja sekolah kedokteran yang jelas-jelas biayanya mahal sekali. Keluhan Ami pasti terasa aneh untuknya yang tidak paham dan pernah merasakan hidup sesusah dirinya. “Jadi, itu yang kamu pikirkan?” tanya Kaflin sambil tidak lepas menatap sisi wajah wanita yang dia pekerjakan untuk merawat ibunya. “Duh, kenapa Ami ngeluh ke Pak dokter sih?!” bisiknya yang masih di dengar. “Wajar, kamu butuh untuk bertukar pikiran. Saya tidak keberatan jadi pendengar kamu, Ami.” Ujar Kaflin agar Ami lebih santai. Ami memang butuh teman untuk bertukar pikiran, di rumah itu tidak ada yang bisa di ajak curhat selain Kaflin yang juga jarang-jarang punya waktu luang. Akhirnya Ami cerita tentang adik-adiknya termasuk keluhan ibunya tadi kalau butuh laptop dan sejenisnya. “Ada kok yang di bawah lima juta. Nanti saya bantu carikan.” Masalahnya nominal yang dokter Kaflin ucapkan termasuk besar bagi Ami. Apa perlu dia menjual salah satu koleksi ikan KOI bosnya yang tepat sedang berenang di kolam berada di bawah posisinya duduk? Ami segera menghapus pikiran konyol tersebut. Susah-susah dirinya tidak mau mencari uang dengan cara tidak terpuji begitu. Lagian Ami masih ada tabungan dan bila untuk pendidikan adiknya jelas Ami tidak akan perhitungan. “Terima kasih, Pak dokter.” Kaflin mengangguk. Ami kemudian menggigit bibir bawahnya kecil, sebelum menoleh. “Kenapa?” tanya Kaflin bisa membawa nada ragu Ami. “Heum itu Pak dokter serius suka lihat acara begitu? Supranatural?” “Kamu tidak percaya?” tantang Kaflin, kemudian dia mengambil ponsel dan Ami bisa melihat yang dilakukan jemarinya lalu dia membuktikan. “Ini hiburan kecil di tengah sedikit waktu istirahat saya.” “Pak dokter, kayaknya cuman bapak yang bilang acara begini jadi hiburan! Bapak pasti butuh healing deh!” pernyataan polos dan jujur Ami buat Kaflin tidak sama sekali tersinggung, dia malah tertawa lepas. Membuat suasana di gazebo yang sepi hanya terdengar pancuran air bertambah hangat dengan keberadaan mereka. Tawanya mulai pelan, Kaflin memaku tatapan Ami yang membuat dadanya berdesir. “Hiburan sesungguhnya itu bicara sama kamu, Ami. Seperti yang kita lakukan sekarang. Thank you udah buat saya bisa tertawa lepas begini.” Sembari tangan mengacak lembut puncak kepala Ami. Sentuhan yang membuat jantung Ami berdisko heboh. Aish.. bisa-bisanya kepala yang di sentuh, seluruh tubuhnya yang bereaksi! “Ami, pipimu merah begitu?” tegur Kaflin. Ami refleks memegang pipinya, perubahan warna di pipinya sungguh di luar kendali Ami. “Huh?” “Sudah malam, pasti karena dingin. Dari angin dan mendung, tuh tidak ada bintang kayaknya sebentar lagi akan turun hujan. Hayo masuk, kamu juga istirahat!” ajaknya berdiri lebih dulu. Ami mengangguk, menurut dan ikut berdiri. Kaflin memintanya berjalan lebih dulu. Ami kemudian ingat sesuatu, “Pak Kai tidak kelihatan beberapa hari ini, Pak?” Ami menoleh sejenak untuk menatap Kaflin yang berada di belakangnya. “Kai sudah di Amsterdam, sedang berjuang untuk membawa permaisurinya pulang.” “Wahh. Saya tidak sabar bertemu dengan Mbak Anna.” “Kamu akan menyukainya. Dia sangat baik dan humble pada siapa pun.” Ami tersenyum padahal baru mendengar ceritanya dari Kaflin. “Lalu Pak dokter?” “Apa?” kaflin mengernyit bingung. “Menjemput permaisuri Pak Dokter.” Pertanyaan yang begitu saja terlontar dati bibir Ami buat langkah Kaflin berhenti, Ami menyadari dan berbalik. Kemudian menyesali mulutnya yang tidak bisa memilah kata yang harusnya keluar. “Pak, duh saya—“ Kaflin menghela napas dalam tetapi tetap tersenyum walau kesedihan terbayang di matanya, “Saya bahkan tidak tahu keberadaannya. Jadi, biarkan semesta yang menjemputnya untuk kembali atau ada pengganti yang lainnya.” Dan Ami tidak suka mendengar nada getir dari Kaflin. Sangat tidak cocok dengan kepribadian baiknya selama yang Ami kenal. Entah sehebat dan secantik apa wanita bernama Shenna hingga menyia-nyiakan pria seperti Kaflin Lais. Pastinya tidak bisa dibandingkan dengan wanita sederhana dan biasa seperti dirinya. Pikir Ami. Sudah berbaring di kamar, Ami masih saja memikirkan dan menyesali dirinya tadi. Ami tidak bisa tidur sampai dia gagal memejamkan mata meski sudah hampir tengah malam. Lalu dia merasa haus, beringsut ke sisi ranjang untuk memeriksa teko air putih yang lupa di isi. Ami segera mendekap teko tersebut dan keluar dari kamar. Ami berjalan masuk ke bagian dapur, memenuhi teko barulah berjalan untuk kembali ke kamar. Namun, langkah Ami tertahan melihat televisi di ruang keluarga hidup. Meletakan teko di meja terdekat, Ami melangkahkan kaki menuju ruang tersebut dan menemukan tayangan pertandingan bola yang tidak Ami kenali tim sepak bola mana-mana sedang tanding. Manik mata Ami justru terjatuh pada posisi Kaflin yang tertidur di sofa bed. Ami berjalan, hendak membangunkan Kaflin agar pindah. Tetapi, Ami menemukan layar ponsel Kaflin hidup dan di sana sedang berlangsung video di mana Kaflin seperti sengaja mengarahkan kamera pada wanita cantik yang berjalan di depannya. Di sebuah pantai dengan pasir putih dan air laut yang hijau. Wanita pada video itu tidak lain adalah Shenna. Awesome! Shenna memang menakjubkan. Wajahnya tidak hanya sangat cantik tetapi juga manis. Ami hendak menjauh, berbalik ketika tangannya malah ditahan oleh Kaflin. Jantung Ami detik itu berdentum sangat kuat hampir-hampir seperti hendak keluar dari rongga d**a. Memberanikan menoleh, Ami mengira kalau Kaflin terjaga sedang menatap dengan pandangan bertanya. Namun, ketika Ami pastikan Kaflin masih tertidur bahkan napasnya teratur. Mata Ami lekat menatap tangannya yang entah bagaimana Kaflin genggam sangat erat padahal lelaki itu tidur. Sekarang, bagaimana caranya Ami melepaskan diri terutama detik selanjutnya Kaflin menarik kuat dan membuat Ami jatuh di atas tubuhnya. “Akh!” Gerakan yang sontak membuat Ami terpekik dan mata Kaflin terbuka lebar dan sama-sama terkejut. “Ami—Amira, kenapa kamu di atas saya?!” Mampus aku, apa yang harus aku jelaskan? Bisa-bisa aku dituduh sedang yang tidak-tidak pada Pak Dokter! Batin Ami dan panik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD