Hadirnya 'Sosok Pendamping'

1466 Words
Ya Allah apa yang kulihat ini? Perlahan tapi pasti sosok sosok yang ada dalam tubuh para pasien itu terlihat jelas oleh mataku. Aku berusaha diam menyaksikan itu semua, tapi batin ini terus bergejolak. Ingin mengingatkan mereka yang ada di acara itu tapi seperti ada yang menahanku untuk berbuat demikian. Para praktisi yang melihat kejadian itu terlihat tetap tenang. Seakan tidak terjadi apa apa pada pasiennya. Aku yang sedari tadi berpacu degup jantung, hanya bisa menahan nafas. Belum lagi meremangnya semua bulu badanku dan keringat yang keluar dari tubuh ini semakin membuat tubuhku tidak nyaman. Warga yang hadir semua pada tegang seakan terhipnotis akan suguhan yang mereka tonton. Ingin rasanya mulut ini berteriak sekeras kerasnya, memperingatkan mereka yang sudah di masuki oleh sosok sosok dari dunia lain. Tetapi ada sesuatu yang berusaha menahanku untuk melakukan itu. Entah siapa sosok itu tapi ia bercahaya putih tampilannya, aku belum begitu jelas melihatnya. “Kamu cukup lihat saja, jangan kau campuri yang bukan urusanmu.” “Siapa kamu?” “Aku bukan siapa siapa, suatu saat kamu akan tahu siapa aku?” Ugh, kesal rasanya jika kita melihat sesuatu depan mata yang membahayakan orang lain tapi kita hanya bisa diam, hanya bisa melihat penderitaan orang. Hatiku makin gelisah, mau meninggalkan tempat itu rasanya sudah kepalang basah jika aku tidak menuntaskannya. Apalagi menu nasi kotaknya belum pada keluar, mengingat perutku sedari tadi juga sudah bunyi keroncongan. Baru air putih kemasan gelas yang masuk lalui tenggorokanku sehabis magrib tadi. Di rumah tadi sengaja memang aku tak makan, agar saat dapat menu kotakan bisa lahap dengan teman teman sekompleks. Arrrrrrggggghhhh … Hmmmmm … Satu pasien lelaki berumur lima puluhan sedari tadi berteriak ga jelas. Matanya melotot ke arah yang tidak jelas. Nama bapak itu adalah Pak Adul, beliau sudah lama memiliki sakit lumpuh pada kakinya. Menurut ilmu kedokteran penyakit bapak itu adalah Stroke. Sudah beberapa tahun ini si bapak menderita penyakit tersebut. Setiap hari hanya bisa duduk di kursi roda yang di dorong oleh anaknya. Semua cara pengobatan sudah ia coba, baik medis maupun non medis. Macam macam ramuan tradisional juga tak luput dari santapan sebagai obat. Entah dengan cara apa lagi ia sudah kehabisan cara untuk mengobati dirinya. Semua materi juga sudah terkikis habis hanya untuk mencari cara mengobati penyakitnya. Moment acara di kompleks ini jadi sebuah kesempatan buat Pak Adul mencoba untuk cara lain dalam mengobati dirinya. Meski sebelumnya sudah di beri warning oleh warga lain tetep Pak Adul bersikeras ingin mengikuti acara tersebut dan menjadi salah satu pasiennya. Sedari tadi Pak Adul bersikap aneh, berteriak teriak mengaum seperti hewan buas. Air liurnya menetes kemana mana tanpa ia sadari. Dari panitia tidak ada tindakan apapun untuk menolong Pak Adul dan yang lainnya. Mereka semua dibiarkan apa adanya, entah sampai kapan begitu. Aku yang menyaksikan kejadian ini benar benar di buat gatal tanganku. Ingin rasanya mencekik sosok yang ada dalam tubuh Pak Adul. Aku merasa yakin bisa melakukan apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Tapi lagi lagi sosok itu menahanku. “Jika kamu memaksa, kamu akan melukai banyak orang, tidak hanya kamu saja Ris.” “Hei dari mana kamu tau namaku?” “Dunia kami nama tuan putri sudah dikenal.” “Kenapa kamu panggil aku tuan Putri?” “Ada saatnya kamu akan tau nanti tuan Putri.” “Sekarang apa yang harus ku lakukan untuk menolong warga kompleksku?” “Tidak ada, cukup lihat saja.” Ah hatiku tambah dongkol mendengar jawaban itu. Tapi apa yang bisa ku lakukan jika benar apa yang dikatakan sosok di sebelahku ini. Aku bisa apa? Apa kemampuanku mampu mengatasi banyaknya sosok jahat yang hadir di tengah warga ini? Aku benar benar ga tega lihat penderitaan yang di rasakan para warga. Apalagi Pak Adul adalah tetangga sebelah rumah yang kesehariannya aku tahu betul ia berjuang sangat keras untuk sembuh. Kebetulan anak beliau seumuran juga denganku. Meski dalam kondisi tidak fit Pak Adul selalu berusaha hadir setiap ada undangan warga yang lagi adakan kenduri. Beberapa saat kemudian salah satu praktisi maju mendekati Pak Adul. Sambil mengayunkan tangan kanan dan kirinya, ia seperti mencoba mengusir sesuatu dengan cara mengibaskan kedua tangannya. Seketika langsung ada perubahan sikap yang di tunjukkan oleh Pak Adul. Ia bisa lebih tenang tidak menggeram dan mengaum seperti tadi. Pemuda yang mengobati Pak Adul ini melanjutkan dengan sebuah rapalan doa. Entah apa yang di ucapkan pemuda itu, yang terlihat hanya komat kamit dari mulut itu. Anak anak gadis seumuran ku seketika heboh melihat aksi praktisi itu yang memang terlihat masih muda dan tampan. Aku sendiri sudah menyadari tapi tidak begitu tertarik dengan aksi pemuda itu. Aku justru merasa iba dengan para pasien terutama Pak Adul. Banyak penonton mengira jika sosok yang merasuk ke dalam tubuh pak Adul sudah pergi menjauh. Aku berpikir justru sebaliknya, ini malah awal bencana buat pasien tersebut. Tapi tidak ada yang menyadari bahaya tersebut. Aku tak bisa berbuat banyak karena ada sesuatu yang melarang melakukan hal tersebut. Sekarang posisi pemuda itu berada di belakang Pak Adul. Ia meletakkan kedua telapak tangannya pada badan Pak Adul. Terlihat pasien begitu tenang menerima energy dari telapak tangan pemuda itu. Satu, dua, tiga, empat dan seterusnya masuk satu persatu ke dalam tubuh itu. Begitu mudahnya mereka memasukkan sosok sosok jahat ke dalam tubuh Pak Adul yang tak berdosa itu. Setelah itu tubuh bapak tersebut di minta untuk berputar menghadap ke praktisi tersebut. Masih pemuda itu sendirian mengobati Pak Adul, belum dedengkotnya yang maju. Aku belum bisa membayangkan jika ketua mereka yang maju mengobati pasien. Baru level anak buah saja sosok demit yang masuk ke tubuh pasien segitu banyaknya. Apalagi bosnya, bisa bisa raja demit yang di masukkan ke dalam tubuh orang. Kaki Pak Adul di elus sambil mulut pemuda itu tetap tak mau berhenti komat kamit. Entah doa apa saja yang di rapalkan praktisi tersebut. Lagi lagi aku hanya terpaku menyaksikan semuanya. Tak banyak yang bisa ku lakukan. Sementara sosok di sebelahku hanya anteng melihat sikapku seperti berjaga jaga jika tiba tiba aku nekat melakukan sesuatu. “Nah sekarang coba bapak berdiri, pelan pelan ya…” pinta pemuda itu pada Pak Adul. Tampak sedikit keraguan pada mimic wajah bapak itu. Ia takut jika di paksa akan jatuh dan memperparah sakitnya. Tapi pemuda itu kembali meyakinkan jika semuanya akan baik baik saja. Pak Adul berusaha berdiri pelan pelan tanpa alat bantu dan orang yang memegangnya. Ia terdiam beberapa detik lalu lanjutkan satu langkah, dua, tiga dan akhirnya … “Alhamdulillah ya Allah, terima kasih mas, terima kasih, terima kasih …” tiada henti Pak Adul ucapkan terima kasih hingga lupa ia sambil mencium tangan anak muda tersebut. Dan bodohnya lagi pemuda itu malah menyodori tangannya untuk di cium punggungnya. Aku yang melihat kejadian itu sangat geli dan marah. Rasanya tubuh ini mau bangkit dan mendatangi pemuda itu dan melabrak acara tersebut. Tapi lagi lagi sosok di sebelahku menahannya. “Kamu ga akan bisa tuan putri, cukup melihat saja.” “Aku sudah tak sabar lagi melihat ini semua, apa yang harus ku lakukan?” jeritku dalam hati. “Bukan sekarang waktunya tuan Putri. Acara ini masih panjang dan jalan ceritamu baru saja di mulai.” Kembali aku focus pada Pak Adul yang sudah bisa berjalan normal tanpa bantuan kursi roda ataupun orang yang memapahnya. Banyak penonton yang berdecak kagum melihat kesembuhan pak Adul. Apa yang mereka lihat sebenarnya bukanlah kesembuhan melainkan tipu muslihat para praktisi itu. Kesembuhan itu hanya sementara, karena ada sosok yang membantu Pak ADul berjalan tadi. Kaki yang di gunakan melangkah itu adalah kaki sosok setan yang telah di masukkan oleh pemuda itu. Percuma saja jika ku perdebatkan dengan mereka, sudah pasti mereka tidak ada yang percaya dengan apa yang ku lihat. Yang ada nanti malah aku di anggap stress. Baru satu yang di handle mereka dan di nyatakan sembuh. Aku hanya tersenyum kecut mendengar kata sembuh dari mulut mereka. Rasanya jika mampu ku buktikan omonganku, pasti akan ku tunjukkan pada mereka. Setelah di nyatakan sembuh Pak Adul lalu beranjak dari keramaian tersebut. Terlihat yang mengikuti bapak itu berbaris di belakangnya dan sebagian sudah menyatu dengan tubuhnya. Hanya istighfar yang terus ku ucapkan melihat tingkah laku para demit yang mengikuti beliau. Sementara di tengah itu masih ada beberapa lagi yang sibuk dengan kerasukannya. Aku kembali fokuskan pada pasien yang lain. Kali ini seorang emak emak berusia empat puluhan. Dia seorang penjual sayur keliling di komplek kami setiap pagi. Orangnya baik banget kadang jika dagangannya tak laku ia akan membaginya secara Cuma Cuma dengan warga yang lain. Tidak pelit meski dagangannya di tawar emak emak dengan sangat sadis. Ia lebih banyak tersenyum dalam menghadapi aneka pembeli di komplekku yang begitu unik. Namanya Bibi Inem. Rumahnya bersebelahan dengan komplek perumahan kami. Si bibi rupanya memiliki penyakit yang juga sudah lama yaitu batuk yang menahun. Tidak hanya itu, ia juga setiap mau magrib selalu panas dingin badannya. Padahal selama ini setiap cek ke dokter selalu di katakana sehat saja. Tidak ada terdeteksi penyakit apapun. Berbagai macam obat juga sudah pernah ia minum. Termasuk ke tukang dukun atau kata orang “orang pintar” juga tak luput dari jangkauannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD