6. Pulang

1054 Words
Qian berjalan menyisiri pantai sementara Raizel tanpa sadar mengikutinya sejak keluar dari restoran. Memakai kacamata hitamnya, Raizel berjalan santai dengan dua tangan yang masuk saku celana. Langkahnya terhenti kala Qian menghentikan langkahnya. Gadis itu terlihat tengah mengangkat panggilan. "Halo, ada apa, Bu?" Melihat panggilan masuk dari ibunya, Qian tak akan menunggu waktu untuk mengangkat panggilan. ["Sayang, Reva menelpon ibu, katanya kau tidak mengangkat panggilan darinya. Ada apa?"] Suara yang terdengar penuh kekhawatiran menjadikan keterkejutan untuk Qian. "Reva? Ah, mungkin tadi aku tidak mendengar bunyi ponselku, Bu," kilah Qian dengan gugup. Pasalnya ia memang sengaja membisukan notifikasi dari asistennya itu. ["Kalau begitu cepat hubungi Reva, sepertinya ada sesuatu yang penting."] Alis Qian terlihat mengernyit. Ada apa? batinnya. Namun ia lebih memilih mengiyakan perintah sang ibu. "Iya, Bu, iya." Jika tidak, ibunya bisa kembali cerewet. ["Oh ya, Sayang, ibu masih di rumah nenekmu."] "Bagaimana keadaan nenek? Nenek belum sembuh?" tanya Qian seraya kembali melangkahkan kakinya. Sebelumnya ibunya memang sudah memberitahu bahwa ia juga ayahnya akan mengunjungi neneknya yang sakit-sakitan. Nenek-nenek keras kepala yang memilih tinggal di desa daripada hidup bersama anak dan cucunya yang bisa memberinya segalanya. ["Doakan saja nenekmu segera sembuh, Sayang."] "Tentu saja, Bu. Jadi ibu di sana sampai kapan?" ["Um … ibu belum tahu, tapi mungkin bisa sampai Minggu depan."] "Baiklah, sampaikan salamku pada ayah juga nenek. Semoga nenek cepat sembuh." ["Tentu saja, Sayang. Hati-hati di sana, jika kau pulang, jangan lupa hubungi ibu."] "Um." Qian menutup panggilan kemudian sesuai perintah ibunya, ia menghubungi Reva. Ia sudah mengatakan bahwa selama seminggu tidak boleh ada yang menghubunginya dan membahas mengenai pekerjaan. Reva juga sudah berjanji akan melakukannya. Tapi jika Reva melanggar perintah, itu artinya ada sesuatu yang penting. "Halo, ada a--" Belum saja Qian menyelesaikan ucapan, suara Reva yang memekik membuatnya segera menjauhkan ponsel dari telinga. ["Qian, kau harus segera pulang! Titik! Sekarang!"] "Rev, ada apa? Waktu liburanku masih dua hari jika kau ingat," balas Qian dengan dahinya yang tampak berkerut. ["Jika kau tidak kembali sekarang, karirmu akan berakhir! Qiandra Aito!"] Itu bukan suara Reva, melainkan suara sang kepala agensi. Qian sudah sangat hafal dengan suara itu dan jika pak Surya sampai berteriak padanya, itu artinya ada suatu hal genting yang terjadi. "Ba-- baik!" Qian segera menutup panggilan dan bergegas kembali ke hotel sembari mencari tiket penerbangan pulang secepatnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Liburanku benar-benar hancur!" teriaknya dalam hati dimana fokus kedua tangan dan matanya tertuju pada aplikasi pemesanan tiket online. Alhasil, jadilah ia menabrak seorang pria yang tengah berdiri membelakanginya. "Ma-- maaf," ucap Qian yang gugup. Dilihatnya pria yang kini menatapnya dengan seringai dan membuatnya menelan ludah kasar. Tap! Pria bertubuh kekar itu menangkap tangan Qian dan menariknya hingga Qian nyaris jatuh dalam dekapannya. "Saan ka pupunta cute na babae?" [Mau kemana, nona manis?] Qian mulai panik, dapat dilihat jelas pria itu tak memiliki niat baik dilihat dari gelagat dan tindakannya. Hap! Sret! Sebuah tangan menarik tangan pria itu hingga lepas dari tangan Qian. Dan tentu pria itu adalah Raizel yang memang mengawasi Qian sebelumnya. "Siya ang aking babae," ucap Raizel dengan sorot mata tajam seraya menghempas tangan pria itu. Mendengar Raizel mengatakan bahwa Qian wanitanya, pria itu menatap Qian dan Raizel bergantian kemudian memilih pergi dengan umpatan yang lolos dari mulutnya. "Kau? Terima kasih," ucap Qian yang mulai bernafas lega. Ia cukup terkejut mendapati Raizel lagi-lagi menyelamatkannya. "Hm," gumam Raizel sebagai jawaban tanpa mengalihkan tatapan tajamnya dari punggung pria berwajah blasteran yang hendak mengganggu Qian. "Maaf, aku harus segera pergi. Sekali lagi terima kasih." Qian segera pergi meninggalkan Raizel yang berdiri menatapnya dalam diam. "Ceroboh," gumam Raizel yang melihat Qian berjalan dengan memainkan ponselnya. Helaan nafas panjang pun lolos dari mulutnya. Hari ini ia seperti orang bodoh yang mengkhawatirkan seorang wanita yang baru ia kenal. Drt … drt … drt …. Ponsel Raizel berbunyi dan tanpa menunggu waktu ia segera mengangkat panggilan. "Hn. Ada apa?" ["Kau harus segera pulang, kakek meninggal."] Mata Raizel melebar dengan jantungnya yang seakan berhenti berdetak selama beberapa saat. Tanpa berpikir panjang ia segera mencari penerbangan secepatnya untuk pulang. *** Seperti biasa suasana Bandara Soekarno Hatta terpantau padat. Qian menyeret koper dan berjalan cepat melewati orang-orang. Ia memakai masker juga kacamata hitam dengan hoodie yang menutupi kepala. Meski lelah juga jet lag masih terasa, ditambah lututnya yang kembali terasa sakit, namun tak menghalanginya melangkah cepat menuju mobil yang sudah menunggu. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tahu bahwa mungkin yang ia hadapi adalah masalah besar, ia terlalu pengecut untuk membaca berita atau membuka akun sosial media miliknya. Selama ia berlibur, ia sengaja mematikan akun sosial media miliknya juga semua hal yang berbau pekerjaan. Brugh! Terlalu terburu-buru, Qian lagi-lagi harus menabrak seseorang hingga Hoodie yang dipakainya terbuka. "Ah, maaf," ucap Qian kemudian bergegas kembali melangkah. "Tunggu, Qiandra, Qiandra Aito?!" Pria itu mencegah Qian dan menghalanginya pergi. "Bukan, kau salah orang," ucap Qian dengan kembali memakai Hoodie. "Hei! Di sini!" Pria itu berteriak pada kerumunan wartawan yang sepertinya telah menunggu. Padahal Qian sudah sangat berhati-hati, tapi jika seperti ini, ini bisa gawat. Masalahnya, ia tidak tahu hal besar apa yang menimpanya. "Sebenarnya apa yang terjadi?" batin Qian yang ingin menangis. Ia benar-benar sangat lelah, dan otaknya juga harus dibuat lelah dengan kerumunan wartawan yang kian mendekat. Rasanya, ia ingin pingsan. Namun sebuah cahaya penyelamat dapat ia lihat saat pandangannya melihat sebuah mobil yang pintunya terbuka. Seolah sudah sangat siap menerima kehadirannya. Ia manarik tangannya dan menginjak kaki pria itu semampunya meski luka di lututnya harus kembali terbuka. Ia segera menarik tangannya dibarengi rintihan kesakitan saat meraskan perih luar biasa di lututnya. "Argh!" Pria itu meringis saat sendal jepit Qian menginjak kakinya. Tak menyisakan kesempatan, Qian pun segera berlari sekuat tenaga sebelum mobil penyelamatnya pergi. Bahkan nyaris saja ia terjatuh saat menuruni anak tangga. Jbles! Qian segera menutup pintu mobil dengan keras. "Pak, tolong cepat jalan!" perintahnya pada pria yang duduk di jok kemudi. Tanpa disadarinya seorang pria duduk di sebelahnya dan menatapnya dengan keterkejutan yang disembunyikan. "Tuan," ujar si sopir dengan menatap sang majikan lewat pantulan spion dalam mobil. Seketika Qian pun menoleh dan matanya melebar seketika mihat siapa yang kini menatapnya. "Ka-- kau …." Sementara pria yang sebelumnya menahan Qian terlihat mengukir seringai kemenangan. Mengambil ponsel dari saku celananya, kemudian menghubungi seseorang. "Aku menangkapnya," ucapnya entah pada siapa di seberang sana. Arah pandangnya tertuju pada para wartawan yang mengelilingi sebuah mobil dimana Qian berada di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD