1. Kecelakaan
Suara deburan ombak memanjakan pendengaran seorang gadis cantik yang saat ini tengah berjemur di bawah terik matahari. Sebuah payung pantai menjadi pelindung kedua setelah sunblock agar kulitnya terhindar dari efek buruk sinar UV. Sementara kain alas pantai menjadi pelindung dari butiran pasir yang panas. Rambut panjangnya digelung tinggi hingga mengekspos leher jenjangnya yang putih.
Mata indahnya tersembunyi di balik kaca mata hitam yang melindunginya dari silau matahari yang terik.
"Liburan yang damai …." gumam gadis itu yang tak lain adalah Qiandra Aito. Gadis berusia 22 tahun yang merupakan salah satu aktris papan atas Indonesia. Riuhnya pengunjung pantai seakan tak menjadi masalah baginya untuk menikmati sepoi angin laut yang menenangkan. Ia sudah lama menginginkan kebebasan ini. Bergulat setiap hari dengan naskah dan akting membuatnya ingin menikmati hari bebasnya walau hanya hitungan menit. Sebagai salah satu aktris papan atas, hari-harinya selalu disibukkan dengan pekerjaan, bahkan di hari ulang tahunnya sekalipun satu bulan yang lalu. Karena sudah terikat kontrak, ia tetap bekerja meski sebenarnya ia ingin beristirahat. Dan akhirnya setelah perdebatan yang panjang dengan kepala agensi, ia bisa menikmati waktu liburan selama satu minggu penuh tepatnya di white beach Boracay, Filipina. Pantai yang dinobatkan sebagai pantai terindah pertama se-Asia Tenggara.
Drt … drt …
Mendengar getar ponsel dalam tas kecil miliknya, ia segera bangkit menegakkan punggungnya dan melihat siapa yang berani menghubunginya. Padahal ia sudah berpesan pada asisten sekaligus manajernya untuk tak mengganggunya barang sedetik. Namun di luar dugaan. Rupanya itu adalah panggilan dari sahabatnya.
"Halo."
["Halo, Qian, kau di mana?"]
"Aku sedang liburan, ada apa Samantha?"
["Apa?! Liburan?! Kenapa kau tak mengajakku?"]
Qian tampak terkekeh. "Maaf, ya. Mungkin lain kali kita bisa pergi bersama."
["Huuh … jahat.]
"Maaf, ya."
["Oh, ya, selamat ya, atas masuknya kau dalam nominasi. Kau benar-benar hebat."]
*Apa yang kau katakan? Kau juga masuk nominasi, Samantha."
["Tapi sudah dipastikan kau akan mengalahkanku, bukan? Hu … hu … hu …."]
"Ish. Jangan bicara seperti itu. Aku bukan apa-apa, tahu."
["Tapi tetap saja. Banyak yang menilai bahwa kau akan menang."]
"Menang atau tidak, tidak akan menghentikan langkah kita untuk terus menghasilkan karya terbaik, bukan?"
["Ya, kau benar."]
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan."
Qian menengadah menatap langit biru yang tetap tampak biru meski ia memakai kacamata hitam. Sama seperti yang ada di pikirannya mengenai seseorang. Orang baik, seperti apapun melihatnya dengan bantuan atau tanpa bantuan alat, orang itu tetaplah orang baik. Ia percaya akan hal itu.
["Oh, ya. Boleh tahu sekarang kau liburan di mana?"]
"Sekarang aku ada di filipina."
["Filipina? Wah, kudengar banyak pria tampan di sana "]
"Ish, dasar."
["Baiklah kalau begitu selamat menikmati liburanmu."]
Qian menatap layar ponselnya dengan mengukir senyum tipis. Kemudian memasukkannya kembali ke dalam tas kecil miliknya dan kembali merebahkan tubuhnya menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan. Hingga karena terlalu menikmati waktunya, perlahan ia mulai jatuh ke alam mimpi.
Qiandra Aito, gadis cantik blasteran Jawa-Jepang itu merupakan aktris populer penuh prestasi minim sensasi. Namun akhir-akhir ini beberapa berita membuat namanya tiba-tiba menjadi trending topik. Ia dikabarkan melewati meja operasi untuk mendapatkan wajahnya yang bak barbie. Bukan hanya itu saja, ia juga dikabarkan sebagai pecandu minuman keras yang faktanya, menyentuh minuman itu saja ia tidak pernah. Sejak namanya masuk nominasi sebuah penghargaan untuk aktris terpopuler berita buruk tentangnya santar terdengar. Entah siapa oknum tak bertanggung jawab yang membuat namanya buruk di mata publik. Ia tak cukup ambil pusing atas berita-berita itu karena ia tidak melakukannya. Sayangnya, semakin lama ia diam, semakin banyak berita buruk menghampirinya. Dan di saat ia tengah menghabiskan waktu liburannya seperti saat ini, sebuah berita menghebohkan telah terjadi di tempat kelahirannya. Berita yang mungkin tak akan membuatnya tinggal diam lagi.
Perlahan mata itu mulai terbuka saat hawa dingin mulai menerpa. Seketika ia menegakkan punggungnya saat menyadari hari mulai senja. Entah sudah berapa lama ia tertidur, mungkin hampir dua jam lamanya. Ia segera bergegas sebelum hari mulai gelap. Membereskan alas kain pantainya, ia segera menuju motor yang ia sewa selama berada di sana yang ia parkir tak jauh dari tempatnya berjemur.
"Sepertinya masih ada waktu," gumamnya saat melirik jam tangannya. Mungkin jalan-jalan dan mencicipi makanan di daerah itu tidak buruk. Ia segera menyalakan mesin motor dan mulai melanjutkan tujuan mencari makan malam. Mengendarai motornya hanya dengan kecepatan 20 km/jam, sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat-lihat. Sesekali ia bersenandung kecil menikmati perjalanannya kali ini. Tidak ada yang bisa mengganggu liburannya. Dan tak akan ia biarkan siapapun mengganggu liburannya. Semua sudah ia atur dengan sempurna dalam buku catatannya. Namun baru beberapa menit berselang, rencananya hanya tinggal rencana.
Brak!
Seorang pemotor menabrak motornya dari belakang saat ia hendak menyebrang kala melihat sebuah kedai yang menyediakan makanan yang tampak lezat.
***
"Engh …." Qiandra melenguh dan mencoba membuka mata. Hal pertama yang ia rasakan adalah rasa perih di kaki dan beberapa bagian tubuhnya. Ia mengerjap beberapa kali menyesuaikan penglihatannya dengan terangnya cahaya lampu di ruangan bernuansa putih itu.
Setelah kesadarannya pulih sepenuhnya, pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Dan saat ia melihat ke arah pintu, tepat saat itu juga tatapan matanya bertemu dengan mata hitam sekelam malam seorang pria yang memasuki ruangan. Pria yang memakai celana jeans hitam dan kaos putih itu perlahan melangkah mendekat ke arah Qian yang terbaring di ranjang. Namun bukan itu yang menjadi atensi penglihatan Qiandra, melainkan plaster yang menghiasi tangan pria berwajah tampan itu.
"Siapa kau?" tanya Qian penuh selidik saat pria itu berdiri menjulang di sisi ranjang tanpa berhenti menatapnya.
Sementara pria itu hanya memperhatikan Qian dengan seksama, seakan ingin memastikan bahwa Qian baik-baik saja.
"Aku bertanya padamu. Dan dimana aku sekarang?" tanya Qian sekali lagi karena pria itu tak menjawab pertanyaannya.
"Kau ada di klinik," jawab pria dengan model rambut chikenbut itu.
"Bagaimana bisa aku di sini?" Qian kembali bertanya, sampai di detik berikutnya ia seakan baru tersadar. Ia lupa bahwa saat ini ia ada di negeri orang. Tapi kenapa pria itu bisa menjawab pertanyaannya? Selain itu, ia juga baru ingat, seseorang menabrak motornya dari belakang saat ia hendak berbelok ke sebuah kedai.
"Aku menabrak motormu," jawab si pria dengan baritonnya yang dingin.
"Tunggu! Kau bisa bahasaku?" Qian mengamati pria itu dari atas hingga ke bawah. Wajahnya tampan dengan hidung mancung dan rahang tegas. Matanya tidak lebar juga tidak sipit namun sorot matanya begitu tajam dengan iris mata sekelam malam. Qian juga bisa mengira-ngira mungkin tinggi pria itu sekitar 185 cm.
Mungkin kita dari negara yang sama," jawabnya singkat.
"Ap-- awh … sh …." Qian hendak kembali bertanya sampai rasa sakit di kedua lututnya membuatnya meringis. Ia baru menyadari, bahwa kedua lututnya dibalut perban.
"Jangan bergerak," ujar pria itu mengingatkan.
"Jam berapa sekarang? Aku harus kembali ke hotel," ujar Qian seraya mengendarakan pandangan mencari jam dinding. Ia tidak tahu berapa lama ia pingsan. Ia mencoba menegakkan punggungnya dan lagi-lagi luka di lututnya membuatnya meringis. "Di mana motorku?" tanyanya yang teringat akan motor sewaannya.
"Bengkel."
"Ya Tuhan …." gumam Qian dengan mendesah lelah. Ia mencoba menggerakkan kakinya untuk turun dari ranjang. Namun saat kakinya baru setengah menggantung di tepi ranjang, rasa sakit semakin menyiksa. Luka di lutut memang sangat merepotkan. Dan bisa dipastikan membutuhkan waktu cukup lama untuk benar-benar pulih, karena bagaimanapun juga lutut merupakan sendi yang terus bergerak. Ia mencoba menahannya namun saat kakinya memijak lantai rasa sakit di lututnya semakin terasa dan membuatnya kembali terduduk di tepi ranjang.
"Keras kepala. Sudah kubilang jangan bergerak," peringat pria itu dengan suaranya yang berat dan dingin.
"Diamlah! Aku seperti ini juga karena kau," bentak Qian tak terima saat ia merasa pria itu setengah membentaknya.
"Hn. Tapi setidaknya aku sudah bertanggung jawab dengan membawa dan mengobatimu ke sini," sanggah pria itu.
"Semua ini gara-gara kau. Bagaimana aku bisa menghabiskan sisa liburanku dengan kakiku yang seperti ini?!" maki Qian dengan suara tinggi hingga menunjuk wajah tampan pria itu dengan telunjuknya.
Pria itu hanya diam dan mengamati Qiandra. Ia mengerti jika Qian di sini untuk berwisata dan karena kecerobohannya, gadis itu tak bisa menikmati liburan. Ia juga paham, luka di lutut membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh dibanding bagian tubuh yang lain.
Bagaimanapun juga keluarganya selalu mengajarkan untuk selalu bertanggung jawab dengan apapun yang ia lakukan. Ia bukanlah pria yang lari dari tanggung jawab macam apapun. Dan ia meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertanggung jawab pada gadis yang jadi korban kecerobohannya. Bukan hanya mengobati tapi tanggung jawab karena membuat Qian tak bisa menikmati liburannya.
"Baiklah ... aku akan bertanggung jawab," ujar pria itu dengan tenang.
Alis Qian mengernyit tajam tidak mengerti maksud ucapan pria itu.
"Aku akan mengantarmu ke tempat wisata yang ingin kau kunjungi selama disini."
Qian mulai berpikir, untuk apa pria itu bertanggung jawab dengan mengantarnya ke tempat wisata selama ia di sini? Padahal telah membawanya berobat saja sudah sebuah pertanggungjawaban.
"Kenapa?" tanya Qiandra menyelidik.
"Kenapa?" Pria itu justru menjawab dengan pertanyaan yang sama.
"Kenapa kau sampai ingin mengantarku berwisata selama aku disini? Kuberitahu padamu, aku disini masih lima hari lagi," terang Qian dengan mengangkat satu tangan di depan wajah pria itu.
"Karena aku tak mau dicap pria tak bertanggung jawab."
Alis Qian kian mengernyit tajam. "Kau mencurigakan," ujarnya. Memijit kecil kepalanya, ia menatap pria itu dengan ekspresi wajah yang tenang. "Tidak perlu, aku akan mencari tempat wisata yang dekat dari hotelku saja. Daripada rencana liburanku benar-benar hancur. Sekarang biarkan aku pulang. Dan terimakasih sudah menolongku meski itu karena kesalahanmu. Dan kau tenang saja, aku tak akan menuntut tanggung jawab apapun lagi darimu," papar Qian panjang lebar. Ia hanya ingin berjaga-jaga jikalau pria itu memiliki maksud lain yang buruk.
"Baiklah jika itu maumu. Tapi ..." pria itu mengambil sesuatu dari saku celana jeansnya. "Kau bisa menghubungiku jika ada sesuatu yang terjadi setelah ini menyangkut kesehatan dan keadaanmu. Aku benar-benar tak mau punya hutang tanggung jawab padamu," lanjutnya seraya memberikan sebuah kartu nama.
Qian mulai gusar, ia takut jika pria itu mengenalinya, atau bisa jadi pria itu adalah stalker yang menyamar mengingat pria itu dari negara yang sama dengannya. Namun kekhawatirannya terbantahkan saat pria itu memberikan kartu namanya. Qian menerima kartu nama itu dan membaca setiap huruf yang terangkai menjadi sebuah nama.
"Raizel Yogaswara."