Bab 8

1603 Words
Nekat Seberapa jauh engkau menghindari maka semakin gencar untuk aku mendekatimu  ❄️❄️❄️❄️ Shaqilea memasuki ruang kantin bersama Faeyza.  Pandangannya hanya lurus tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya. Shaqilea mendudukkan dirinya pada bangku kosong yang ada di sana. Seperti biasa Faeyza akan memesankan makanan untuk Shaqilea dan dirinya.  Selagi Shaqilea menunggu Faeyza,  dua sosok cowok itu datang menghampiri dengan membawa makanannya masing-masing. “Hai Sha,” sapa Cio. “Kita gabung ya?” lanjut Cio dengan mendudukan dirinya disana. “Faeyza mana?” tanya Gavin basa-basi. Sebenarnya Gavin sudah menahan setengah mati ketika Shaqilea memasuki ruang kantin itu. Ia berniat untuk menghindari, namun Cio salah tangkap dan mengajak dirinya untuk bergabung bersama Shaqilea. “Pesan bakso,” jawab Shaqilea seadanya. Faeyza datang dengan membawa 2 mangkuk bakso itu. “Loh, kok kalian disini?” tanya Faeyza. “Kenapa gak boleh?” jawab Cio. Faeyza menyipitkan matanya ia benar-benar curiga dengan gelagat dua cowok yang ada di depannya.  Namun perasaan itu ia tepis begitu saja. Shaqilea menuangkan sambal itu dengan sangat banyak ke dalam mangkuk baksonya. Gavin menahan sendok sambel yang di pegang oleh Shaqilea ketika Shaqilea menuangkan untuk kesekian kalinya. “Udah cukup banyak sambel yang lo tuangin,  gak bagus buat perut lo,” cegah Gavin. Shaqilea menuruti saja ucapan Gavin dan tidak jadi untuk menambah sambalnya. “Ini neng minumannya,” ucap mang ujang dengan menyerahkan jus jeruk 2 gelas. “Makasih ya mang,” jawab Faeyza dengan begitu ramah. Mereka melahap makanannya dengan begitu tenang.  Dari arah lain Shaqilea merasa ada orang yang menatapnya dengan sorot mata yang begitu tajam. Dilihat sosok itu ternyata Edsel, Shaqilea membalas tatapan tajam itu dengan tatapan maut yang ia punya. “Sha?” panggil Cio. Merasa terpanggil Shaqilea pun mengalihkan perhatiannya kepada Cio. “Lo masih aktif bela diri? Kemarin gue ketemu Kak Dimas katanya lo berhenti udah lama banget.  Kenapa?” tanya Cio beruntun. Uhukk Uhukk  Shaqilea tersendak. “Eh minum minum. ini Sha ini,” Gavin menyodorkan minumannya. “Haduh lo hati-hati makannya Sha,  Lo sih Yo,  orang lagi makan malah di ajak ngobrol emang b**o dasar,” ucap Gavin dengan khawatirannya. “Sha gimana lo gak apa-apakan?” tanya Faeyza. “Kerongkongan gue pedih banget,  bagi minum dong.” “Nih punya gue,  habisin aja nggak apa-apa,” potong Gavin. Gavin benar-benar sangat khawatir pada Shaqilea. Mata itu ketara sekali bahwa ia tidak ingin terjadi sesuatu yang dapat mengakibatkan Shaqilea sakit ataupun terluka. Shaqilea hendak meminum minuman  yang di berikan oleh Gavin namun satu tangan menyambarnya dan membuang minuman itu kesembarang arah. Shaqilea berdiri dari bangkunya dengan emosi yang menyulut, Ia sedang menahan kerongkongannya yang pedih, namun sosok cowok di depannya membuat emosinya menyeruak. BRAKK Shaqilea menggebrak meja dan mendongakan kepalanya, menatap seseorang yang telah membuat emosinya menyulut. “Ikut gue sekarang!” sentak cowok itu dengan menarik tangannya Shaqilea. Cowok itu adalah Edsel.  Shaqilea menepis genggaman tangan itu, dan  menatap hazelnya. “MAU LO APASIH?” cercah Shaqilea dengan nada yang tinggi. “IKUT GUE SEKARANG!” balas Edsel dengan tidak kalah tingginya. “Woyy bro. Santai kali kalau sama cewe tuh.  Kalau ceweknya nggak mau ya udah jangan dipaksa,” sanggah Gavin. “Ini gak ada urusannya sama lo ya,” ucap Edsel tidak terima. Edsel menggenggam kembali tangan Shaqilea dan menarik paksa untuk mengikutinya keluar dari kantin. Gavin menghalangi Edsel yang hendak meninggalkan kantin. “Minggir! Kalau nggak!” “Kalau nggak apa? HAH.” BUKK Edsel memukul Gavin hingga tersungkur ke lantai, membuat sudut bibir itu terluka dan mengalirlah darah segar. Semua orang disana berteriak histeris dengan kejadian yang di lihatnya. Kantin itu menjadi riuh oleh ulah yang dilakukan Edsel. Ketiga sahabat Edsel hanya bisa diam dan menyaksikan ketika Edsel yang seperti itu, tidak ada yang dapat mengendalikan Edsel ketika sudah disulut oleh Emosi yang sudah membakar semenjak tadi. Cio berusaha membantu Gavin untuk berdiri. “Gue peringatin jangan pernah gangguin Shaqilea apalagi untuk menyentuhnya!” ucap Edsel. Edsel pergi meninggalkan kantin dengan menarik tangan Shaqilea secara paksa.  Shaqilea bisa saja melawan perlakuan Edsel kepadanya,  namun suasana tidak mendukung yang membuatnya mengikuti langkah Edsel dengan pasrah. Melewati setiap koridor dan membawanya ke sebuah rooftop. Shaqilea terkagum dengan pandangan yang bisa ia nikmati dari atas sana.  Ia baru mengetahui ternyata sekolahnya mempunyai rooftop. Dari atas sana juga, ia dapat menyaksikan danau yang biasa ia tempatin sendirian. Shaqilea belum sadar bahwa tangannya masih di genggam oleh Edsel.  Meskipun genggaman itu tidak lagi kasar seperti tadi. “Gue gak suka lo dekat sama dia,” ucap Edsel. Shaqilea sadar dari lamunan dan langsung menarik kembali tangannya dari genggaman Edsel. “Lo marah ketika gue sentuh,  sedangkan ketika orang lain nyentuh, lo nggak masalah,” ujar Edsel. “Dia nggak baik buat lo, jadi tolong jauhin dia!” tegas Edsel. “Apa urusannya sama lo? Lo bukan siapa-siapa gue.  Gue berteman sama siapapun bukan urusan lo!” jawab Shaqilea dengan senyum mengejeknya. Kalimat yang di lontarkan oleh Shaqilea begitu menohok di hati Edsel. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa perkataanya memang benar bahwa ia bukan siapa-siapa bagi Shaqilea.  Tapi ia percaya bahwa suatu saat nanti  Shaqilea akan menjadi miliknya. “Lo lupa ketika dia main basket, hampir nyelakain lo!” “Itu murni kecelakaan bukan di sengaja,” “Kenapa lo belain dia terus,” “Karena dia pantas untuk di bela!” Shaqilea memutar tubuhnya dan ingin pergi dari tempat itu. “Gue tau semua tentang keluarga lo, kalau lo nggak nurutin semua perkataan gue.  Gue bakal sebarin semua tentang keluarga lo di sekolah ini,” ancam Edsel. Seketika itu juga Shaqilea berhenti melangkah,  Kakinya kaku, jantungnya berhenti berpacu seketika dengan sisa kekuatan yang dimilikinya ia memberanikan diri untuk menghadap Edsel. “Ehemzt,”  Shaqilea berdeham untuk menetralkan dirinya agar tidak terlihat tegang. “Jadi disini yang gak baik itu siapa? Lo apa dia?” cercah Shaqilea. “Gue gak peduli lo mau bongkar atau nggak!” lanjutnya. “Lo nggak takut? Semua anak-anak jauhin lo terutama sahabat lo itu.  Lo nggak takut mereka tau bahwa Kakak lo itu pengidap penyakit jiwa alias gila.” Emosi Shaqilea sudah tidak tertahan lagi apalagi jika sudah menjelek-jelekan Kakaknya. Tanpa berfikir lama lagi Shaqilea langsung memukul Edsel secara mambabibuta. Saat Edsel sudah jatuh tersungkur pun Shaqilea masih terus memukulnya, Tapi tidak ada perlawanan sama sekali dari Edsel. “Kenapa lo diam, bukannya lo pengen lihat gue sengsara?  Hayoo lawan gue,” “Lo kelihatan seksi kalau lagi emosi kaya gini,” rayu Edsel. Edsel benar-benar gila, seharusnya ia membalas pukulan telak yang di berikan oleh Shaqilea. Tapi ia hanya tersenyum meremehkan yang membuat Shaqilea bertambah muak dengan sikapnya. Bught Bught Bught Shaqilea menendang perut serta d**a Edsel secara beruntun. “Pukulin aja gak apa-apa, gue ikhlas. Karena dengan begini gue bisa menikmati keseksian lo Sha,” parau Edsel. “TAYI LO!” Shaqilea menendang kembali Edsel yang sudah terkulai lemas. Shaqilea meninggalkan Edsel yang terkapar di atas roftop itu sendirian. “Sumpah gue gak rela kalau lo dekat sama dia.  Gue bakal ngelakuin apapun agar lo nggak deket sama dia.  Dia nggak baik buat lo, percaya sama gue.  Meskipun gue tau, gue juga belum tentu baik  buat lo.  Secara gue ini b******n.  Tapi gue mengakui kalau gue ini memang b******n nggak kaya dia yang berselimut di balik pamornya yang mengaku sebagai anak baik-baik.” celoteh Edsel. Darah segar itu terus mengalir dari pelipis matanya.  Ini bukan kali pertamanya Shaqilea memukuli Edsel,  penglihatan Edsel semakin lama kian semakin buram perlahan tapi pasti mata itu telah tertutup sempurna. Shaqilea menuruni tangga dengan nafasnya yang memburu. Ia sungguh tidak habis fikir apa yang ada di dalam otaknya Edsel.  Apa yang Edsel incar dalam kehidupannya. Edsel sungguh benar-benar jadi benalu dalam kehidupannya. Ia ingin hidup seperti semula tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Edsel. Shaqilea berjalan gontai menuju kelasnya.  Ia berharap dengan pelajaran yang ia berikan pada Edsel. Sosok Edsel itu akan berhenti untuk mengganggunya. Shaqilea melihat Faeyza yang berlari dari arah berlawanan dan Faeyza langsung memeluknya. “Sha lo kemana aja? Sumpah gue khawatir banget sama lo,” ucap Faeyza dengan menahan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya. “Gak usah cengeng, gue nggak kenapa-napa,” balas Shaqilea. Dengan jawaban yang Shaqilea lontarkan membuat Faeyza berhenti untuk memeluknya dan menatap hazel itu dengan berkaca-kaca. “Gue khawatir sama lo, kenapa lo jawabnya kaya gitu!” “DRAMATIS LO NGGAK TEPAT!” bentak Shaqilea. Shaqilea sudah lelah,  baginya ini hanya masalah sepele. Mengapa sahabatnya harus menangis seperti itu. “Hati lo terbuat dari apa sih Sha?  Gue khawatir sama lo,  semenjak tadi gue udah muter-muter ke segala penjuru sekolah dan lo bilang gue dramatis.  Gue nggak habis fikir sama cara pandang lo,  gue kecewa sama lo.” Air mata Faeyza lolos begitu saja dari pelupuk matanya namun langsung ia usap. Faeyza berbalik dan berlari, pergi meninggalkan Shaqilea. Sedangkan Shaqilea tidak berniat sama sekali untuk mengejarnya, ia hanya berjalan santai untuk menuju kelasnya. ⛲⛲⛲⛲⛲ Faeyza terus berlari tanpa henti. Seharusnya Shaqilea tidak perlu berbicara kasar seperti itu padanya. Apa ia salah jika khawatir pada sahabatnya? Namun Shaqilea memandang dengan remeh rasa kekhawatirannya itu. Faeyza tidak tau tempat mana yang akan ia tuju.  Shaqilea benar-benar sudah membuat hatinya terluka.  Meskipun Shaqilea sering berbicara asal dan dingin tapi baru kali ini  membentak Faeyza. Faeyza memasuki ruang bilik toilet dan menguncikan diri disana. Faeyza terus terisak di dalam sana mungkin dengan begitu ia akan sedikit lebih tenang pikirnya. Sudah setengah jam berlalu Faeyza berada di bilik toilet itu.  Di rasa sudah cukup Faeyza keluar dan memandangi dirinya di depan cermin.  Seragamnya yang kusut, rambutnya berantakan, dan mata yang sedikit membengkak akibat menangis tadi.  Faeyza segera merapikan dirinya di depan cermin.  Ketika sudah rapih ia bergegas untuk meninggalkan toilet itu dan berjalan gonta menuju kelasnya. TOK TOK TOK Faeyza mengetuk pintu yang ada di depannya dan berjalan masuk dengan begitu sopannya. “Faeyza,  kamu habis darimana?” cegah guru itu yang sedang mengajar disana. “Saya habis dari toilet Pak,  tadi perut saya mulas Pak,” bohong Faeyza. “Ya sudah,  segera kamu duduk di tempatmu.” Faeyza berjalan ke tempat bangkunya tanpa memandang Shaqilea sama sekali yang berada di sampingnya. Proses pengajaran itupun berlangsung dengan cukup baik.  Bel tanda pulang  berbunyi semua siswa dengan segera membereskan buku dan peralatan lainnya. Guru itu keluar terlebih dahulu dan diikuti siswa yang keluar secara bergantian. Faeyza segera bangkit dari tempatnya namun tangannya di cengkal oleh seseorang.  Orang itu yang tak lain adalah Shaqilea. “Lo masih marah sama gue?” tanyanya dengan sangat hati-hati. “Menurut lo?” tanya balik Faeyza. “Gue minta maaf atas perlakuan gue sama lo waktu tadi,” mohon Shaqilea. “Udah?” cetus Faeyza. “Kalau udah gue cabut,  supir gue udah nunggu!” lanjut Faeyza. Shaqilea melepaskan cekalannya dan membiarkan Faeyza pergi begitu saja. “Mungkin ini yang terbaik,  sorry gue belum bisa cerita apa-apa sama lo.  Gue harap lo ngerti,” batin Shaqilea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD