Memaafkan
Sosok seorang cowok dengan perawakan yang cukup tinggi dengan d**a bidang yang menonjol serta keringat yang bercucuran di seluruh tubuhnya, sosok itu sedang mendribel bola basketnya. Berlari kesana-kemari seorang diri, di dalam lapangan in door tersebut. Cowok itu bernama Gavin.
Sekolah itu memiliki dua lapangan yakni lapangan in door san out door. Lapangan yang bisa di gunakan oleh beberapa macam olahraga yang di jadikan oleh satu tempat di in door. Khusus untuk basket ada dua lapangan in door dan out door.
Sekolah itu juga sering mengadakan turnamen dan lapangan in door lah yang akan digunakan untuk kejuaraan olah raga.
Cio berjalan memasuki lapangan in door tersebut dengan langkah gontainya.
“HAH.....” Gavin menggeram frustrasi.
Bola itu Gavin buang dengan sembarang. Gavin menyisir rambutnya yang basah ke belakang. Ia dudukan dirinya dan berselonjoran di lantai sana, merenggangkan kaki yang tidak terlebih dahulu ia lakukan pemanasan.
Dada bidang milik Gavin itu naik-turun. Sorot mata itu merah menahan segala emosi yang ada.
Cio mendekati Gavin dan ikut berselonjoran bersama. Ia tau mengapa temannya seperti itu yang tidak lain di akibatkan oleh kejadian di kantin tadi.
“Lo mau sampai kapan disini?” tanya Cio.
Tidak ada sahutan sama sekali dari Gavin.
“Rapat gue juga udah selesai, hayuu lah pulang. Banyak tugas yang harus gue kerjain begitu juga dengan agenda-agenda OSIS yang lain,” lanjut Cio.
“Kalau lo mau pulang, duluan aja. Gue masih nyaman disini,” jawab Gavin.
“Ini udah jam berapa? Lo mau terus-terusan disini sampai besok?”
“Gue malas untuk pulang! Gue pusing, telinga gue panas dengar nyokap bokap gue yang selalu bertengkar. Lo tau sendiri kan. Gue emang gak pernah di anggap sama mereka, nggak pernah di perhatikan sama mereka. Yang ada di pikiran mereka hanya kerja, kerja dan kerja tanpa peduli apa yang gue butuhin,” jelas Gavin.
“Kaya nggak biasanya aja lo pulang ke rumah gue,” sahut Cio.
Gavin memandang Cio “Gue gak mau ngrepotin lo terus-terusan.”
“Ishhh... Lo tuh kaya orang lain aja sama gue. Gue juga udah nganggap lo kaya babu gue yaa,” ledak Cio.
“Sialan lo,” Gavin memukul pelan bahu Cio.
“Gue bercanda njir,” ucap Cio.
Gavin menatap lurus kedepan lagi. Ia memikirkan ucapannya tadi. Memikirkan orang tuanya yang memang selalu bertengkar setiap saat dan bahkan setiap waktu jika bertemu keduanya.
“Btw kayanya lo suka deh sama Shaqilea,” ucap Cio.
“Jangan so'tau deh,” jawab Gavin.
“Udah kelihatan kali, cara lo khawatir sama Shaqilea ketika dia tersendak dan apalagi ketika dia di tarik paksa oleh Edsel.”
“Kalau gue emang suka sama dia kenapa?” tanya Gavin.
“Ya otomatis lo bakalan berurusan dengan Edsel, waktu itu aja Edsel langsung ngamuk ketika lo ngasih minuman ke Shaqilea.”
Mendengar nama Edsel, Gavin langsung di sulit emosi tangannya mengepal. Dan rahangnya mengeras.
“Emzt. Mau gue berurusan dengan Edsel atau nggak lo harus bantuin gue ngedapatin hatinya Shaqilea.”
“Nah gitu dong cari cewek, jangan ngejomblo mulu. Lama-lama lo buluken tau nggak!”
“Nyadar diri nggak sih lo sama ucapan lo. Saran gue mending lo deketin deh si Faeyza. Dia anaknya baik kayanya,” saran Gavin.
“Lo gak lihat nih! Tugas gue banyak,” Cio memperlihatkan beberapa map yang ada di tangannya.
“Osis mulu yang lo pikirin, hati lo kapan lo pikirin,” balas Gavin.
“Gue nggak ada kepikiran buat kesana lagi. Lo lupa setiap cewek yang gue pacarin nggak ada yang pernah bertahan lama. Belum lama jadian eh langsung ngajak putus. Jadi gue malas pacaran,” jelas Cio.
“Itu karena kesalahan lo, yang terlalu fokus sama kegiatan lo. Ketosnya aja biasa aja, malahan sering pacaran di ruang OSIS sama sekertarisnya. Gue sering mergokkin mereka berdua.”
“Ishhh ia gue kesel banget sama tuh Ketos, padahal gue sering banget tegur dia tapi ya tetap aja nggak ada perubahan.”
“Ya lo laporin b**o sama pembina Osis nya.”
“Eh sebelum lo kasih saran juga, udah gue laporin. Pembinananya juga udah negur,”
“Terus kenapa nggak di turunan jabatannya?”
“Gue nggak perlu jawab pun. Lo udah tau jawabannya.”
“Karena dia anak Yayasan sekolah ini?”
“Ya apalagi kalau bukan itu,” jawab Cio.
“Gue lebih suka kalau lo jadi Ketosnya,” ucap Gavin.
“Gue nggak minat!” balas Cio.
Cio berdiri dari tempatnya dan mengambil tasnya yang ia letakkan sembarangan.
“Lo mau terus disini apa cabut?” tanya Cio.
Gavin pun ikut berdiri dari tempatnya serta mengambil tas yang ada di bangku panjang samping lapangan, tempat biasa ia dan kawan-kawannya beristirahat setelah selesai atau break bermain basket. Mereka berdua beriringan meninggalkan lapangan in door itu.
Gavin dan Cio menuju tempat parkir terlebih dahulu untuk mengambil motornya spotnya masing-masing.
“Yo, mampir ke kafe dulu yukk,” ajak Gavin.
“Gak ah, gue kan udah bilang tugas gue banyak, gue harus kerjain secepatnya,” tolak Cio.
“Tugas, tugas, tugas, tugassss aja terus,” comel Gavin dengan memakai helmnya.
“Lain kali aja ya,” saran Cio.
“YA.”
“Heleeh ngambekan lo kaya cewek,”
Gavin mendahului Cio mengendarai motornya. Cio akan langsung pulang kerumahnya sedangkan Gavin mungkin akan berkelana terlebih dahulu menyusuri jalanan kota pada sore hari itu sambil menunggu senja datang dan perlahan menghilang kembali.
⛲⛲⛲⛲⛲
Hari sudah berganti malam, Faeyza terus-terusan bolak balik di kamarnya. Ia selalu memikirkan Shaqilea, tapi mungkin Shaqilea tidak akan memikirkannya begitulah perkiraannya.
“Gue yakin pasti ada yang di sembunyiin Shaqilea dari Gue,” gumam Faeyza.
“Gue ingat betul, waktu itu Cio pernah bilang Shaqilea dulunya nggak sedingin itu. Pasti ada masalah yang ngebuat dirinya berubah. Gue harus cari tau, iya gue harus cari tau,” celotehnya seorang diri.
Faeyza masih mondar-mandir dengan satu tangan ia lipat di dadanya dan satunya ia gigit kukunya. Begitulah kebiasaan Faeyza ketika sedang bingung memikirkan sesuatu.
“Gue harus telepon Shaqilea. Gue harus tanyain langsung. Eh enggak-nggak, Shaqilea pasti tidak akan menjawab pertanyaannya,” ucap Faeyza pada dirinya sendiri.
“Gue harus minta maaf dulu, dan baikan dengan Shaqilea. Nah baru perlahan gue selidikin kebenarannya.”
Faeyza mengambil ponsel yang berada di atas nakas dan menghubungi Shaqilea.
Calling is Shaqilea...
“Halo iya Faey,” suara seberang sana.
Faeyza berdehem untuk menerapkan dirinya.
“Emzt.. Halo Sha. Gue ganggu lo nggak?” tanyanya hati-hati.
“Enggak ko, gue lagi santai juga,” bohong Shaqilea padahal ia saat itu sedang bekerja menjaga minimarketnya. Kebetulan suasannya lagi sepi jadi ia bisa mengangkat telepon dari Faeyza.
“Soal tadi siang. Gue minta maaf ya,” ucap Faeyza.
“Lo nggak salah. Disini gue yang salah, jadi gue yang harus minta maaf. Maafin gue ya. Gak seharusnya gue marah sama sama lo, sorry gue lepas control,” balas Shaqilea.
“Ckckk jadi kita baikan nih?”
“Kenapa nggak?” tanya balik Shaqilea.
“Ok. Kita baikan wkwkk,”
“Eh Faey udah dulu ya Kakak gue manggil nih,” bohong Shaqilea kembali.
“Oh ok ok,” jawab Faeyza.
Tutt.... Sambungan terputus.
Faeyza membaringkan dirinya di kasur miliknya dan melelapkan dirinya disana.
⛲⛲⛲⛲⛲
Shaqilea duduk tenang di bangkunya dengan buku yang ia baca. Memahami sebuah pelajaran sebelum bel itu berbunyi, itu yang sering Shaqilea lakukan.
Faeyza masuk ke dalam kelas dengan terbesar-gesa menghampiri Shaqilea.
“Sha, Sha. Gila-gila gue pinjem buku catatan sosial lo dong. Minggu lalu kan gue lupa nyatat,” celoteh Faeyza.
Shaqilea menutup buku pelajaran dan mengambil tas untuk mencari buku catatan sosialnya lalu menyodorkan pada Faeyza.
“Makasih,” ucap Faeyza.
Faeyza langsung menulis dengan secepat kilat, tidak peduli tulisannya rapih atau tidak.
“Makalah yang buat presentasi udah lo print belum Faey,” tanya Shaqilea di tengah kesibukannya Faeyza yang sedang menulis.
“HAH.. MAKALAH?” teriak Faeyza.
“Iya, lo udah print belum. Gue kan udah kasih Flashdisknya kemarin nusa, tinggal lo print ajakan!”
Faeyza terlihat sedang memikirkan sesuatu, Faeyza membongkar tasnya dan mengeluarkan semua isinya.
“Astaga Sha, masalahnya ketinggalan,” pekik Faeyza.
“Lah ko bisa? Lo ceroboh banget sih Faey,” hardik Shaqilea.
Shaqilea berpikir masih ada waktu buat ke tempat fotocopy sekarang.
“Lo bawakan Flashdisknya, siniin biar gue print makalahnya di tempat fotocopy depan.”
Faeyza menyerahkan Flashdisknya kepada Shaqilea.
Di sepanjang koridor Shaqilea terus berlari sambil melihat jamnya, ia tidak peduli dengan keadaan sekitar yang begitu ramai sesekali ia menabrak siswa yang di lewatinya.
“Eh sorry sorry,” kalimat itu yang sering Shaqilea lontarkan.
Tempat fotocopy persis di seberang gerbang sekolah. Shaqilea telah sampai disana dan langsung menyerahkan makalah yang ada di flashdisknya untuk di cetak.
Di perempatan jalan sana, Shaqilea melihat ada segerombolan orang yang sedang berbincang-bincang seperti merencanakan sesuatu. Shaqilea tidak peduli dan menepis semua rasa penasarannya karena yang terpenting saat ini hanyalah makalahnya. Kalau sampai tidak di kumpulakan maka resiko yang dintanggungnya adalah ia tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran selama tiga pekan. Selain itu juga ia harus merangkum semua pembahasan dari kelas 10 sampai kelas 12 sekarang.
Setelah menerima makalah yang sudah jadi. Shaqilea berlari kembali memasuki sekolahnya.
“Ya ampun neng hobi banget lari,” ujar Pak Satpam.
Shaqilea hanya membalas hanya dengan senyuman sopannya.
Di pertigaan koridor Shaqilea tidak sempat berhenti karena lantainya benar-benar licin dan alhasil ia menabrak seseorang. seseorang itu ternyata Gavin. Shaqilea dan Gavin jatuh kelantai bersamaan, begitupun dengan makalahnya dan juga beberapa buku yang di bawa oleh Gavin berserakan di lantai. Sebagian lantai itu basah tanpa sadar hanya makalah Shaqilea yang jatuh ke lantai yang masih ada genangan airnya.
Gavin bangun terlebih dahulu ia belum sadar bahwa yang menabraknya yaitu Shaqilea.
“Haduh kalau jalan tuh hati-hati kerjaan gue jadi double kan, tambah lamakan gue ke kelas,”
“Sorry, sorry gue minta maaf ya, gue buru-buru, nih gue bantuin ngumpulin bukunya,”
Gavin baru sadar ketika cewek yang berbicara itu tidak asing di telinganya, ia melihat sosok itu dan benar ternyata adalah Shaqilea. Orang yang menabraknya adalah Shaqilea. Ia mencoba menetralkan detak jantungnya agar tidak terlihat canggung ketika bersamanya.
“Yaudah, itu tinggal dua lagi kan, lo ambil sendiri aja yaa, gue buru-buru soalnya.”
Shaqilea bangkit lebih dulu dengan membawa makalahnya dan meninggalkan Gavin yang masih menumpukan kembali bukunya yang sempat berserakan.
Gavin terus memegang dadanya. “Jantung gue kenapa sih kalau dekat sama dia bawaannya kaya lari maraton,” celetuk Gavin.
Gavin berusaha mengabaikan kejadian tadi, dan melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Guru dan teman-temannya sudah menunggu.
⛲⛲⛲⛲⛲
Sial benar-benar sial, usaha yang dilakukan oleh Shaqilea tidak membuahkan hasil. Ketika makalah yang harus ia kumpulkan ternyata sebagiannya basah. Shaqilea ceroboh seharusnya ia lebih hati-hati lagi.
Pada pagi hari telah hujan deras dan sebagian koridor itu licin bekas hujan, dan tidak salah lagi makalahnya basah ketika bertabrakan dengan Gavin.
Dengan sangat berat hati Shaqilea dan Faeyza harus keluar dan tidak mengikuti pelajaran. Sesuai perjanjian mereka berdua juga harus membuat rangkuman dari kelas 10 serta tidak mengikuti pelajaran selama tiga pekan berturut-turut.
“Faey maafin gue ya jadinya lo ikutan di hukum,” mohon Shaqilea merasa bersalah.
“Ada juga gue yang harus minta maaf. Gue tledor nggak ngelakuin amanat dari lo,”
“Udahlah dari pada kita saling menyalahkan diri lebih baik kita ke perpus menyelesaikan tugas rangkuman itu,” saran Shaqilea.
“Gue sekali lagi minta maaf ya Sha.”
“Berhenti untuk menyalahkan diri karena memang kita berdua yang salah,” ujar Shaqilea.
Shaqilea berjalan mendahului menuju tempat perpustakaan yang di ikuti Faeyza di belakangnya.