Keberuntungan
Edsel dilanda insom kembali, di tambah dengan tubuh yang banyak memar, ketika di gerakanpun rasanya begitu perih. Di buka laci itu dan di ambilah sebuah botol yang berisi obat tidur.
Jam sudah menunjukan pukul 04:15 tapi ia sama sekali tidak bisa tidur. Diminumlah obat itu agar rasa kantuk segera datang. Hal semacam ini sering di alami oleh Edsel bahkan selain tidak minum obat,
ia menyelelundup keluar jendela untuk pergi clubbing.
Setengah jam berlalu akhirnya Edsel bisa tidur dengan nyenyak.
Jam berlalu begitu cepat saat itu jam menunjukkan pukul 06:45 namun tak ada tanda-tanda Edsel bangun.
Mamah Edsel mengetuk pintu tapi tak ada sahutan dari Edsel. Beruntungnya pintu tidak di kunci, sang Mamah pun langsung masuk.
“Astaga Edsel ini udah siang,”
“Mmzzt.....,”
“Edsel banguuunnn....” Edsel hanya menggeliat kecil.
“Bangun atau Mamah siram!” Sang Mamah menarik paksa tangan Edsel.
“Edsel sekolah.....” teriak sang Mamah.
Mata itu terasa sangat berat untuk Edsel membukanya. Efek obat itu begitu kuat padanya.
“Edsel.......” sang Mamah menarik paksa Edsel untuk bangun.
Dengan mata yang setengah menutup Edsel berjalan menuju kamar mandi. Sang Mamah keluar kamar ketika Edsel sudah menyalakan showernya.
Tidak butuh waktu lama untuk Edsel mandi, setelah selesai mandi Edsel melilitkan handuknya untuk menutupi bagian bawahnya. Ia keluar dan mengambil serta memakai seragamnya.
Ia ikat dasi itu sembarangan, dengan tangannya yang begitu lemah ia menyisir rambut.
“Hoammm... Gila gue masih ngantuk banget,”
Edsel mengucek kembali matanya, melebarkan pupil matanya dan menguap kembali. Edsel menyambar tasnya, berjalan keluar kamar dengan sempoyangan karena menahan kantuk.
“Pagi Mah,” sapa Edsel.
“Sarapan dulu Sel, Mamah udah siapin.”
Edsel meminum susunya dan memakan roti yang sudah di siapkan oleh sang Mamah.
“Hoammm....” Edsel menguap kembali.
“Kalau masih ngantuk nggak usah sekolah tidur aja sana!”
“Ya tadi, nggak usah di bangunin kali Mah.”
“Kamu tuh emang gak ada niatan buat sekolah ya Sel. Kebangetan kamu tuh,”
“Haduhhh salah lagi.. Udahlah Mah nggak usah ngomel-ngomel terus Edsel pergi dulu.”
Edsel berpamitan kepada Mamahnya. Berjalan menuju garasi mengambil motornya. Sepanjang perjalanan banyak u*****n - u*****n yang di berikan padanya di sebabkan dirinya yang mengendarai motornya dengan oleng. Semaksimal mungkin ia menjalankan motornya agar tidak oleng tapi tetap saja reaksi obat tidur itu yang masih begitu kuat.
Beruntung perjalanan menuju sekolahnya begitu renggang. Jam sudah melewati batas waktunya, secara otomatis pintu gerbang sudah di tutup dengan sempurna. Masalah ini tidak begitu rumit bagi Edsel karena ia akan melompat dari tembok belakang yang menghubungkan langsung dengan danau belakang sekolah.
Untuk motornya ia titipan di rumah kosong milik saudaranya Raegan berdekatan dengan sekolah. Rumah itu juga menjadi markasnya Edsel dan kawan-kawannya. Tempat perkumpulan sekaligus tempat bolos dan menjadi rumah kedua bagi mereka. Rumah itupun awalnya kumuh dan kotor namun di bersihkan dan di desain seunik mungkin oleh mereka.
Edsel melempar tas sembarangan lewat tembok yang akan ia naiki. Setelah terlempar tasnya ia pun mulai menaiki tembok itu. Ia sama sekali tidak takut jika nantinya harus bertemu dengan guru BK yang sedang keliling beroperasi.
Dengan begitu santai ia berjalan melewati lorong. Di perjalanan menuju kelasnya tidak di sangka ia bertemu dengan Shaqilea. Sebuah keberuntungan di pagi hari baginya.
“Hai..” sapaan itu tidak di balas oleh Shaqilea. Seperti biasa ia akan cuek padanya.
Ketika Shaqilea ingin melewatinya dengan segera Edsel menghadang. Tangannya ia keataskan menempel pada dinding dan kaki satunya ia silangkan.
Dengan smirk khas nya Edsel mencoba merayu Shaqilea “Sayang mau kemana? Gue anterin yukk,”
Shaqilea melipat tangannya di d**a menaikan satu alisnya, ia menghela nafas “Ternyata lo belum juga kapok ya?”
“Untuk masalah cinta nggak akan ada kapoknya. Iya kan iya kan,” balas Edsel dengan memainkan kedua alisnya.
“Dasar gila.”
Faeyza yang berada di samping Shaqilea pun sungguh tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Tapi Faeyza kenal betul sosok Edsel itu seperti apa dan entah kenal dari mana bisa-bisanya Shaqilea terlibat dengan Edsel. Shaqilea yang super pendiam dan jarang bersosialisasi itu bisa dekat dengan Edsel sosok yang sangat terkenal akan kenalakan di sekolahnya itu. Begitulah sekiranya pemikiran Faeyza.
“Eh brandal ngapain disini? Ngehalangin jalan kita tau gak sih lo,” ucap Faeyza dengan nada tidak sukanya.
“Mending lo diam! Gue nggak ada urusannya sama lo ya,” balas Edsel.
“Eh dengar ya! Lo tuh sadar nggak sih, lo tuh udah ngehalangin jalannya kita, b**o. Dasar biang kerok ribet banget jadi orang, udah Sha nggak usah ladenin dia. Minggir lo,” Faeyza menarik tangan Shaqilea dan menyenggol bahu Edsel untuk dapat melewatinya.
“Woyyyy Mak lampir, yang ada juga lo yang ribet. Lo tuh udah ngeribetin gue untuk dekat dengan Shaqilea,” Edsel tidak tinggal diam saja, ia memutar jalannya dan tidak jadi untuk berjalan menuju kelasnya. Saat hendak untuk melangkahkan kakinya untuk mengikuti Shaqilea. Telinganya terasa begitu ada yang menarik.
“Woahhh njir apa apan ini, telinga gue sakit woyy. Siapa sih yang berani narik telinga gue dah ahhhh....” ketika Edsel berbalik umpan itu berhenti dan berganti dengan senyuman bodohnya.
“Eh Pak Hari, gimana kabarnya Pak, Sehat?”
“Kamu pikir ini sekolah kamu yang bisa datang ke sekolah sesuka hati kamu. Lihat ini udah jam berapa?”
Edsel mengangkat tangan kirinya “Yah Pak, saya nggak pake jam Pak, jadi saya nggak tau kalau sekarang jam berapa,”
“Kamu ini banyak alesan, sudah sekarang kamu ikut saya,” Pak Hari terus mejewer telinganya.
“Ya ampun Pak kalau kaya begini terus telinga saya bisa putus loh Pak. Bapak mau gantiin telinga saya?”
“Kalau nggak kaya gini kamu bakalan kabur,”
“Ya ampun Pak, kita tuh nggak boleh suudzon.”
Tangan itu tidak sama sekali beralih dari telinganya meskipun tarikan itu sudah mengendur.
Di tarik hingga ke tengah kelapangan. Hukuman saat itu lumayan ringan hanya mengelilingi 10 kali putaran lapangan dan di lanjutkan dengan membantu petugas perpustakaan untuk membereskan serta merapihkan buku-buku yang baru datang pada pagi hari.
Seperti yang sudah di tugaskan oleh Pak Hari setelah mengelilingi lapangan, Edsel kini berjalan menuju perpustakaan untuk melanjutkan Hukumannya. Kala itu Dewi fortuna memihak padanya di saat yang bersamaan sosok Shaqilea kini tengah berada di sana.
Edsel berjalan memasuki ruang perpustakaan, disana sudah ada ibu Ani yang sudah menunggunya. Terlihat sudah ada banyak buku yang harus ia kerjakan untuk di tempatkan pada baris-baris rak yang ada disana.
“Kamukah yang bernama Edsel?”
“Iya Bu,”
“Tolong kamu tempatkan ini di bagian kiri paling pojok yang ada di sana!”
“Semuanya Bu?”
“Iya.. urutkan berdasarkan urutan yang sudah di tentukan disana!”
“Siyap Bu.....”
Ini pertama kalinya bagi Edsel mengunjungi perpustakaan dan itupun di sebabkan oleh hukumannya. Edsel tipikal orang yang anti dengan perpustakan. Karena baginya bau buku di perpustakaan itu sangat tidaklah enak.
Dengan membawa tumpukan buku yang ada di tangannya Edsel mulai melangkahkan kaki ke arah pojok bagian kiri.
Edsel menata buku-buku itu sesuai dengan petunjuknya. Setelah merapihkan buku Edsel mumatari rak untuk mencari Shaqilea.
“Hay... Sudah ku duga kita memang berjodoh. Buktinya kita di pertemukan lagi,” celetuk Edsel.
Shaqilea sedikit kaget tiba-tiba ada suara dari arah belakangnya. Ia pun berbalik dan mendapati sosok Edsel yang sedang tersenyum jail padanya.
Setelah menatap Edsel sebentar ia pun lanjut mencari kembali buku yang harus ia kerjakan. Buku itu berada di rak yang paling atas, ia pun berjingjit untuk mencoba meraihnya. Namun sayang, posisi buku itu jauh dan lebih tinggi darinya.
“Kalau nggak bisa kenapa nggak minta bantuan, kenapa gengsi? Terus aja gedein gengsi lo!” sindir Edsel
Edsel mengulurkan tangannya untuk meraih buku yang berada di atas rak sana. Dengan mudah tanpa berjingjit ia dapat mengambilnya.
“Nih,” Edsel menyerahkan buku itu pada Shaqilea.
“Makasih.”
Tinggi badan Shaqilea seukuran pundaknya Edsel. Jadi ingin Sekali rasanya Edsel memeluk tubuh mungil Shaqilea serta mengelus rambutnya. Tapi entah keinginan itu akan terwujud atau tidak. Di tambah Shaqilea yang selalu membenci dan selalu berusaha menghindarinya. Ia pun tidak tau apa kesalahan fatal yang telah dilakukannya, bila perkataan kemarin waktu di rooftop itu membuatnya sakit hati, ia akan minta maaf, itu hanya gertakan agar Shaqilea menjauhi Gavin.
Shaqilea berjalan melewati Edsel dengan buku yang di gengamnya. Edsel mengikuti di belakangnya.
Tersedia sederet meja dan kursi disana. Shaqilea menarik sebuah bangku, di ikuti oleh Edsel yang menarik bangku di sebelahnya.
“Mau gue bantuin nggak tugasnya ,” tawar Edsel.
Ucapan itu begitu keluar saja dari mulutnya, padahal ia sendiri tidak akan mampu mengerjakannya. Mengingat setiap tugas yang hanya menyentok pada Raegan ia tersenyum geli. Nilai Edsel selalu di bawah rata-rata lalu bagaimana cara ia akan membantunya. Ucapan itu hanyalah sekedar basa basi agar terlihat sedikit pintar di hadapan Shaqilea.
“Nggak perlu gue bisa sendiri, Kenapa Lo nggak masuk kelas?”
“Gue di hukum,” tuturnya.
“Sha, gue cariin ternyata lo disini. Lah Lo ngapain di sini?” tanya Faeyza pada Edsel.
“Lo nggak lihat gue lagi duduk,” jawab Edsel.
“Ya maksud gue lo ngapain disini, ya kali lo kesini buat belajar toh sekarang masih berlangsung jam pelajaran,”
“Nah lo tau, terus kenapa lo disini bukannya belajar di kelas,”
“Astaga gue nanya malah balik nanya, udahlah emosi gue lama-lama ngomong sama lo,”
“Ya udah.”
“Temen lo tuh emang rada-rada ya Sha,”
“Gue masih dengar ya,”
“Oh ya Sha, pulang sekolah bareng gue. Gue nggak terima penolakan! Dan ingat jangan coba kabur lagi.”
“Bohong Sha nggak usah dengerin dia, jangan mau pulang sama dia,”
“Eh upil kuda diam deh lo. Ngak usah ikut campur, lama-lama gue potong juga mulut lo,”
“Ingat nih ya Sha bel pulang sekolah gue udah di depan kelas lo!” gertak Edsel.
“Edsel kenapa kamu ngobrol disini! Bukannya menyelesaikan tugas hukuman kamu, sekarang kamu malah enak-enakan disini. Udah cepat selesaikan tugasnya,” suara itu berasal dari penjaga perpustakaan.
“Yee Ibu kaya nggak pernah ngalamin masa muda aja. Iyaa, iya ini aku kerjain sekarang.”
“Gue gak pernah main-main sama ucapan gue ya Sha.”
Setelah mengucapkan kalimat itu Edsel kembali mengerjakan hukumannya. Ia terus mondar mandir menata buku-buku pada barisan rak-rak yang ada disana.
“Sha mending lo jangan deket deket sama dia, lo pan tau sendiri dia itu pentolan anak sekolah yang selalu bikin rusuh,”
“Udah ya Faey gak usah di bahas, gue nggak bisa konsen kalau lo terus-terusan ngomong kaya gini,”
“Tapi lo harus janji sama gue untuk tidak dekat dengan tuh cowok rese!”
“Iya Faey, gue ngerti.”
Shaqilea membaca buku serta menulis bagian penting yang ia baca, begitupun dengan Faeyza.
Di sela-sela kesibukan menata buku-buku itu Edsel masih terus mengambil kesempatan untuk menatap Shaqilea meskipun berkali-kali juga mendapat teguran dari sang penjaga perpustakaan.
“Lo cantik banget kalau lagi serius begini Sha,” batin Edsel.