bab 9

2263 Words
"Nduk, kamu kok bawa kerupuk banyak? itu di keranjang juga masih ada loh buat Simbok jual besok," kata Mbok Nah saat menyambut sang cucu yang baru saja pulang dari berjualan sambil membawa satu kantung plastik besar berisi sepuluh bungkus kerupuk udang pesanan Samuel. "Ini bukan buat Simbok jualan, ini kerupuk pesenan Pak Samuel, bos di tempat Jenar magang, Mbok," jawab Jenar sambil menaruh kantung plastik transparan yang ia bawa dengan hati-hati di atas meja, Jenar tidak ingin kerupuk itu hancur. "Kamu jualan di kantor? apa enggak apa-apa, Nduk?" tanya Mbok Nah sambil mendekati sang cucu. "Jenar enggak jualan Mbok, tapi Bos Jenar yang pesen ini buat istrinya. Istrinya Pak Samuel itu pernah beli kerupuk udang Jenar di lampu merah terus istrinya Pak Samuel itu ketahuan jadi Pak Samuel pesen kerupuk ini," jelas Jenar melihat sang nenek khawatir takut Jenar kena marah karena berjualan di kantor. "Oh, begitu. Simbok cuma takut kalau kamu di marahin karena jualan di kantor," kata Mbok Nah yang merasa lega karena ternyata Jenar membawa kerupuk atas pesanan bosnya. "Simbok lagi mau apa, biar Jenar bantuin," kata Jenar yang sudah hapal jadwal sang nenek yang biasanya sedang menyiapkan berbagai bahan masakan yang akan wanita itu masak untuk berjualan keesokan paginya. "Semua sudah selesai, ayok kita tidur aja," jawab Mbok Nah, wanita itu mengapit lengan sang cucu dan mengajak gadis cantik itu ke bagian belakang rumah di mana kamar mereka berada, sejak kecil Jenar memang selalu tidur satu kamar dengan sang nenek tercinta, satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini. "Ayo, tapi Jenar cuci kaki dan cuci muka dulu, ya," jawab Jenar, gadis itu berpisah dengan sang nenek di dekat dapur. Jenar ke kamar mandi dan sang nenek masuk ke kamar mereka. Mereka harus segera beristirahat karena pukul tiga dini hari keduanya sudah harus bangun untuk memasak nasi dan beraneka lauknya untuk mereka jual di depan rumah, sebelum berangkat sekolah atau sekarang ke kantor tempatnya magang tugas Jenar adalah menggoreng tempe, tahu dan bakwan yang akan mereka jual. Seperti itu lah kehidupan Jenar, terus berulang setiap hari sejak gadis itu kecil. Tidak banyak yang berubah selain hutang sang nenek yang semakin banyak seiring dirinya yang tumbuh besar dan otomatis kebutuhan hidup dan pendidikannya juga semakin membesar. Namun, beruntungnya semangat juang Jenar dan Mbok Nah juga tidak kalah besarnya. *** Jenar turun dari angkot yang dia naiki, pagi ini sedikit merepotkan karena gadis itu harus menjaga kerupuk udang yang di bawanya agar tidak hancur terdesak penumpang lain di dalam angkot itu tetapi Jenar tetap dengan gembira menjalaninya karena selain ini adalah rejeki untuknya, Jenar juga bahagia karena istri dari bosnya menyukai kerupuk dagangannya dan ada kemungkinan kalau ia akan menerima pesanan lagi suatu saat nanti. Gadis itu harus berjalan melewati dua gedung lain sebelum ke gedung kantor Samuel dari lampu merah tempatnya turun dari angkot, sebenarnya akan lebih cepat dan tidak melelahkan jika gadis itu naik becak atau ojek ke sana tetapi Jenar tahu kalau dia harus mengirit ongkos. Apalagi gadis itu kini selalu berangkat lebih pagi agar tidak terlambat seperti janjinya pada Samuel, walaupun untuk berangkat lebih pagi Jenar harus meninggalkan beberapa potong tempe dan tahu yang belum dia goreng, itu artinya Jenar membuat Mbok Nah lebih kerepotan di warungnya. Tidak tega sebenarnya tetapi Mbok Nah menasihati kalau kedisiplinan adalah hal terpenting dalam bekerja. Jenar tetap tersenyum setiap kali berpapasan dengan orang lain ketika ia memasuki gedung tempatnya bekerja, tidak ia ambil pusing orang-orang yang menatapnya aneh karena membawa kantung plastik transparan berisi kerupuk udang di bahunya seperti setiap kali dia berjualan di lampu merah. "Heh, Jenar!" gadis itu berhenti melangkah saat mendengar suara Rita dengan lantang memanggilnya, Jenar menoleh dan tersenyum melihat Rita berjalan mendekat dengan Ayu teman mereka. Sepertinya mereka datang bersamaan dengan berboncengan sepeda motor seperti biasanya dan saat itu Jenar belum melihat kedatangan Dewi. "Rita, Ayu, kalian baru dateng juga?" tanya Jenar dengan begitu ramah. "Iya, kamu juga baru datang?" tanya Ayu juga dengan ramah, Rita malah meliriknya sambil berdecak sebal. Di antara Ayu dan Dewi hanya Ayu yang bersikap plin-plan atau lebih tepatnya tidak pernah memihak pada Rita atau pun Jenar berbeda dengan Dewi yang selalu membela Jenar. "Iya, ayo kita naik," ajak Jenar pada mereka berdua karena kantor Samuel memang berada di lantai tiga, ayu mengangguk lalu bersiap mengikuti langkah Jenar. "Tunggu dulu!" kata Rita cepat membuat kedua temannya itu urung melangkah dan menatapnya, "kamu ngapain ke sini bawa-bawa kerupuk begitu?" "Oh, ini—." "Jenar, kantor ini bukan lampu merah tempat kamu jualan ya!" Tidak memberikan kesempatan bagi Jenar untuk menjawab pertanyaannya Rita langsung mengomel dengan ketus, "kamu enggak bisa seenaknya aja jualan di sini, kamu tuh bikin malu sekolahan kita tau enggak!" "Kenapa harus malu?" Suara seorang lelaki membuat ketiganya menoleh ke arah yang sama, Samuel berdiri tidak begitu jauh dari mereka di belakang Samuel berdiri Dewi yang baru datang gadis itu langsung mendekati Jenar dan menggandeng tangannya seolah pasang badan untuk membela dari Rita. Rita hanya diam kikuk tidak berani menjawab pertanyaan Samuel. "Berjualan itu pekerjaan baik, kenapa harus malu. Yang seharusnya malu itu adalah orang yang dengan begitu mudah menganggap remeh orang lain," sambung Samuel sambil menatap Rita yang lalu menundukkan kepalanya tidak berani menatap Samuel, Jenar dan Ayu hanya diam sedangkan Dewi menahan tawa melihat wajah Rita yang memucat. "Jenar, kamu bawa kerupuk pesanan saya ini ke ruangan saya," titah Samuel dengan suara tegasnya, Rita spontan membelalakkan mata mendengar ucapan Samuel yang sudah melangkah meninggalkan mereka. "Iya, Pak," jawab Jenar meski Samuel sudah berlalu, Jenar yakin kalau lelaki itu masih bisa mendengar suaranya. "Makanya jangan julid jadi orang!" sembur Dewi pada Rita yang hanya melirik sinis pada mereka berdua. "Udah, Wi," kata Jenar yang justru selalu merasa tidak enak jika Dewi membelanya, gadis itu menggandeng tangan Dewi mengajak sang sahabat untuk berjalan menuju lift yang akan mengantarkan mereka ke atas, Samuel sudah tidak lagi terlihat setelah memasuki lift itu. "Kamu itu jangan terlalu lemah, orang kayak Rita harus kamu lawan biar enggak semena-mena terus sama kamu," bisik Rita sambil berjalan menuju lift bergandengan dengan Jenar yang masih membawa Kantung plastik berisi kerupuk sedangkan Rita dan Ayu berjalan di belakang mereka. Rita dan Ayu hanya diam dengan pikirannya masing-masing, Ayu sibuk memikirkan pekerjaan yang harus ia kerjakan setelah ini sedangkan Rita sibuk merutuk dalam hati, gadis itu begitu kesal dan malu karena Samuel membela Jenar dan mempermalukan dirinya di depan teman-temannya juga banyak orang yang berada di lobi tadi meskipun banyak juga yang tidak memperhatikan mereka. Jenar malah tertawa kecil mendengar apa yang Dewi katakan lalu menjawab, "enggak semena-mena juga, Wi, mungkin maksudnya dia juga baik mau nesehatin aku buat enggak kena marah." "Ya ampun Jenar, kamu itu terlalu naif. Ngeselin deh lama-lama!" kata Dewi gemas pada kepolosan pikiran sang sahabat, Jenar hanya tersenyum lalu merangkul bahu Dewi yang masih menggelengkan kepalanya heran. Rita melirik sinis pada mereka. Pintu lift terbuka dan mereka memasukinya ada tiga orang lain yang masuk bersama mereka hingga lift itu sedikit penuh, Jenar dan Dewi berdiri di dekat pintu dengan Ayu dan Rita tetap di belakang mereka, tiga orang lainnya berada di sudut dalam. "Pak Samuel pesen kerupuk berapa?" tanya Dewi yang sudah tidak ingin membicarakan tentang Rita lagi, gadis itu malas karena pasti Jenar akan tetap dengan pikiran positifnya. "Sepuluh bungkus, kata Pak Samuel istrinya suka banget kerupuk udang makanya pesan banyak," jawab Jenar dengan raut wajah dan nada bicara yang begitu bahagia, Rita yang berdiri di sebelah Ayu memutar bola matanya jengah sedangkan Ayu tampak serius membaca pesan di ponselnya. "Wah, kok bisa istrinya Pak Samuel tau kamu jualan kerupuk?" tanya Dewi penasaran. Belum sempat Jenar menjawab pertanyaan sang sahabat suara dentingan lift terdengar tanda pintu akan segera terbuka dan mereka harus turun, tetapi yang terjadi kemudian adalah tubuh Ayu yang terhuyung dan menabrak Jenar hingga Jenar nyaris terjatuh jika saja Dewi tidak sigap memegang lengannya, pekikan Dewi dan Jenar terdengar di sertai suara renyah kerupuk yang beretakan. "Aku duluan, ya, buru-buru!" kata Rita yang berjalan terburu-buru setelah menabrak tubuh Ayu dengan keras hingga gadis itu menabrak tubuh Jenar. Sengaja. Ketiga gadis itu heboh seketika menjadi tontonan tiga orang lainnya. "Jenar, maafin aku. Aku di dorong Rita yang mau keluar tadi," kata Ayu yang terlihat begitu kaget juga merasa bersalah. "Kurang ajar emang si Rita! aku bilang apa Nar, dia itu harus di kasih pelajaran sekali-kali!" omel Dewi sambil menarik Jenar keluar dari lift. "Yah, kerupuk udang Pak Samuel remuk!" keluh Jenar terlihat begitu sedih sambil menatap kantung plastik yang di pegangnya, hancur sebagian. "Iya dan itu gara-gara Rita, kamu harus marahin dia. kalau kamu enggak bisa biar aku aja!" kata Dewi penuh emosi sedangkan ayu hanya diam dengan kebingungannya, gadis itu memang seperti itu kadang ikut kesal karena tingkah Rita tapi kadang dapat dengan mudah masuk dalam bujuk rayu Rita untuk memusuhi mereka berdua. "Jenar, kamu enggak marah sama aku kan?" tanya Ayu dengan rasa takutnya, Dewi hanya berdecak kesal, bukan kesal pada ayu tetapi kesal pada ulah Rita. "Iya, ini bukan salah kamu, enggak apa-apa," jawab Jenar sambil mengelus lengan Ayu, gadis itu tersenyum lega, "Rita juga mungkin enggak sengaja dorong kamu." "Kamu masih mikir dia enggak sengaja?" tanya Dewi nyaris berteriak karena gemas dengan kepolosan Jenar, "dia itu sengaja Jenar, biar aku aja yang marahin dia!" "Wi, Dewi!" Jenar mengejar Dewi lalu memegang tangannya untuk menahan gadis itu, "nanti aja kita omongin baik-baik, kamu jangan berantem-berantem nanti kita malah kena masalah. inget kita lagi magang di sini." Dewi mendengus kesal tetapi merasa apa yang Jenar katakan itu benar, ia tidak boleh membuat keributan meski Rita yang memulai perang. "Ya udah ayo absen," kata Dewi mengalah, kedua temannya mengikuti memasuki kantor. Jenar berjalan sambil menatap kerupuk udang yang sudah hancur di tangannya dan sibuk memikirkan apa yang harus ia katakan pada Samuel nanti, Jenar sedih karena istri Samuel pasti akan kecewa nanti. *** "Pak," sapa Jenar dengan suara sedikit bergetar sesaat setelah memasuki ruangan Samuel. Lelaki yang tengah berdiri menghadap jendela itu menatapnya, sedikit mengerutkan kening melihat Jenar menunduk sambil memegang kantung plastik berisi kerupuknya. "Kamu, taruh aja kerupuk itu di meja sana," pinta Samuel yang tengah memegang sebuah map yang sedang di bacanya, lelaki itu menunjuk sebuah meja kecil yang ada di sudut ruangan seraya berjalan menuju meja kerjanya. "Pak, saya minta Maaf. minta maaf, sekali. Saya pasti bikin istri bapak kecewa," kata Jenar yang masih berada di tempat berdirinya, Samuel bingung mendengar ucapan gadis itu. "Kenapa?" tanya Samuel singkat. Jenar mengangkat kerupuk yang di pegangnya menunjukkan bagian remuk itu padanya. "Saya sudah berusaha menjaga kerupuk udang ini tetap utuh tapi akhirnya kerupuk ini hancur juga," kata Jenar penuh sesal, gadis itu bahkan begitu terlihat menahan tangisnya, Samuel berjalan mendekat setelah mengambil sesuatu di laci mejanya. "Kenapa, tadi saya lihat di lobi kerupuk ini masih utuh," tanya Samuel sambil menatap sebagian kerupuk yang hancur karena tertindih berat tubuh Jenar tadi. "Tadi waktu lift saya enggak sengaja kepleset terus kena kerupuk," jawab Jenar, Samuel hanya diam memikirkan sejak kapan lantai lift itu licin hingga Jenar bisa terpeleset. "Pak, gimana kalau sekarang bapak ambil aja kerupuk yang utuh terus kerupuk yang hancur saya ganti besok?" tanya Jenar yang baru saja terpikirkan ide itu, sebagai seorang pedangan Jenar tidak ingin pembelinya kecewa. "Coba saya liat," pinta Samuel, lelaki itu mengulurkan tangannya, agak ragu tetapi kemudian Jenar memberikan kerupuk udang yang di pegangnya pada Samuel, lelaki itu memutar-mutar kantung plastik yang ia pegang untuk melihat ke semua sisinya, Jenar hanya diam mengamati. "Enggak terlalu hancur, masih bisa di makan, saya ambil semuanya," kata Samuel setelah melakukan pengamatan. "Jangan, Pak, nanti istri Bapak bisa kecewa," kata Jenar tetap dengan rasa bersalahnya. "Dia akan lebih kecewa kalau saya bawa kerupuk udangnya cuma dikit, saya kan udah bilang mau bawain dia kerupuk udang yang banyak," jawab Samuel tegas, "udah kamu enggak usah mikirin kerupuk udang ini lagi, sana kamu fokus kerja aja." "I—iya, pak. sekali lagi maafin saya," jawab Jenar, alih-alih lega gadis itu tetap merasa bersalah. "Pak gimana kalo harganya saya potong karena kerupuk itu enggak sempurna," kata Jenar penuh semangat, gadis itu bergegas mengambil uang dari dalam tasnya untuk memberikan kembalian pada Samuel. "Enggak ada yang sempurna di dunia ini Jenar, tapi niat baik kamu sangat saya hargai. Justru saya yang akan memberikan ini buat kamu," kata Samuel sambil mengulurkan uang seratus ribuan lagi pada Jenar. Gadis itu menatap tangan Samuel dengan bingung lalu memberanikan diri menatap wajah Samuel. "Untuk apa?" tanya Jenar bingung. "Untuk kerja ekstra kamu membawa kerupuk ini ke sini," jawab Samuel, Jenar tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak perlu, Pak. Saya sudah mendapat keuntungan dari berjualan kerupuk, apalagi saya tidak bisa menjaga kerupuk itu dengan baik sampai ke tangan Bapak. Saya tidak berhak untuk uang itu. Saya sudah sangat berterima kasih karena Bapak mau tetap membeli kerupuk saya walau sudah hancur," jawab Jenar dengan begitu sopan, Samuel hanya diam mendengar jawaban itu. "Ya sudah kalau begitu ambil uang ini dan bawakan saya sepuluh bungkus kerupuk udang lagi besok," kata Samuel sambil tersenyum, Jenar juga ikut tersenyum mendengarnya. "Beneran, Pak?" tanya Jenar tidak percaya, Samuel menganggukan kepala sambil tersenyum. "Iya, Pak, saya janji besok kerupuk itu akan sampai ke tangan Bapak dengan baik. Tidak akan hancur lagi," kata Jenar yakin, gadis itu mengambil uang yang Samuel ulurkan, "saya permisi dulu." Jenar menghela napas lega lalu keluar dari ruangan Samuel dengan senyum lebarnya. "Jenar, Pak Samuel marah?" tanya Dewi yang sepertinya sengaja menunggu Jenar keluar dari ruangan Samuel. Jenar tersenyum gembira sambil menunjukan uang yang baru saja ia terima dari Samuel. "Enggak, Pak Samuel malah pesen kerupuk lagi," jawab Jenar, Dewi ikut tersenyum gembira lalu merangkul Jenar dan mereka berjalan bersama tidak memperdulikan seorang gadis yang sedari tadi memperhatikan mereka sambil cemberut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD