bab 8

1608 Words
"Loh, Bapak panggil saya ke sini bukan mau minta uang kembalian bayar taksi kemarin? Kan setelah aku pikir-pikir bapak ngasih saya uang buat ongkos naik taksi tapi saya rasa naik taksi ke rumah saya juga enggak mungkin seratus ribu, jadi saya pikir Bapak mau minta kembaliannya," jawab Jenar lirih, gadis itu lemas memikirkan jika Samuel benar-benar meminta uang itu, awalnya Jenar tidak ambil pusing karena menurutnya pasti Samuel memberikan semua yang itu padanya tetapi setelah mendengar Samuel memangilnya Jenar jadi kepikiran tentang uang itu lagi. Samuel malah menggelengkan kepalanya karena heran bisa-bisanya Jenar kepikiran hal itu. "Uang itu kan memang buat kamu naik taksi, jadi kamu enggak perlu kasih kembaliannya sama saya. Emang berapa jumlah kembaliannya?" tanya Samuel sengaja ingin tahu karena tertarik dengan ucapan Jenar tadi dan ia memancing agar Jenar menceritakan apa maksud ucapannya tadi, Jenar menggeleng pelan mendengar pertanyaan Samuel tentang kembalian ongkos taksinya. "Kok malah geleng-geleng?" tanya Samuel lagi, Jenar memberanikan diri untuk menatap lelaki yang duduk tenang di kursinya itu sedangkan Jenar berdiri sekitar satu meter jaraknya dari meja kerja Samuel. "Saya enggak tau, Pak. Karena kemarin saya enggak naik taksi, saya pulang naik angkot dan uang itu saya berikan pada nenek saya," jawab Jenar apa adanya, Samuel mengerutkan kening sambil menatap gadis itu lebih lekat. "Kenapa? Bukannya dengan uang itu kamu bisa pulang dengan lebih nyaman naik taksi, kalau kamu di gangguin preman-preman itu lagi gimana?" tanya Samuel lagi, Jenar menghela napas dengan begitu pelan dan berusaha menjelaskan dengan tenang. "Karena saya tau kalau simbok lebih membutuhkan uang itu, Pak. Saya memang takut di ganggu preman itu lagi, tapi saya berusaha hati-hati dan sembunyi dari mereka waktu nunggu angkot. Maafkan saya, Pak," terang Jenar yang terlihat begitu hati-hati menjelaskan pada Samuel. "Kenapa kamu harus minta maaf kepada saya? itu kan uang kamu jadi kamu bebas melakukan apa saja dengan uang itu," jawab Samuel dengan santai, Jenar malah menatap Samuel dengan bingung. "Terus, Bapak panggil saya ke sini buat apa? Bukan buat minta uang kembalian ongkos taksi?" tanya Jenar sambil menatap Samuel dengan wajah polosnya, Samuel jadi tertawa kecil karenanya. "Siapa nama kamu?" tanya Samuel, Jenar terbengong karena merasa sudah dua kali memperkenalkan diri pada lelaki itu. Jenar tidak menyangka kalau seorang bos yang pastinya pintar dan terpelajar seperti Samuel begitu mudah lupa, tetapi kemudian gadis itu sadar kalau wajar saja seorang bos tidak akan mengingat apapun tentang pegawai kecil seperti dia apalagi dirinya hanya magang di kantornya. "Jenar, Pak," jawab Jenar menyebut namanya sambil menatap singkat lelaki itu. "Oh, iya, Jenar. Nama uang bagus, khas gadis Jawa," kata Samuel, Jenar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala segan. "Jadi, buat apa Bapak panggil saya? Saya melakukan kesalahan kerja kemarin, atau kemarinnya lagi? Atau karena saya selalu datang terlambat? Tapi hari ini saya tidak datang terlambat, Pak," kata Jenar cepat tanpa jeda membuat Samuel kembali menggelengkan kepalanya, Jenar kembali diam dan menundukkan kepala. Kadang rasa semangatnya membuat dia lupa kalau sedang bicara dengan seorang bos besar. "Saya panggil kamu ke sini karena permintaan istri saya," jawab Samuel santai, tetapi ucapan itu spontan membuat Jenar mengangkat kepala dan menatap Samuel dengan wajah bingung dan tanda tanya besar mengembang di benaknya. "Istri Bapak? Kok istri Bapak tau saya?" tanya Jenar heran, gadis itu terlihat begitu penasaran hingga tanpa sadar berjalan mendekat dan memegang sandaran kursi yang ada di depan meja kerja Samuel, lelaki itu sampai menahan tawa melihat raut wajah Jenar. "Kalau kamu mau duduk, duduk aja," kata Samuel sambil menahan senyum melihat Jenar begitu gugup hingga meremas sandaran kursi yang ia pegang, menyadari hal itu Jenar langsung melepaskan tangannya dari sandaran kursi itu. "Enggak kok, Pak, enggak. Saya berdiri saja," jawab Jenar cepat, gadis itu menggelengkan kepala hingga rambutnya sedikit bergoyang. "Jadi, waktu itu saya sama istri saya berhenti di lampu merah tempat kamu jualan. Istri saya beli kerupuk sama kamu dua bungkus, terus saya bilang sama dia kalau kamu anak magang di kantor ini," terang Samuel, Jenar masih diam mendengarkan sambil mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Terus semalem istri saya minta saya buat pesen kerupuk udang dagangan kamu itu karena kata dia kerupuk itu enak. Makanya saya panggil kamu ke sini, saya mau pesan kerupuk," sambung Samuel mengutarakan maksud hatinya memangil Jenar ke ruangannya, spontan Jenar tersenyum lebar karena senang mendengar istri Samuel menyukai kerupuknya dan hendak memesan lagi, tetapi gadis itu juga merasa malu karena sempet salah sangka tadi. "Beneran Pak, istri bapak suka kerupuk dagangan saya?" tanya Jenar dengan gembira, Samuel menganggukkan kepalanya. "Iya, besok pagi kamu bawa kerupuk pesanan saya itu ke sini, kamu bisa?" tanya Samuel seperti apa yang Meisya inginkan. "Bisa, Pak. Bisa banget, Bapak mau pesen berapa kerupuknya?" Jenar benar-benar bersemangat hingga dia meremas sandaran kursi lagi tanpa sadar, hanya saja kali ini gadis itu menatap Samuel dengan wajah penuh raut kegembiraan. "Saya pesan sepuluh bungkus," jawab Samuel yakin, bukankah lelaki itu berkata akan membawakan kerupuk udang sebanyak satu karung. Jika saja Meisya tidak melarang pasti Samuel benar-benar akan memesan satu karung kerupuk pada Jenar. "Baik, pak, besok pagi saya datang sambil membawa sepuluh bungkus kerupuk udang untuk istri Bapak," jawab Jenar dengan begitu sigap. "Berapa harga kerupuk udang kamu?" tanya Samuel sambil menatap wajah Jenar, wajah yang sungguh terlihat berbeda dengan wajah ketakutan yang ia lihat kemarin sore. "Sepuluh ribu satu bungkus, Pak," jawab Jenar, Samuel hanya diam lalu membuka laci yang ada di meja di hadapannya, lelaki itu mengambil satu lembar uang merah muda lalu mengulurkannya pada Jenar. "Ini untuk sepuluh bungkus kerupuk udang pesanan saya," kata Samuel sambil mengulurkan uang itu pada Jenar. "Bayarnya besok aja, Pak. kalau kerupuknya sudah ada," kata Jenar cepat, Samuel malah menghela napas cepat. "Sekarang saja, takutnya besok saya lupa atau saja ada urusan jadi saya enggak bisa ke kantor," kata Samuel, Jenar mengangguk paham lalu mengambil uang itu dari tangan Samuel sambil tersenyum lebar. "Iya, Pak, terima kasih. Besok saya pasti bawa kerupuk udang spesial buat istri bapak," jawab Jenar sambil memegang uang itu menatapnya sekilas dengan senyum mengembang sempurna lalu menatap Samuel. "Saya permisi dulu." "Iya, silakan lanjutkan pekerjaan kamu," jawab Samuel, lelaki itu masih tersenyum menatap Jenar yang berjalan sopan hendak meninggalkan ruangannya. Jenar menatap uang pecahan bernilai paling besar itu sambil tersenyum, ia begitu bahagia karena lima belas persen dari jumlah uang itu akan menjadi hak miliknya dari hasil penjualan kerupuk, meskipun bukan jumlah uang yang banyak tetapi Jenar begitu bersyukur karena biasanya Jenar harus bersusah payah menawarkan dagangannya di lampu merah untuk mendapatkan keuntungan itu, dengan senyum yang masih menghiasi wajah cantiknya Jenar memasukkan uang itu ke dalam saku kemejanya. "Jenar," panggil Samuel membuat Jenar yang sudah siap keluar dari ruangan Samuel menghentikan langkahnya, "benerkan nama kamu Jenar." "Iya, Pak, ada yang perlu saya bantu lagi?" tanya Jenar yang sudah siap kembali memasuki ruangan di mana sekarang dia berada di ambang pintunya. "Tolong ke pantry dan minta Mbak Ning untuk membuatkan saya kopi," pinta Samuel, Jenar mengurungkan niatnya memasuki ruangan itu lagi karena sudah tahu tugas apa yang Samuel berikan untuknya. "Iya, Pak," jawab Jenar patuh, Samuel hanya tersenyum tipis lalu terlihat menatap layar komputernya, tidak lagi menatap Jenar yang lalu menutup pintu ruangan Samuel. Jenar hanya tersenyum, sambil mengangguk canggung pada Reza yang juga hanya sekilas menatapnya pemuda itu bahkan sama sekali tidak membalas senyum Jenar. "Hey, Jenar. Ada apa Pak Samuel panggil kamu?" tanya Dewi setengah berbisik saat melihat Jenar berjalan dari ruangan Samuel melewati kubikel tempatnya berada, raut wajah gembira Jenar membuat gadis itu semakin merasa penasaran. Begitu juga Rita, teman mereka yang berada di kubikel lain. Tempatnya yang tepat berada di sebelah kubikel Dewi membuatnya dapat mendengar dengan jelas apa yang Jenar dan Dewi bicarakan. "Aku dapet rejeki nomplok," jawab Jenar sambil tersenyum bahagia, tidak ingin di anggap melalaikan tugas dan hanya menghabiskan waktu untuk mengobrol Jenar kembali melanjutkan langkahnya. "Heh, rejeki nomplok apa?" tanya Dewi dengan suara yang ia tahan lirih, tetapi rasa penasarannya membuat ia ingin Jenar tetap tinggal dan menceritakan padanya. "Pokoknya rejeki nomplok, nanti aku ceritain, Pak Samuel minta kopi," Jawab Jenar, gadis itu lalu kembali melangkah menuju pantry dengan senyum manis menghiasi wajah langkah gadis itu juga terlihat begitu ringan dan ceria. Dengan lirikan sinis Rita mengikuti gadis itu dengan tatapannya. "Dasar tukang cari muka, entah apa yang dia lakukan sama Pak Samuel!" gerutu Rita dengan begitu ketus, gadis itu memang tidak begitu menyukai Jenar. Rita yang juga gadis pintar selalu menganggap Jenar sebagai saingannya berbanding terbalik dengan Jenar yang sedikit pun tidak pernah berpikiran demikian pada siapa pun. "Maksud kamu apa, Rita?" tanya Dewi yang mendengar ucapan Rita dengan jelas, yang di tanya hanya memutar bola mata malas karena tahu kalau Dewi pasti akan membela Jenar. "Maksud kamu apa ngomong begitu tentang Jenar?" Lagi, Dewi mengulangi pertanyaannya pada Rita yang lalu menatap Dewi dengan kesal dari balik kubikelnya. "Diantara kita berempat, siapa yang udah pernah masuk ruangan Bos? cuma Jenar kan! padahal Jenar itu punya posisi apa sih, sama aja kan kayak kita." Dewi hanya diam mendengar ucapan Rita. "sekarang kamu liat sendiri Jenar begitu bahagia keluar dari ruangan Bos, terus bilang dapet rejeki nomplok, rejeki nomplok apa coba kalau bukan dia yang nemplok sama bos demi rejeki itu." Kedua mata Dewi mendelik mendengar apa yang Rita katakan tentang sahabatnya karena tahu kalau Jenar bukan tipe gadis seperti itu. "Jangan ngomong sembarangan kamu Rita," kata Dewi penuh penekanan tetapi Rita hanya membalasnya dengan tatapan meremehkan. "Kita lihat aja, kalau pihak sekolah tau tentang hal ini apa Jenar masih bisa dapet beasiswa," kata Rita dengan nada ancaman, wajah antagonisnya begitu terlihat nyata saat melirik ke arah ke mana Jenar pergi tadi. "Jangan macem-macem kamu Rit," kata Dewi memberi peringatan tetapi lagi-lagi Rita hanya melirik sinis pada Dewi dengan lirikan meremehkan. Dewi menggelengkan kepala heran karena buruknya perangai temannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD