Bab 1
"Lantai tiga, blok A."
Jawaban yang seorang resepsionis cantik berikan membuat seorang gadis remaja yang mengenakan setelan rok abu-abu dan kemeja putih segera berlari mendekati lift yang pintunya hampir tertutup rapat.
"Tunggu. Tunggu ...." Serunya berharap seseorang di dalam lift menahan pintu agar ia bisa masuk, harapannya tidak sia-sia, sebuah tangan menahan pintu hingga kembali terbuka, dengan langkah cepat gadis manis berambut panjang sebahu itu masuk.
Hanya ada seorang lelaki di dalam lift, lelaki itu menatap sang gadis bertanya dengan tatapan saat tangannya hendak menekan tombol yang berderet di dekat pintu agar alat itu tahu di lantai berapa pintunya akan terbuka.
"Lantai tiga," jawab gadis itu gugup, bukan hanya karena hari ini dirinya akan menjalani kegiatan baru tetapi juga karena rasa lelah yang masih terasa karena dirinya yang berlari memburu waktu tadi.
Setelah menekan angka tiga dan membuat tombol itu menyala sang lelaki menatap gadis itu kembali. "Magang?"
Mengangguk kecil karena rasa gugup gadis itu menjawab, "iya."
Ting.
Suara yang terdengar sebelum pintu lift terbuka, gadis itu batal melangkah meski ia sudah berancang-ancang untuk melangkah dengan cepat karena tubuhnya menabrak lelaki yang juga sudah melangkah untuk keluar.
"Mm ... maaf, Pak. Maaf." Tidak ada jawaban, laki-laki itu memutuskan untuk keluar lebih dulu.
Gadis manis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari petunjuk di mana dirinya bisa menemukan blok A, tidak ia hiraukan lelaki yang bersamanya di dalam lift tadi yang telah mendahuluinya bersama seorang lelaki lain yang menyambutnya, mereka berjalan menuju ruang perkantoran sambil membicarakan sesuatu dengan serius.
"Jenar!" Suara gadis lain terdengar membuat seseorang yang dipanggil langsung menoleh dan berlari kecil menuju ketiga temannya yang masih menunggu.
"Kamu lama banget, sih! Kita jadi telat gara-gara kamu!" sembur salah seorang dari mereka, karena mereka memang sudah agak lama menunggu.
"Maaf, kalian belum masuk?" tanya Jenar dengan rasa bersalah menggelangi hati.
"Belum, 'kan, kita harus bareng," jawab gadis bertubuh mungil yang langsung menggandeng tangan Jenar, berusaha membesarkan hati sang sahabat agar tidak terus merasa bersalah.
"Ayo kita cari ruang HRD," ajak gadis lain yang sedari tadi tidak bersuara, ketiga temannya mengikuti.
* Dita Andriyani *
Hampir setiap tahun setidaknya akan ada waktu selama kurang lebih tiga bulan di kantor itu, diisi oleh siswa dan siswi mangang dari sebuah sekolah menengah kejuruan. Sebenarnya hanya untuk sebuah formalitas saja, juga untuk menjalin hubungan baik antara pemilik perusahaan dan Kemendikbud setempat. Juga karena hubungan baik antara pemilik anak perusahaan dan ayah dari sang sahabat.
Tahun ini seperti biasanya kantor itu kedatangan para siswa sekolah menengah kejuruan yang akan melakukan praktek kerja lapangan atau yang biasa disebut PKL, memang sudah menjadi kesepakatan jika kantor itu tidak bisa menerima banyak siswa karena memang perusahaan itu yang tidak terlalu besar.
Iali ini kantor itu kedatangan empat pelajar yang kesemuanya adalah perempuan, selama beberapa bulan mereka akan membantu menyelesaikan beberapa pekerjaan, sarana untuk para siswa itu benar-benar terjun ke dunia kerja dan mempraktekkan ilmu-ilmu dasar dan teori yang telah mereka pelajari di sekolah selama ini.
Sebenarnya hanya perkerjaan remeh temeh yang akan mereka kerjakan, seperti menyalin draft, menyalin laporan, atau memfoto kopi, bahkan tidak jarang para karyawan juga meminta mereka untuk membuatkan kopi atau teh di pantry. Pokoknya tugas mereka hanyalah membantu karyawan, dan mereka mendapatkan pengalaman kerja, yang akan menjadi laporan tugas mereka di sekolah.
Setelah melaporkan kedatangan mereka pada pihak HRD, keempat siswi itu memperkenalkan diri pada semua karyawan dan meminta bimbingan mereka, sambutan cukup baik mereka berempat terima lalu dilanjutkan dengan mulainya para karyawan memberikan tugas yang sekiranya bisa mereka kerjakan.
"Kamu belum dapat tugas?" Jenar mengangguk mendapat pertanyaan itu, gadis itu hanya berdiri di tempat menatap teman-temannya yang sudah mulai mengerjakan sesuatu sedang dirinya tidak tahu harus berbuat apa.
"Kalau begitu bantuin saya aja, tugas ini lebih penting dari tugas mereka. Berhubungan langsung sama Bos!" ujar seorang perempuan, Jenar perkiraan usianya sekitar empat puluh tahun, Jenar mengikuti langkah wanita itu ke sebuah ruangan bertuliskan Pantry di pintunya.
"Nama saya Sri Ningsih, tapi biasanya dipanggil Mbak Ning." Wanita itu mengulurkan tangannya, dengan senang hati Jenar membalasnya, sambil mengucapkan namanya.
"Tunggu, ya." Mbak Ning mengambil cangkir dan mengisinya dengan kopi dan sedikit gula setelah merebus sedikit air menggunakan panci kecil. "Kerja itu enggak boleh rewel, enggak boleh ngeluh, Mbak juga seperti kamu lulusan SMA. Tapi ijasah itu enggak menjamin apa-apa, buktinya sekarang Mbak kerja begini." Dari seragam yang wanita itu kenakan Jenar tahu jika dia seorang office girl.
"Mbak bukannya mau matahin semangat atau meremehkan seseorang yang hanya bisa sekolah sampai SMA, pokoknya, intinya Mbak cuma mau ngasih tau kamu kalau kita enggak boleh gengsian dalam bekerja, apapun itu yang penting halal dan bisa menghasilkan," sambung Mbak Ning, Jenar masih diam sambil mengangguk mendengarkan.
"Iya, Mbak."
Sebenarnya bukan tanpa alasan Mbak Ning mengucapkan hal itu, tetapi melihat penampilan Jenar yang berbeda dari teman-temannya siapa saja bisa mengetahui jika Jenar tidak seberuntung mereka. Seragam yang Jenar kenakan tidak sebaik milik teman-temannya terkesan lusuh, bahkan kemeja putihnya sudah akan kekuningan, sepatunya juga sudah ada sobekan kecil di beberapa bagian. Tetapi yang mengagumkan adalah semua itu tidak membuat semangat gadis itu menyurut.
"Ini, dari pada kamu enggak tau harus melakukan apa, antarkan saja kopi ini ke ruangan Pak Samuel. Ruangannya ada di sebelah kamu berdiri tadi, Mbak mau beres-beres dulu." Jenar tersenyum mendekati meja kompor lalu mengambil baki, sebuah cangkir kopi mengepulkan asap.
"Siap, Mbak," jawab Jenar penuh semangat, Mbak Ning tersenyum.
.
"Emang cocok, sih, pekerjaan itu buat kamu!" bisik Rika, teman yang sepertinya memang tidak terlalu menyukai Jenar saat mereka berpapasan di lorong kubikel Rita tampak membawa beberapa map.
Jenar hanya diam, berjalan lurus menuju pintu yang masih tertutup rapat.
"Masuk!" Suara seorang lelaki terdengar setelah beberapa kali Jenar mengetuk daun pintu berwarna hitam berpadu kaca buram itu.
Samuel Kastara Waluyo nama yang Jenar baca di papan nama yang menempel di pintu.
"Selamat pagi, Pak, Mbak Ning meminta saya membawa kopi ini buat Bapak," ujar Jenar sopan.
"Taruh di situ," jawab Samuel sambil mengangkat kepala yang semula fokus membaca berkas, dahinya mengerut melihat gadis manis yang tengah menaruh cangkir di atas meja.
"Kamu, kamu yang tadi bareng di lift, 'kan?" tanya Samuel, Jenar menatap lelaki itu dengan mata agak membola lalu hatinya kembali dihinggapi rasa malu akan tingkah konyolnya.
"Iya, Pak," jawab Jenar gugup.
"Jadi kamu magang di sini? Tapi kenapa kamu sendiri? Saya dengar tahun ini kantor menerima empat siswa PKL." Samuel bertanya dengan tetap menatap lekat wajah Jenar membuat gadis itu semakin gugup bahkan nyaris ketakutan.
"Saya ... saya datang terlambat, Pak. Teman-teman saya sudah datang lebih dulu," jawab Jenar lirih.
"Hari pertama magang sudah telat?" Samuel menggelengkan kepalanya, membuat Jenar merasa sangat bersalah juga merasa takut jika itu akan mempengaruhi nilai-nilainya nanti.
"Maaf, Pak, rumah saya jauh." Jenar berusaha membela diri.
"Tetap itu bukan sebuah alasan, kalau rumah kamu jauh kamu bisa bangun dan berangkat lebih pagi. Dengar, dunia itu tidak akan menunggumu!" Jenar bahkan sampai berjingkat kaget saat Samuel meletakkan berkas yang sedang ia pegang di atas meja, bukan karena suaranya yang terlalu keras tetapi karena Jenar yang terlalu gusar.
"Iya, Pak, saya janji akan lebih baik." Jenar terlihat begitu bersungguh-sungguh.
"Baiklah, sekarang kamu boleh keluar." Samuel mengerakkan jemari memberi isyarat agar gadis itu meninggalkan ruangannya.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi," pamit Jenar, ia sedikit membungkukkan badannya lalu melangkah pergi.
"Tunggu!" Panggilan Samuel membuat Jenar menghentikan langkah, tangannya yang sudah siap membuka daun pintu mengambang di udara.
"Iya, Pak," jawab gadis manis itu dengan senyum manis menghiasi wajahnya, ia sudah terlihat lebih santai meski jantungnya tetap berdegup kencang.
"Siapa nama kamu?" tanya Samuel, ia menatap Jenar dari atas ke bawah memperhatikan penampilan sederhananya.
"Manika Jenar Pratiwi."