"Ternyata Pak Samuel selain ganteng baik juga ya," kata Dewi setelah Jenar menceritakan semuanya, Jenar hanya mengangguk membenarkan karena mulutnya sedang sibuk mengunyah makan siangnya.
Kedua gadis itu berada di pantry sekarang beristirahat untuk makan siang dengan bekal yang mereka bawa dari rumah, Dewi makan siang dengan bekal yang ibundanya masak sedangkan Jenar seperti biasa membawa bekal makanan yang di jual oleh neneknya.
"Iya, aku yakin kalau istrinya juga baik dan pasti cantik," jawab Jenar yakin.
"Kok kamu bisa yakin dia cantik?" tanya Dewi penasaran.
"Ya karena Pak Samuel kayaknya cinta banget sama istrinya. kamu tau, setiap kali ngomongin istrinya aku tuh bisa ngeliat mata Pak Samuel berbinar-binar seolah penuh cinta dan kekaguman." terang Jenar mengingat wajah Samuel saat berbicara tentang Meisya, Jenar memang sudah beberapa kali masuk ke dalam ruangan Samuel tetapi belum pernah memperhatikan foto Meisya yang ada di dalam ruangan itu.
"Iya, ya, buktinya seorang bos besar kayak dia mau-maunya di suruh istrinya beli kerupuk udang," kata Dewi membenarkan dengan pemikirannya, Jenar membenarkan apa yang Dewi katakan dengan anggukan setuju.
"Semoga nanti aku juga punya suami kayak Pak Samuel, yang cinta dan sayang banget sama istrinya, kalo bisa ganteng dan kaya juga kayak pak Samuel," sambung Dewi sambil tertawa kecil, Jenar malah menggelengkan kepalanya.
"Kamu ini, sekolah belum selesai udah mikirin suami!" sembur Jenar sambil tertawa, gadis itu lalu melanjutkan makannya seolah acuh pada Dewi karena tahu apa yang akan gadis itu katakan.
"Jenar, hidup itu harus di nikmati. Pacaran itu boleh untuk memilih yang terbaik, kamu juga harusnya begitu bisa menikmati hidup salah satunya dengan punya pacar jangan belajar terus yang di pikirin," kata Dewi seperti biasa, Jenar sampai hapal kata-kata sejenis itu yang akan Dewi katakan padanya. Mungkin Dewi juga sudah hapal jawaban yang Jenar katakan, kalau Jenar hanya harus benar-benar menjadi siswa yang baik untuk menyelesaikan pendidikannya, tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain apalagi pacaran.
"Iya, iya. Nanti juga aku cari pacar," jawab Jenar santai, sontak Dewi menatapnya dengan kedua mata membola karena baru kali ini Jenar memberikan jawaban demikian, "tapi nanti kalau aku udah lulus sekolah, udah kerja dan udah ngebahagiain Simbok."
Dewi hanya tersenyum penuh makna memang tidak ada sesuatu apapun yang bisa menggoyahkan tekad Jenar dan Dewi salut padanya.
"Ya udah, kerja lagi yuk, waktu istirahat kan udah mau selesai," ajak Dewi saat melihat Jenar sudah selesai makan dan makanan di hadapannya juga sudah tidak bersisa.
"Nanti lah, kita cuci tempat bekal dulu!" jawab Jenar sambil membawa kotak bekal lusuhnya ke wastafel, Dewi hanya nyengir kuda karena melupakan hal itu. Dewi menyusul Jenar ke wastafel untuk melakukan hal yang sama, mencuci kotak bekal yang jauh lebih bagus dari milik Jenar, kotak bekal dengan harga mahal yang bisa membuat ibundanya mengomel jika hilang atau tertinggal di sekolah, beberapa kali Dewi pernah mengalaminya.
***
"Eh, Rita. Kita mau ngomong sama kamu," panggil Dewi saat keluar dari pantry dan bertemu Rita dan Ayu yang berjalan bersama usai makan siang di kantin, para karyawan belum kembali dari istirahat mereka hingga kantor itu masih terlihat sepi.
"Wi, mau apa sih," bisik Jenar yang berjalan di sebelah Dewi, spontan gadis itu memegang lengan Dewi seolah melarang sang sahabat melakukannya.
"Udah kamu diam aja!" jawab Dewi lirih, gadis itu mendekati Rita dan Ayu yang sudah berhenti dan berdiri di lorong kubikel sekat-sekat yang memisahkan meja dan kursi para karyawan.
"Ada apa?" tanya Rita santai seolah dirinya tidak pernah melakukan kesalahan.
"Ada apa, Ada apa! kamu sengaja kan dorong ayu di lift tadi biar dia nabrak Jenar dan kerupuk Jenar hancur! Kenapa sih kamu jahat banget sama Jenar?" kata Dewi penuh emosi tetapi gadis itu tetap menahan suaranya agar tidak meledak sedangkan Jenar masih tetap memegangi lengannya meminta gadis itu tidak lagi memperpanjang masalah itu.
"Emang kamu punya bukti apa nuduh-nuduh aku begitu?" tanya Rita santai, gadis itu melipat kedua tangan di depan d**a dan seperti biasa menatap Dewi dan Jenar dengan tatapan meremehkan, Ayu yang ada di sampingnya hanya diam saja.
"Aku enggak perlu bukti apa-apa, ya, karena emang udah terbukti dari dulu kamu selalu jahat sama Jenar. Tadinya aku pikir itu cuma di sekolah karena kamu takut kalah saing sama Jenar, tapi di sini? Aku enggak nyangka kamu jahat juga," kata Dewi kedua mata Rita membola mendengarnya.
"Seenaknya aja kamu bilang aku jahat! jaga mulut kamu ya Dewi!" kata Rita dengan nada bicara penuh amarah, gadis itu bahkan menuding Dewi dengan ibu jarinya tepat di depan wajah.
"Udah, Wi. Jangan ribut-ribut nanti di denger orang. Enggak apa-apa kok, aku enggak apa-apa," kata Jenar meminta sang sahabat tidak lagi bertengkar dengan Rita, tetapi Dewi sama sekali tidak mempedulikannya.
"Jaga mulut aku? mulut aku cuma menyampaikan kebenaran tentang kamu yang jahat, kamu tuh yang seharusnya jaga sikap kamu dan berhenti ganggu Jenar. Apa sih salah nya Jenar sama kamu? Apa karena Jenar lebih cantik, lebih pinter dan cowok-cowok yang kamu suka lebih suka sama Jenar?" tanya Dewi membuat Rita semakin naik pitam, gadis itu terlihat begitu emosi hingga melangkah mendekati Dewi dengan tangan yang siap melayangkan sebuah tamparan jika saja Ayu tidak menahannya.
"Dewi, Rita. Udah, berhenti, itu orang-orang udah pada datang!" kata Ayu membuat kedua gadis itu berhenti bertengkar.
Mereka hanya saling tatap penuh emosi lalu berpisah begitu saja untuk melanjutkan kegiatan masing-masing.
"Pak Reza sama Pak Samuel ngapain berdiri di sini dari tadi?" tanya seorang karyawan yang mendapati Samuel dan Reza berdiri di balik tembok, mendengar pertanyaan yang di berikan untuk mereka Samuel dan Reza saling tatap lalu tertawa kecil. Menertawakan tingkah mereka sendiri yang sedang mengintip pertengkaran kedua gadis itu.
"Enggak ngapa-ngapain," jawab Samuel ringan lelaki itu lalu berjalan ke ruangannya dengan Reza mengikuti membuat karyawan yang bertanya tadi mengerutkan kening heran.
"Liat mereka tadi jadi inget jaman muda dulu ya, Za," kata Samuel sambil berjalan dengan Reza di samping.
"Jaman muda dulu? itu sih, buat Pak Samuel aja, kalau aku sih emang masih muda!" jawab Reza sambil terkekeh, spontan sebuah tinju melayang ke lengannya dan membuat Reza semakin tertawa terbahak-bahak.
***
"Hem ... aku jadi kangen Laura sama Celine," kata Meisya setelah mendengar cerita Samuel tentang Jenar dan teman-temannya tadi, mereka berbincang-bincang di teras rumah sambil memakan kerupuk udang yang Samuel bawa, lelaki itu bahkan belum memasuki rumah karena Meisya langsung memberondong sang suami dengan pertanyaan kenapa kerupuk yang suaminya itu bawa lalu bergulirlah cerita tentang Jenar dan teman-temannya itu.
"Masa-masa SMA itu emang masa-masa terbaik ya sayang, tapi jarang ada persahabatan SMA yang bertahan sampai tua, karena biasanya setelah lulus mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing dan bahkan saling melupakan," kata Samuel sebelum menikmati kerenyahan dan gurihnya kerupuk udang, meskipun bentuknya sudah tidak lagi utuh tapi tetap tidak mengurangi kenikmatannya.
"Iya, beruntung aku dan sahabatku enggak termasuk yang Kak Sam bilang itu. walaupun sibuk dengan kehidupan masing-masing aku sama sahabat-sahabatku enggak saling melupakan," kata Meisya, Samuel mengangguk membenarkan.
"Sahabat Kak Sam pas SMA siapa?" tanya Meisya pada sang suami, sebenarnya bukan tidak tahu tetapi hanya ingin meledeknya.
"Bukan sahabat, tapi musuh bebuyutan!" jawab Samuel cepat, Meisya tertawa geli karena tahu persahabatan suaminya itu adalah persahabatan yang unik, bagai tikus dan kucing tetapi selalu saling peduli dan saling menyayangi. Persahabatan dengan Daniel, Kakak Laura.
"Enak kan kerupuknya, sayang," kata Meisya sambil melirik sebungkus kerupuk udang yang Samuel pegang, isinya sudah hampir habis masuk ke dalam mulut lelaki itu yang sepertinya tidak bisa berhenti mengunyah. Samuel tertawa menyadari dirinya yang tidak sadar sudah memakan begitu banyak kerupuk udang.
"Iya, rasanya beda dari kerupuk udang yang biasanya," jawab Samuel sambil membaca lebel yang ada di bungkus kerupuk itu.
"Sayang, anak magang yang namanya Jenar itu bikin aku inget masa-masa sulit aku dulu, karena selain masa-masa bahagia bersama sahabat masa-masa SMA adalah masa-masa tersulit hidup aku," kata Meisya lirih, tiba-tiba suasana terasa berbeda, Samuel menggenggam tangan sang istri sambil menatapnya penuh cinta.
"Jangan di inget-inget lagi, aku akan memberikan masa depan yang jauh lebih baik untuk kamu," kata Samuel penuh keyakinan, Meisya tersenyum mendengarnya.
"Iya, Sayang, keyakinan aku tentang hal itu jauh lebih besar dari keyakinan tentang hal apapun, aku percaya sama kamu," jawab Meisya, Samuel tersenyum mendengar keyakinan sang istri akan dirinya.
"Tapi, keadaan Jenar cuma bikin aku trenyuh aja walaupun aku belum pernah kenal sama dia," sambung Meisya, Samuel menghela napas pelan karena sudah hapal dengan kelembutan hati sang istri, lelaki itu menatap wajah Meisya yang tiba-tiba berbinar seperti seseorang yang baru saja mendapat sebuah ide bagus, "sayang, aku punya ide buat bantu Jenar."
"Ide apa?" tanya Samuel sambil menatap sang istri penasaran.
"Jadi, nanti—."
"Maaf, Bu dokter, ada pasien menunggu."
Meisya urung mengutarakan idenya saat mendengar sang asisten memanggilnya dari ambang pintu belakang klinik yang berada tepat di depan rumah mereka, Meisya dan Samuel yang duduk di teras rumah bisa dengan jelas mendengar panggilan asisten Meisya meski wanita itu tidak meninggikan suaranya.
"Iya, saya segera ke sana," jawab Meisya membuat sang asisten tersenyum lalu kembali masuk ke dalam klinik.
"Nanti aja kita bicarain lagi, aku ke klinik dulu, ya," kata Meisya sambil bergegas bangun dari duduknya.
"Iya, aku juga mau mandi terus mau main sama Abraar," jawab Samuel lelaki itu juga bangun dari duduknya lalu mengecup singkat kening sang istri.