When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
“Apa dia kekasihmu?” tanya Farel tidak mengalihkan matanya dari piring. “Bukan” “Lalu …?” “Apa aku juga harus menjelaskan padamu siapa temanku dan aku berteman dengan siapa?” “Iya!” “Aku pikir tidak perlu iya Pak, karena kita tidak dalam hubungan yang seperti itu,” kataku membantah. “Itu menurut kamu, menurutku berbeda juga, kamu pikir aku datang jauh-jauh ke sini, untuk apa? Tentu saja untuk kamu, kan? Aku ingin menjelaskan padamu tentang apa yang kita bicara ditelepon beberapa lalu. Kamu salah paham saat mendengar pembicaraanku dengan kakakku, kamu hanya mendengar sebagian Ririn, aku menginginkan anak itu, saat aku tahu kamu hamil, aku punya sejuta mimpi saat itu, salah satunya aku membayangkan kalau aku akan menjadi seorang ayah tapi ..." "Tetapi saat itu, kamu tidak pernah bila