Dom Komandria and The Beauty

1917 Words
Mobil hitam yang membawa Katarina dan Mikail meluncur perlahan menuju gerbang Kamp Militer Zvezda Tver, pusat pelatihan militer terbesar di bagian timur Rusia. Gerbang besar dari baja yang menjulang tinggi diapit oleh dua patung perunggu tentara yang berdiri tegap, seakan menyambut dengan wibawa. Di atas gerbang, bendera Rusia berkibar gagah di bawah langit berawan, menggambarkan kekuatan dan kebanggaan negeri. Saat mobil mereka melewati gerbang, Katarina merasakan atmosfer yang berbeda—seolah masuk ke dunia yang sepenuhnya baru, di mana disiplin dan kekuasaan mendominasi setiap jengkal tanah. Bau besi dan debu ringan menyelimuti udara, memberi kesan kerasnya kehidupan militer di dalam kamp ini. Dari perumahan Dom Komandira, yang berdiri megah di atas lahan yang lebih tinggi, Katarina bisa melihat hamparan luas Kamp Zvezda di bawahnya. Barak-barak militer berjajar rapi, dihuni oleh ratusan tentara yang tengah berbaris dan berlatih di lapangan terbuka. Suara peluit pelatih terdengar nyaring, bersahut-sahutan dengan derap kaki para prajurit yang bergerak serempak. Di kejauhan, kendaraan militer berwarna hijau tua bergerak perlahan di antara pos-pos keamanan. “Pakai bajumu dengan benar! Mereka sudah menyambut disana.” “Ck, aku sedang melakukannya,” ucap Katarina yang masih mengagumi tempat sekitar. Di depan rumah peristirahatan sang kolonel seorang Jendral dan istrinya sudah menunggu. “Selamat datang kembali, Kolonel.” “Jendral,” ucap Mikail memberi hormat, sebelum menurunkan tangan dan menjabat pria yang lebih tua yang kini memanggilnya, “Yang Mulia.” Begitupun wanita dibelakang Jendral. “Selamat datang, Duchess. Saya Irina, istri Jendral. Sebuah kehormatan bertemu dengan anda.” “Terima kasih, kau bisa memanggilku Katarina, Bu. Gelar bangsawan tidak berlaku disini bukan?” “Tetap saja strata anda lebih tinggi daripada saya. Mari saya antar ke dalam, mereka sepertinya memiliki hal yang harus dibicarakan dulu.” Katarina menatap Mikail dulu, mendapat anggukan darinya dan akhirnya masuk ke dalam. Meyakinkan Irina supaya tidak bicara formal dengannya. Dengan cepat mereka menjadi akrab, Irina mengajak berkeliling rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang keluarga. “Terkadang para petinggi yang sudah menikah menjadikan tempat ini untuk bulan madu kedua, sebab tertutup dan juga kedap suara,” ucapnya menggoda Katarina. Dilanjutkan dengan memberitahukan acara jamuan makan malam bersama istri dan para petinggi di malam nanti. “Kenapa istri petinggi lain hanya satu malam disini, Irina?” “Karena mereka bukan pengantin baru. Dan dirimu harus lebih lama untuk memahami pekerjaan suamimu. Supaya tidak terus disuruh pulang untuk acara bangsawan.” Katarina terkekeh. “Jadi selama seminggu kedepan, aku hanya disini mendampingi.” “Jangan khawatir, aku akan menemanimu disini. Tugas dari Jendral, khusus untuk Duke dan Duchess.” “Ap aitu artinya aku sangat special? Atau merepotkan?” “Artinya suamimu akan segera naik pangkat menjadi Jendral, Katarina,” goda Irina menarik Katarina ke halaman belakang, dimana mereka bisa melihat aula besar yang akan menjadi tempat perjamuan disana. Dan ada beberapa orang yang sedang mengatur. “Nanti makan malam disana sambutan untukmu. Saat malam semakin larut, kita para wanita akan berpesta tanpa para pria, pasti akan menyenangkan.” “Apakah ada yang seusia denganku?” “Sayangnya tidak, kau yang termuda, Yang Mulia.” Irina mendekat kemudian berbisik, “Nanti akan kami ajari cara untuk memuaskan suami. Oke?” *** Malam itu, perjamuan makan malam sambutan digelar untuk menghormati Katarina sebagai istri dari Mikail, seorang Kolonel dalam Angkatan Darat Rusia. Acara ini merupakan bagian dari tradisi militer bagi para petinggi yang baru menikah, di mana pasangan-pasangan petinggi militer berkumpul dalam sebuah jamuan formal di aula besar. Hanya mereka yang berpangkat Kolonel atau lebih tinggi yang diundang bersama istri mereka. Katarina, dengan kecantikannya yang anggun dan mudah akrab dengan istri-istri lainnya, dipuji sepanjang malam. Para istri petinggi dengan ramah mengajaknya berbincang, sementara Mikail tetap dingin, meskipun terus digoda oleh rekan-rekannya tentang pernikahannya yang baru. Suasana penuh formalitas, namun sesekali terdengar canda tawa yang membuat atmosfer lebih hangat. Menjelang larut malam, para istri berpindah ke Dom Komandira, rumah dinas Katarina, sementara para pria tetap di aula membicarakan strategi militer. Di rumah, para istri petinggi mulai mendandani Katarina dengan pakaian yang lebih santai dan seksi, mengajarkan berbagai cara untuk memuaskan suami mereka. Canda tawa menggema saat mereka memberikan nasihat yang membuat wajah Katarina memerah malu. Salah seorang istri bahkan mengeluarkan alkohol, mengatakan bahwa suami mereka suka jika istri tampak sedikit mabuk dan lebih menggoda. Meski ragu, Katarina menuruti mereka, mencoba mencicipi alkohol, merasa semakin terhanyut dalam suasana yang membuatnya sadar bahwa malam ini bukan hanya tentang peran baru sebagai seorang Duchess, tapi juga sebagai istri dari seorang Kolonel. “Oke berhenti, Nyonya-Nyonya. Aku mulai… mabuk sepertinya. Astaga…. Aku tidak boleh terlihat seperti ini,” ucap Katarina saat tali gaun minimnya hendak melorot. Para wanita itu terkekeh. “Kau disini bukan sebagai Duchess, tapi istri kolonel.” Yang lain menambahkan dengan bisikan. “Mereka bersiap untuk perang, jadi Duke akan sibuk dan kemungkinan akan menghabiskan waktu menyetubuhimu di atas ranjang untuk bekal kesibukannya.” “Berhenti…,” rengek Katarina. “Kalian membuatku malu.” Bukan hanya itu, mereka juga menyalakan lilin aroma theraphy, mengoleskan body lotion dan menata rambut Katarina. Bukan sebagai duchess, tapi sebagai istri hingga kini penampilannya benar-benar seperti jalang untuk suaminya. “Campurkan obat perangsang ke dalam minumannya,” saran salah satu istri Mayor Jendral. Katarina dibuat mabuk parah, sampai dia tidak bisa apa-apa selain tidur di atas ranjang dan menggeliat merasakan panas ditubuhnya. Kemudian satu persatu istri tentara itu meninggalkan rumah Katarina, yang terakhir adalah Irina sebab Mikail sudah datang bersama dengan suaminya menjemput. “Katarina sudah menunggumu di dalam, Yang Mulia.” “Ah, sepertinya istriku bersenang-senang. Terima kasih, Bu.” “Dia akan lebih bersenang-senang jika bersamamu, Yang Mulia. Kami permisi ya.” Irina segera menarik sang suami menjauh dari sana. Mikail masuk, tubuhnya mematung. Hanya cahaya lembut rembulan yang menyelinap masuk melalui celah tirai, menyoroti sosok di atas ranjang. Katarina, terbaring dengan tubuh menggeliat lembut di bawah sinar bulan, tampak begitu memukau. Kulitnya seputih s**u berkilauan samar, serasi dengan rambutnya yang hitam legam, sehalus ebony, terhampar di atas bantal sutra. Tubuhnya dihiasi lingerie tipis yang hampir transparan, mengikuti lekukannya dengan sempurna, seolah dirancang untuk menonjolkan setiap keindahan yang dimilikinya. Bahkan Mikail bisa melihat cairan halus keluar dari lubang Katarina yang kini beralih posisi menjadi menungging. “Ahhhh… shhh… panas… tolong… ahhh…!” Wajahnya kemerahan, bibirnya sedikit terbuka, dan nafasnya terdengar lirih namun berat, seakan bulan itu sendiri menyaksikan keindahan yang tak terkatakan. Dari posisinya, Mikail bisa mencium aroma tubuh Katarina, paham apa yang terjadi dengannya. “Apa kau gila?” “Mikail, tolong aku…. panas… shhh… mereka memberiku…. Ini…. Mikail.” Pria itu masih mentap dengan datar, memalingkan wajah saat Katarina berubah posisi merebah dan kaki terbuka hingga bagian bawahnya terlihat dengan jelas. “Mikail… tolong aku… hiks… panas….” Katarina terus mendesah. Tubuhnya tidak bisa dia kendalikan. “Mikail… Ahhhh!” o*****e itu datang begitu saja saat tangan Katarina meremas dadanya sendiri. “f**k!” umpat Mikail beranjak dari duduk. “Mikail kau mau kemana? Mikail? Akhhh! Ahhh!” Dengan tatapan yang berkabut air mata, Katarina bisa melihat urat leher Mikail memerah dengan urat-urat menonjol sebelum masuk ke kamar mandi. *** Bukan hanya Mikail yang kesal, tapi Katarina juga, sebab Hasrat itu baru bisa dia kendalikan saat pagi menjelang, entah berapa kali dirinya keluar dengan menyentuh dirinya sendiri. Mikail didapati tidur di sofa panjang saat Katarina sudah sadar, dia mandi dan memasak dengan hati-hati enggan mengganggu suaminya. “Shhh… ahhh…” tapi belum benar-benar hilang, bagian bawahnya terkadang berdenyut tidak beraturan. Memang harusnya disalurkan. “Anghhh… shhh… Astaga… kenapa masih saja?” “Suaramu sangat mengganggu.” Mikail terbangun. “Aku sudah menyiapkan sarapan. Bangunlah, bukannya kau pergi ke camp?” Tanpa menjawab, Mikail pergi ke kamar mandi. Membuat Katarina menggerutkan kening. “Apa dia sedang menahan hasratnya?” Katarina tidak menyentuh makanan, menunggu Mikail datang dan duduk. “Apa kau memasukan obat disini lagi?” “Shhh.. tidak, berhenti menatapku seperti itu. Mereka yang membuatku mabuk dan meminum obatnya.” “Dan kau berharap aku menyentuhmu?” Katarina terkekeh. “Kau tahu perasaanku, jadi mungkin iya. Tapi kalau kau memang tidak tertarik padaku, abaikan saja. Aku hanya menjalankan peran disini. Aku ikut ke camp bukan?” “Hanya sebentar, setelah itu kau pulang lagi.” “Oke, aku tidak sabar.” “Jangan menjadikan kesempatan untuk menyentuhku.” Katarina terkekeh. “Aku tidak sabar melihat fasilitas Kesehatan di kamp, bukan menyentuhmu, Mikail,” ucapnya lebih santai. Ya mau bagaimana lagi, terlanjur sudah tercoreng di mata Mikail, tidak sekalian saja tenggelam. Ketika selesai sarapan dan mulai keluar rumah, Katarina melingkarkan tangan pada lengan sang suami. “Jangan ambil kesempatan terlalu banyak.” “Kalau aku ambil kesempatan, aku sudah memasukan serbuk perangsang pada sarapanmu. Ayok pergi, aku tidak sabar.” Saat keduanya melangkah keluar, Mikail baru menyadari betapa transparannya gaun putih saat tersinari cahaya matahari. “Lekukan tubuhmu terlihat.” “Itu karena kau memperhatikan. Kau seharusnya tidak masalah jika tidak tertarik.” “Dan membiarkanmu terlihat rendahan?” Katarina menunjuk dengan tatapan, diikuti oleh Mikail yang kini melihat Irina yang juga memakai baju sedikit terbuka. “Dia yang menyarankanku memakai ini.” “Terserah saja,” ucap Mikail akhirnya. Mereka berempat bersama menuju kamp dengan menggunakan Land Rover Defender Convertible, dua perempuan berada di belakang, Irina menjelaskan setiap inci dari kamp tersebut. Yang paling menarik perhatian Katarina adalah Meditsinskiy Korpus. Istilah unit yang bertanggung jawab atas kesehatan dan perawatan medis di kamp militer. Maka mobil pun mengakhiri perjalanan disana. “Dari sini kami serahkan pada Duke, supaya bisa mengajaknya berkeliling dan menunjukan kalau Katarina adalah miliknya,” ucap sang Jendral. “Kami rasa sudah cukup berkeliling, ini tempat terakhir sebelum dia kembali ke Dom Komandria.” Mikail membantu Katarina turun dari mobil. “Ck, Yang Mulia ini, apa kau tidak mendengar desas desus sepanjang perjalanan? Mereka membicarakan kecantikan Duchess Tver kita.” Sang Jendral terkekeh mengiyakan ucapan istrinya. “Benar, Mikail. Mereka terpesona, tapi bagus membawanya langsung pulang. Hanya untukmu saja di kamar,” godanya yang dibalas senyuman oleh Mikail. Saat masuk ke unit Kesehatan medis pun, Mikail mengikuti Katarina yang melangkah duluan, mengagumi perkembangan teknologi hingga tidak menyadari tatapan kekaguman dari para tentara yang ada disana. “Cantik sekali….” “Tuhan, apakah dia bidadari?” “Aku tidak masalah sakit kepala jika Tuhan memberiku pemandangan seindah ini…” Kalimat-kalimat itu baru berhenti saat mereka sadar dibelakang si cantik adalah sang Kolonel. Katarina menoleh. “Mikail, kenapa kau menatap orang seperti itu? Ayok, aku tidak tahu harus bagaimana,” ucap Katarina saat mendapati Mikail menatap taham para tentara yang sedang dirawat. “Mikail?” “Setelah dari sini, kau kembali sendiri ke Dom Komandria.” “Loh, kenapa? apa kau ingin orang menganggap kita sedang bertengkar?” “Aku tidak peduli, kepalaku sakit jika berjalan bersamamu.” “Nah, kebetulan kita di unit Kesehatan. Periksakan saja sekalian kepalamu. Bagaimana?” “Penyebabnya adalah dirimu.” Mikail mendahului. “Ayok,” ajaknya melangkah semakin dalam hingga Katarina melupakan pertanyaan di benaknya, dia penasaran dengan teknologi Kesehatan di tempat ini. “Tunggu, kenapa kau meninggalkanku sekarang?” gerutu Katarina mengikuti langkah Mikail, tapi tetap saja sulit sebab heels yang tinggi ini sampai Mikail jauh lebih dulu. “Hallo Nona Cantik, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang Tentara yang baru saja masuk. “Oh, Hallo, aku kesini de-” “Apa yang membuatmu begitu lama?” Mikail kembali. Membuat tentara itu langsung memberi hormat. “Kolonel.” Mengabaikannya, Mikail menarik lengan Katarina untuk menjauh dari sana. “Mikail, astaga lepaskan. Kenapa kau marah seperti ini?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD