Nyatanya, walaupun Katarina sudah memberikan yang paling berharga ternyata tidak mengubah apapun. Matanya menatap ke halaman depan, dimana sebuah mobil datang membawa banyak furniture baru untuk dibawa ke pondok di belakang kastil. Tatapan Katarina beralih, pondok kecil dibelakang kastil itu adalah tempat Alaya berdiam diri, dengan Mikail yang sedang membujuknya disana.
Entah sampai jam berapa semalam Mikail menggagahinya, yang jelas Katarina kehilangan kesadarannya dan bangun-bangun sudah di kamarnya. Setelah Katarina pingsan, Mikail masih menggagahinya sampai dia meninggalkan Katarina dengan tidak berdaya disana.
“Yang Mulia,” panggil Polina dari pintu yang terhubung ke balkon. “Berhenti melihat itu, Yang Mulia. Kita bisa memikirkan cara lain.”
“Polina…”
“Saya minta maaf dengan ide saya semalam, Yang Mulia.”
Katarina terkekeh. “Bukan itu. Ada ketukan pintu, bukalah. Jangan terpaku padaku, aku tidak marah padamu.”
Polina baru sadar ada ketukan, ternyata itu adalah Olga, yang memberitahu Katarina kalau Nenek Elina ingin bertemu. Katarina pun bergegas meskipun langkahnya masih terasa sangat sakit, berdesis sepanjang jalan. Nenek Elina dan Natalia tersenyum disana. “Nak, datanglah kesini.” Nenek menyambut.
“Kami mendengar pelayan membicarakanmu, kau bersama Mikail semalam?”
Katarina paham kemana pembicaraan, dia mengangguk.
“Bagus, Katarina. Kau bisa rukun bersama Mikail,” lanjut mertuanya.
“Akan lebih bagus jika Ibu dan Nenek membantuku.”
“Sayang… kau tahu kami tidak ingin membuat Mikail marah, tapi akan berbeda jika dia sendiri yang tertarik padamu bukan?” Nenek bertanya yang hanya dijawab oleh senyuman oleh Katarina, selebihnya mereka membicarakan bisnis yang Mikail setujui pagi tadi, Nenek dan Ibu mertuanya meminta penjelasan dari Katarina tentang keuntungan mereka di masa mendatang.
Namun Katarina tidak focus, diluar sana para pekerja bolak-balik membawakan furniture. “Duke ingin ranjang yang lebih besar, supaya leluasa bersama dengan Alaya.”
Bahkan suaranya sampai ke dalam. Katarina tidak suka, dan dua wanita lainnya menyadari itu.
“Masuklah ke kamar, kau boleh istirahat hari ini. Tidak perlu kuliah,” ucap Natalia.
“Apa Ibu dan Nenek tidak akan membantuku?”
“Katarina, kami sudah berusaha sebelum kau datang. Jika cara menyingkirkannya dengan jahat, kami tidak bisa. Alaya itu memang anak yang baik. Jadi satu-satunya cara kau yang harus menarik Mikail. Dan cobalah untuk tidak terlalu jengkel, lihat semua bunga yang tersebar disini, semuanya Alaya yang melakukannya.”
Jawaban dari sang mertua hanya membuat Katarina tersenyum, dia segera pamit undur diri setelah pembicaraan selesai, didampingi oleh Polina yang mengkhawatirkannya.
“Pergilah ke dapur, buatkan aku teh herbal.”
“Biarkan saya mengantarkan anda dulu ke kamar.”
“Tidak perlu, Polina. Cepatlah, aku mual.”
“Baik, Yang Mulia.”
Tidak terhitung berapa kali Mikail keluar di dalam dirinya, dan itu membuat Katarina mual. Belum lagi rasa perih melanda, dia ingin segera tidur sebelum memikirkan langkah selanjutnya. Namun begitu sampai di kamarnya, Katarina kaget disana ada perempuan berambut pirang berdiri di dekat nakas, dengan buku ditangannya.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Katarina marah.
Alaya tersenyum kecil. “Pantas saja anda memberinya obat perangsang, Yang Mulia. Anda mencintainya sejak kecil ya?”
Katarina melangkah dan merebut buku itu. “Beraninya kau masuk ke kamarku tanpa izini!”
Senyuman Alaya luntur, kali ini digantikan dengan mata berkaca-kaca. “Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Duke sudah berjanji akan terus bersamaku. Jadi, Yang Mulia…. Lupakan mimpi masa kecil anda.”
Katarina terkekeh hambar. Perempuan ini ketakutan. “Kenapa harus? Cintaku padanya begitu besar, bisa sampai menyingkirkanmu apalagi kau bukanlah apa-apa. Hanya pelayan tanpa nama.”
“Jangan bermain-main dengan saya,” ancam Alaya masih bergetar dengan air mata yang terus menetes.
Di detik yang sama, sebuah suara memanggil. “Alaya? Kau dimana?”
Yang seketika membuat Alaya menjatuhkan diri ke kaki nakas hingga vas di atasnya jatuh mengenai kepala dan menyebabkan pendarahan. “Hiks… Maafkan saya, Yang Mulia. Saya… Hiks… Hanya ingin mengganti bunga anda di kamar… Hiks…. Jangan lukai saya, Yang Mulia.”
“Alaya?”
Katarina menoleh, di ambang pintu sana ada sang kepala pelayan.
“Bibi Olga… hiks… Tolong aku…. Duchess ingin melukaiku… hiks… tolong…”
***
Olga yang membesarkan Alaya, maka dia akan membelanya, dan mempercayainya. Kepala Alaya terluka karena dorongan Katarina, itu yang dia katakannya hingga para pelayan menatap Katarina berbeda saat perempuan itu hendak pergi menemui sang mertua.
“Rumornya ternyata benar, dia begitu jahat. Hanya tertolong oleh kepintarannya saja.”
“Banyak pelayan berhenti bekerja di keluarga Belova karena sikapnya. Aku dengar begitu.”
Membuat Polina berhenti melangkah dan berniat menegur, tapi Katarina menahannya. “Tidak, biarkan saja. Ayok pergi.”
Melanjutkan langkah menuju kamar Natalia yang memanggilnya, Katarina sudah tahu apa yang akan dibicarakannya. Saat di koridor, Katarina melihat dokter Anton, dokter pribadi keluarga Zhukov yang keluar dari kamar sang mertua.
“Yang Mulia,” sapa dokter Anton.
“Apa terjadi sesuatu dengan Ibu?”
“Tidak, saya mampir memeriksanya setelah melihat keadaan Alaya.”
Nama itu seketika membuat senyum Katarina luntur. “Bukankah kau ditugaskan untuk memeriksa anggota keluarga Zhukov, dokter? Para pelayan tidak harus mendapatkannya.”
Dokter anton terkekeh. “Yang Mulia…. Itu yang dinamakan hati Nurani. Kedepannya tolong jangan lakukan hal itu, Alaya hanya gadis yang tidak tahu apa-apa. Saya pamit.”
Meninggalkan Katarina yang tertawa tidak percaya.
“Apa yang terjadi dengan semua orang hingga menganggap perempuan itu baik?” Polina turut emosi. “Ini tidak bisa dibiarkan, Yang Mulia. Perempuan itu sudah menjebak anda.”
“Aku tahu, Polina. Dia wanita yang licik,” ucap Katarina melanjutkan langkah menuju ke kamar sang mertua.
Berharap mendapatkan pembelaan, Katarina mengatakan yang sebenarnya, diyakinkan juga oleh Polina. Namun respon Natalia? Hanya mengusap tangan Katarina kemudian berucap, “Ibu tahu ini sulit untukmu, tapi jangan kotori tanganmu, Nak.”
“Ibu… aku tidak melakukannya. Aku berani bersumpah di hadapan Tuhan,” ucapnya menahan kekesalan.
Belum sempat mereka bicara lebih jauh, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Menampilkan Mikail yang menatap tajam pada sang istri. “Ikut,” ucapnya menyeret tangan Katarina.
“Mikail!” tegur Natalia. “Berhenti disana.”
“Aku kepala keluarga disini, Bu. Hormati aku,” balasnya tidak menghentikan Mikail yang menyeretnya keluar dari kastil.
Pergelangan tangan Katarina sakit. “Tolong lepaskan. Ini sakit, Mikail! Lepas!” dengan rasa malu menyerbu, bagaimana pelayan dan pekerja disini melihatnya diperlakukan buruk oleh suaminya sendiri. “Mikail!”
Pria itu membawa Katarina ke rumah pondok dibelakang, dimana Alaya duduk di atas ranjang dengan Olga yang sedang menyuapinya. Disinilah Katarina benar-benar diinjak harga dirinya, Mikail menghempaskannya ke lantai, membuat Katarina hampir tersungkur. Dia bersimpuh di lantai, menghadap ranjang tempat Alaya berada.
“Minta maaf padanya.”
“Aku tidak melakukannya, Mikail! Dia menjebakku! Dia ingin aku tampak buruk di hadapanmu!”
“Minta maaf, atau aku akan memulangkanmu pada keluarga Belova secara tidak terhormat, dan gelar keluargamu akan dicabut,” ucapnya penuh penekanan.
Mata mereka beradu, saling melemparkan tatapan tajam.
“Dan minta maaf padanya karena telah menjebakku semalam, dengan obatmu itu,” lanjut Mikail dengan berdiri tegap menatap Katarina dibawahnya.
***
Merasa direndahkan? Jelas! Tidak ada yang mempercayainya kecuali Polina, yang menangisi keadaan yang menjebak majikannya. “Yang Mulia….”
“Berhenti menangis, Polina. Biarkan aku belajar,” ucapnya dengan suara bergetar, Katarina pun sama menahan tangisannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dipermalukan, direndahkan lebih dari sampah. Siapa yang mau bersujud pada pelayan atas kesalahan yang tidak dia lakukan.
Nenek dan Ibu mertua tidak membela, jika Mikail sudah berucap maka apa yang dilakukannya selalu benar.
Tok! Tok! Tok!
Polina segera mengusap air mata dan membukanya, itu adalah Yulia. “Duchess? Bisa aku menemuinya?”
“Masuklah, Yulia,” jawab Katarina dengan santai dan kembali focus pada buku. Belajar adalah pengalihan, sebab menjadi dokter adalah mimpinya yang lain selain memiliki Mikail.
“Hei, aku mendengar banyak hal ketika masuk ke kastil ini.” Yulia duduk di bangku samping Katarina, angin malam berhembus di balkon. “Katanya, kau memasukan obat perangsang? Dan melukai Alaya?”
“Jika aku membela diri kau tidak akan percaya, semua orang akan tetap dipihak pelayan pirang itu,” ucap Katarina masih focus membaca.
“Sejauh yang aku tahu…. Alaya memang anak yang baik. Mikail yang terobsesi padanya. Yah… kau tahu sendiri menjadi anak Tunggal dan calon Duke tidak mudah. Mediang ayahnya mendidiknya sangat keras, Bibi Natalia juga tidak menjalankan perannya sebagai Ibu dengan baik. Mikail tidak pernah mengenal cinta dan kasih sayang, sampai dia bertemu dengan Alaya dan merasakan perasaan itu. Kau tahu? Alaya mencoba menolak pada awalnya, tapi Mikail sudah terjerat dengannya.”
“Jika kau ingin membicarakannya, aku tidak mau.” Katarina menegaskan.
Namun, suara tawa dari halaman kastil menarik tatapan matanya. Di antara lampu taman di malam hari, ada Alaya yang sedang menggenggam tangan Mikail sambil melompat-lompat kesenangan.
“Masih tidak ingin membicarakan mereka?”
“Kemana mereka akan pergi?”
“Katanya Mikail akan menghabiskan libur cutinya di Italia. Bersama… Alaya…”
Katarina tertawa hambar.
“Katarina, ingin aku beri tips supaya Mikail tertarik padamu?”
“Tidak perlu, singkirkan saja si pirang itu.”
“Katarina…. Yang bermasalah disini Mikail. Cobalah menjadi perempuan yang lemah lembut, jangan benarkan rumor bahwa kau seorang bangsawan yang kejam.” Dering ponsel Yulia membuatnya menghentikan ucapan. “Sebentar.” Perempuan itu pergi ke dalam untuk mengangkat telpon.
Sekali lagi, Katarina memberanikan diri melihat ke arah taman. Kali ini dia hanya melihat Alaya disana, sedang tersenyum kemudian tiba-tiba membungkuk 90 derajat memberi hormat sebelum menegakan kembali tubuh, tapi kali ini senyuman manisnya tampak mengejek, bahkan berani melambaikan tangan padanya.
“Gadis sialan itu,” ucap Polina emosi. “Yang Mulia…”
“Dia tidak sebaik itu, dia perempuan licik. Berani sekali dia bermain-main denganku,” ucapnya kesal.
“Yang Mulia….”
“Tenanglah, Polina. Kita…,” ucapannya tersendat saat melihat Mikail datang dan menggendong Alaya menuju mobil. “Kita akan menyingkirkan wanita sialan itu.”