03
Sepasang manusia duduk di kursi berseberangan pada sebuah kafe di kawasan Jakarta Selatan. Falea mengamati sekeliling sambil memuji interior tempat itu yang bagus.
Kendatipun berlabel kafe dan bukan restoran, bangunan tersebut sangat estetik. Pengunjung yang datang silih berganti menandakan kafe itu sebagai tempat yang patut direkomendasikan.
"Falea," panggil Benigno yang mengejutkan sang gadis. "Jawabanmu, gimana?" tanyanya sambil memandangi perempuan muda yang anehnya tetap terlihat ayu walaupun tidak berdandan.
"Ehm, ya, saya mau," jelas Falea. Dia sedikit risi dipandangi sebegitu rupa oleh pria berparas separuh luar negeri di hadapannya.
"Good. Besok, kita ketemu lagi. Kamu harus menandatangani kontrak kerja."
"Baik."
"Ada saran tempat?"
"Terserah Bapak aja. Kebetulan besok saya off. Kapan pun dipanggil, insyaallah saya datang."
Benigno tertegun mendengar ucapan insyaallah yang disebutkan Falea. "Apa kamu seorang muslim?"
"Ya." Falea memperhatikan pria berkemeja krem. "Apa itu masalah?" tanyanya.
Benigno spontan menggeleng. "No problem. Asisten rumah dan pegawai lainnya, banyak yang muslim. Sahabatku juga kebanyakan orang Islam."
"Oh, ya, ada satu pertanyaan, Pak."
"Silakan."
"Mohon maaf sebelumnya. Apa saya harus bawa peralatan makan sendiri?"
Benigno mengulum senyuman. "Enggak perlu. Makanan di rumah dijamin halal, asisten di rumah, juga muslim."
"Alhamdulillah. Tadinya saya udah mikir harus beli makan di luar."
"Tenang saja. Aku juga nggak pernah makan yang haram, sekarang."
"Kenapa?"
"Mungkin terbawa dengan para sahabat. Karena mereka selalu makan yang halal, aku jadi ikut-ikutan."
Falea mengulaskan senyuman, tidak menyadari tindakannya itu membuat Benigno terpesona. Pria beralis tebal terus mengamati perempuan berbaju merah. Tatapannya teralihkan kala pegawai kafe datang untuk menghidangkan makanan dan minuman.
Selama acara bersantap, mereka tidak saling urun suara. Falea memuji rasa masakan di tempat itu. Dia ingin mengajak Andara berkunjung ke sana, seusai gajian nanti.
Benigno sekali-sekali akan melirik perempuan yang ternyata memiliki rambut hitam pekat. Bila tengah bertugas, Falea akan mengenakan topi kecil khusus perawat yang menutupi rambutnya.
Pria berkumis tipis menundukkan pandangan kala tertangkap sedang memperhatikan sang gadis. Benigno berpura-pura tengah mengecek ponselnya yang memang penuh notifikasi.
"Pak, saya sudah selesai, dan mau pamitan," tukas Falea, sembari merapikan sendok dan garpu di piringnya.
"Tunggu, aku akan mengantarkanmu," balas Benigno, sebelum dia meraih gelas dari meja dan menghabiskan minumannya.
"Saya bisa pulang sendiri."
Benigno menggeleng sembari meletakkan gelas di tempat semula. "Aku harus tahu tempat tinggalmu."
"Kenapa? Takut saya kabur dan menculik Eugene?"
"Bukan itu. Aku cuma ingin tahu aja. Nggak ada maksud lain." Benigno memperhatikan Falea lekat-lekat, kemudian berujar, "Lagi pula akan sulit membawa Eugene kabur, karena ada empat pegawai di rumah."
Falea mengangguk. "Saya juga nggak berniat begitu. Risikonya besar."
"Betul, karena aku akan memburumu sampai ke ujung dunia sekali pun."
"Saya paham."
Benigno mengalihkan pandangan pada seorang pria yang merupakan pegawai kafe. Dia memberi tanda untuk meminta tagihan, yang segera dikerjakan pria berseragam khas tempat tersebut.
Sekian menit berlalu, Benigno dan Falea telah berada di mobil Mercedes-Benz V-Class hitam. Perempuan bermata cukup besar memindai sekitar. Baru kali itu dia menaiki mobil mewah dan ternyata sangat nyaman.
Benigno melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, sambil mendengarkan penjelasan Falea tentang arah menuju indekosnya. Kala jalan makin menyempit, Benigno mulai khawatir jika mobilnya akan tergores kendaraan lain, ataupun pagar rumah warga yang dilewati.
"Masih jauh?" tanya Benigno.
"Dikit lagi. Sekitar 500 meter," terang Falea.
"Apa ada tempat parkir?"
"Ya, pekarangannya cukup luas."
"Bisa mutar balik?"
"Kayaknya."
"Kok, kayaknya?"
"Beberapa penghuni kost juga ada yang bawa mobil. Mereka bisa mutar."
"Oke."
"Tapi ... aku agak ragu. Karena mobil ini lumayan besar."
"Mobil penghuni yang lain, apa?"
"Ehm ... Avanza, Xenia, pokoknya yang model gitu."
"Berarti bisa. Karena mobil ini cuma beda dikit ukurannya."
Falea tidak menyahut karena dia memang kurang memahami spesifikasi mobil. Setibanya di tempat tujuan, dia turun lebih dulu untuk membukakan gerbang hitam agar Benigno bisa memarkirkan kendaraannya.
Beberapa penghuni yang telah pulang kerja, penasaran dengan sosok yang mengantarkan Falea. Terutama karena mobil mewah yang digunakan sang tamu seolah-olah tidak cocok berada di area tersebut.
Andara yang baru selesai berganti pakaian, mengintip dari balik jendela. Dia membeliakkan mata menyaksikan seorang pria berpenampilan rapi yang keluar dari pintu pengemudi.
Gadis berambut pendek membuka pintu. Dia menunggu Falea dan tamunya sampai di teras, lalu dia memperkenalkan diri sambil menyalami pria yang diakuinya sangat manis.
"Oh, Bapak rupanya yang kemaren diceritakan Kakak," ungkap Andara sambil mendudukkan diri di kursi teras.
"Dia nyeritain aku?" tanya Benigno sembari melirik perempuan berbaju merah yang sedang berada di dalam ruangan.
"Ya."
"Apa katanya?"
"Cuma bilang, Bapak adalah pasien yang minggu lalu dirawat di tempatnya kerja. Lalu, Bapak juga nawarin Kakak kerja sebagai pengasuh."
Benigno manggut-manggut. "Betul." Dia memindai sekitar. "Sepertinya tempat ini cukup nyaman," tuturnya.
"Ya, Pak. Sesuai harga."
"Berapa sewanya?"
"Sejuta lima ratus, tapi perabotan bawa sendiri."
"Termasuk AC?"
"Iya. Tapi kami harus nambah biaya listrik, karena pakai AC, bawa rice cooker dan kulkas kecil."
"Nambah berapa?"
"Tujuh puluh lima ribu."
"Tidak mahal."
"Hu um. Makanya aku betah di sini. Ibu kos-nya pun baik." Andara menunjuk rumah besar di seberang jalan. "Itu rumahnya, dan Ibu punya tiga kontrakan kayak gini di tempat lain," lanjutnya.
"Memang menjanjikan bisnis seperti ini."
Falea keluar sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kudapan berbentuk unik. Dia dan Andara sontak terkejut saat Benigno berseru menyebutkan nama panganan khas Pontianak.
"Bapak tahu bingke?" tanya Falea sembari memandangi lelaki yang tanpa sungkan langsung menikmati sajiannya.
"Ya. Teman-temanku yang punya kantor area Pontianak, sering bawa ini kalau pulang dari sana," ungkap Benigno di sela-sela mengunyah.
"Oh, begitu."
"Kamu beli ini dari sana juga?"
"Enggak, itu saya buat sendiri."
Benigno membulatkan matanya. "Bisa?"
"Ya, kadang kalau ada yang pesan, saya buat sekaligus banyak."
"Bisa bikinin aku?"
"Boleh. Mau berapa kotak?"
"Seratus."
"Ehh, banyak banget!"
"Mau dibagikan ke keluarga dan teman-teman."
"Ehm, butuhnya, kapan?"
"Jumat siang. Sekitar jam dua diambil ajudanku."
Falea meringis, lalu beradu pandang dengan Andara. "Saya nggak tahu bisa buat sebanyak itu atau nggak. Karena kami cuma punya dua loyang."
"Bikin aja semampunya. Berapa pun yang jadi, kubayar."
"Oke."
"Perlu DP?"
"Boleh."
"Minta nomor rekeningmu."
Belasan menit terlewati, Benigno telah berada di mobilnya kembali. Pria bermata sendu, mengulum senyuman. Dia makin mengagumi sosok Falea yang menurutnya serba bisa.
Benigno mengarahkan kendaraan ke rumah Adik sepupunya. Dia menghentikan kendaraan saat gerbang tengah dibukakan Eros, ajudan Trevor.
Setelah mobil terparkir di belakang mobil Jaguar XF hitam, Benigno mematikan mesin dan mematikan pintu. Dia keluar dari kendaraan, lalu merapikan kemejanya sambil berbincang sesaat dengan Eros.
Benigno memasuki rumah dari pintu samping. Dia spontan tersenyum ketika tiba di ruang tengah dan Eugene menyambutnya dengan senyuman lebar.
"Papanya datang, langsung senyum-senyum," tukas Jewel yang sedang berada di dapur mini.
"Ya, Bu. Padahal tadi merengek minta kelonin," seloroh Sarmi yang menemani pangeran kecil bermain di karpet.
"Dia tahu, Papa ganteng yang datang. Jadinya langsung gembira," balas Benigno sambil mengecup puncak kepala keponakannya yang beraroma harum.
"Ya, deh. Mas memang paling ganteng di keluarga," lontar Trevor yang muncul dari ruang kerja di dekat ruang tamu. "Tapi saya tetap paling gagah," selorohnya.
"Terren dengar, pasti langsung protes," cakap Benigno.
"Dia menang kekar, doang, Mas. Tetap saya paling keren."
"Terserah. Aku lagi senang hati, jadi malas berdebat."
"Kenapa?"
"Falea mau jadi pengasuh Eugene."
"Pantesan Mas kelihatan senang banget."
"Kayaknya beneran klepek-klepek, nih," kelakar Jewel sambil mendekati kedua bersaudara yang berada di sofa biru tua.
Benigno tersenyum, dia tidak tersinggung ditandai seperti itu. Pria berbibir tipis mengubah posisi badan keponakannya hingga mereka bisa saling menatap.
Benigno mengusap rambut tebal pangeran kecil, lalu berujar, "Eugene, kamu harus bantu Papa. Luluhkan hatinya, selanjutnya, Papa yang akan memikatnya."
***
Falea tiba di depan rumah dua lantai bercat hijau muda, tepat jam lima sore. Dia melepaskan helm dan memberikan benda bulat pada tukang ojek yang baru saja mengantarkannya.
Setelah tukang ojek pergi, gadis bercelana jin hitam mengamati sekeliling sambil mendekati pagar putih yang tidak terlampau tinggi. Dia baru hendak memencet bel di tembok dekat gerbang, ketika pintu depan rumah terbuka dan seorang perempuan berambut sebahu keluar.
"Selamat sore, saya, Falea," sapa gadis berbaju salem.
"Sore, Mbak," balas Fitri, asisten Benigno.
"Bapaknya, ada?"
"Ya. Mari, silakan masuk. Bapak udah nunggu."
Fitri membukakan pintu dan Falea melangkah memasuki carport. Sang tamu menunggu Fitri berbalik, kemudian mereka jalan bersisian menuju ruang tamu.
Fitri mempersilakan tamu duduk, kemudian dia melenggang ke dalam untuk memanggil bosnya. Selanjutnya perempuan berhidung bulat menyiapkan suguhan buat tamu dan mengantarkannya ke depan.
Benigno muncul dengan penampilan rapi. Dia menyunggingkan senyuman saat menyalami Falea, kemudian dia mendudukkan diri di kursi tunggal yang berseberangan dengan tamunya.
"Ini, surat kontrak kerja. Kamu baca dulu, baru tanda tangani," tukas Benigno sembari memberikan selembar kertas yang baru diambilnya dari laci meja. "Pulpennya, ada?" tanyanya.
"Ya." Falea membuka tas selempang putih dan mengeluarkan pulpen dengan ujung berbentuk boneka panda.
Benigno memperhatikan perempuan yang sedang membaca kontrak dengan serius. Dia mengulum senyuman saat menyaksikan alis Falea berkerut. Benigno bisa menebak bagian mana yang menyebabkan gadis berambut lebat mengernyitkan keningnya.
"Pak, ini beneran, saya harus bayar denda 250 juta, kalau meminta berhenti kerja sebelum kontrak selesai?" tanya Falea sembari menengadah.
"Betul," jawab Benigno. "Kenapa?" tanyanya.
"Sepertinya berlebihan."
"Aku sudah mikir kamu akan ngomong gitu." Benigno memberikan selembar kertas lain yang diterima Falea dengan ragu-ragu. "Ini surat kontrak teman saya, Heru, pada pengasuh putrinya. Dia juga menerapkan denda, karena pengasuh sebelumnya main kabur sebelum masa kontrak selesai. Padahal Heru sudah membayar gajinya untuk enam bulan," terangnya yang mengagetkan Falea.
"Aku harus berjaga-jaga agar hal serupa tidak terjadi padaku dan Eugene. Karena itu aku mencantumkan jumlah uang denda, yang sebetulnya tidak terlalu besar."
"Ehm, bagi saya ini sangat besar."
"Dan aku akan memberikan jumlah yang sama, kalau aku yang memutuskan kontrak. Ada di klausul selanjutnya."
"Ya, Pak. Saya sudah baca."
"Aku akan memberimu 25 juta saat kontrak berakhir tahun depan. Sebagai bonus."
"Hmm, ya."
"Perhatikan poin selanjutnya."
Falea mengamati kalimat yang dimaksud. "Ini, hanya untuk masa darurat, kan, Pak?" tanyanya.
"Ya." Benigno memajukan badan, lalu menumpangkan kedua siku ke lututnya. "Sebetulnya aku berharap kamu mau menginap setiap hari," lanjutnya.
"Itu sulit."
"Aku tambah gajinya."
"Saya ...."
"Kamu mau ngajak Andara menginap, juga boleh. Mungkin kamu kagok ke aku."
"Sebetulnya bukan itu, tapi saya memang tidak bisa menginap di tempat yang ada pria-nya."
Benigno menaikkan alisnya. "Kosan-mu juga campuran."
"Mereka suami istri, Pak. Jadi diizinkan yang punya rumah. Kalau kontrakan khusus pria, di ujung jalan itu." Falea berpikir sejenak, kemudian melanjutkan perkataan. "Lagi pula kami berbeda area. Maksud saya, para istri pasti tidak memperbolehkan suami mereka bertamu ataupun berbincang berdua dengan penghuni single."
"Kamar buatmu, di sini." Benigno menunjuk ke kiri bahunya. "Ada pintu keluar tersendiri. Semacam paviliun. Jadi terpisah dengan kamar-kamar lainnya. Kamu bisa cek sekarang," sambungnya.
Falea menimbang-nimbang dalam hati, sebelum mengangguk mengiakan. Dia dan Benigno serentak berdiri, lalu dia mengikuti langkah pria berperawakan sedang yang memasuki ruang tengah.
Falea memindai sekitar sambil berdecak kagum menyaksikan interior ruangan yang lebih besar dibandingkan ruangan depan. Dia menghentikan langkah di belakang Benigno yang sedang membuka pintu bercat putih.
"Ini ruangannya," tutur lelaki beralis tebal sembari mengarahkan tangan kanan. "Masuklah, dan kamu bisa lihat sendiri pintu khusus yang tembus ke taman samping," ungkapnya.
Falea mengayunkan tungkai memasuki ruangan. Aroma parfumnya yang lembut tanpa sadar dihirup Benigno. Pria berhidung mancung terkesiap karena wewangian itu mirip dengan yang biasa digunakan mendiang kekasihnya.
"Nina Ricci Dessi Della," tukas Benigno yang sukses menghentikan langkah Falea.
"Ehm, gimana?" tanya gadis berbibir penuh sembari memiringkan badan ke kanan.
"Parfummu, merek itu, kan?"
"Ya." Falea mengamati pria yang sorot matanya berubah sendu. "Bapak ternyata penyuka parfum perempuan," cakapnya.
"Enggak juga. Kebetulan ke ... maksudku, sahabatku dulu, juga pakai parfum yang sama."
"Merek asli pasti."
"Memangnya ada yang palsu?"
"Ya, kayak yang saya pakai."
"Berapa kamu beli sebotolnya?"
"Tujuh ratus ribuan, tapi bisa dihemat sampai setahun."
Benigno menyunggingkan senyuman. "Gimana caranya bisa berhemat gitu?"
"Nyemprotnya dikit, Pak. Wanginya awet seharian. Kadang, udah dicuci pun, wanginya tetap nempel."
Benigno manggut-manggut. "Sepertinya aku bisa nyoba trik itu. Karena sekarang, parfumku hanya bertahan enam bulanan."
"Boros banget."
"Begitulah."
Falea mengalihkan pandangan ke sekeliling. "Itu, kan pintunya?" Dia menunjuk ke ujung kanan ruangan.
"Ya, buka aja. Cuma diselot pintunya."
Perempuan berambut sepundak menyambangi pintu dan memuka kuncinya. Saat benda kayu bercat putih terbuka, Falea spontan membulatkan matanya.
"Kura-kura!" serunya sembari jalan menghampiri kolam pendek, dengan atap rendah.
Benigno yang mengikuti langkah sang gadis, berjongkok untuk mengangkat seekor kura-kura berukuran sedang dan meletakkan hewan itu ke halaman.
"Kamu suka kura-kura?" tanya Benigno sambil memandangi perempuan yang ikut berjongkok di sebelah kirinya.
"Ya. Hewan yang umurnya paling panjang," sahut Falea sembari memperhatikan hewan bertempurung cokelat muda. "Ini jenis apa, Pak?" tanyanya.
"D'Caprio ini jenisnya Forsteni." Benigno menunjuk kura-kura yang tadi dilepaskannya. "Yang itu, Brad Pitt, jenis Cherry Head. Pasangannya, Jolie, juga dari jenis yang sama," ungkapnya sembari menunjuk kedua kura-kura yang sedang berteduh di ujung kolam tanpa air.
"Namanya unik-unik."
"Kamu belum dengar nama pacarnya D'Caprio."
"Siapa?"
"Rose."
"Titanic?"
"Yes."
Sudut bibir Falea berkedut, sebelum tawanya menguar dan memancing senyuman Benigno melebar. Setelah tawa Falea menghilang, keduanya saling menatap sesaat. Kemudian gadis bermata cukup besar mengalihkan pandangan ke kolam karena dadanya berdesir.
"Rose, yang mana?" tanya Falea untuk mengalihkan percakapan sekaligus menenangkan diri.
Benigno melihat ke sana kemari, kemudian dia menunjuk ke rerimbunan pohon di ujung kiri halaman. "Itu tempat favoritnya. Kalau nggak ada di kolam, dia pasti ada di sana."
"Mereka beda jenis gini, nggak berantem, ya?"
"Enggak. Aku belinya barengan dari penjual yang sama. Mungkin di sana mereka udah temenan."
"Ehm, Pak. Aku nggak lihat Eugene."
"Dia lagi di rumah sepupuku."
"Oh."
"Mau ke sana?"
"Jauh, nggak?"
"Enggak. Sekitar dua kiloan. Beda cluster."
"Nanti aja, Pak. Urusan kontrak kita belum selesai."
Keduanya serentak berdiri. Benigno mengarahkan langkahnya ke area kiri yang ternyata merupakan pintu tembusan ke taman depan.
"Akses ke kamar itu juga beda. Jadi kamu nggak perlu kagok harus lewat pintu depan," terang Benigno sembari membuka pintu pagar dari kayu bercat putih.
Falea tidak menyahut dan hanya manggut-manggut. Benaknya penuh dengan perdebatan tentang klausul kontrak, sekaligus tawaran untuk tinggal di tempat itu.
Setibanya di ruang tamu, mereka kembali duduk di tempat semula. Pria bercelana krem memanggil dua ajudannya yang segera datang. Falea membaca surat kontrak sekali lagi, kemudian memantapkan hati untuk menandatangani lembaran kertas itu.
Setelahnya, Falea memberikan surat pada Benigno yang turut membubuhkan tanda tangannya. Pria berambut cokelat tebal meminta Sony dan Novan ikut menandatangani kontrak kerja sebagai saksi.
"Oke, sudah selesai," ucap Benigno. Dia mengulurkan tangan kanan, lalu berkata, "Selamat bergabung menjadi karyawan di keluarga Janitra," imbuhnya.
Falea menjabat tangan lelaki tersebut sembari mengangguk. Dia cepat-cepat menarik tangan kala beradu pandang dengan Benigno yang sedang menatapnya lekat-lekat.
"Son, nanti kamu antarkan Falea ke rumahnya," cakap Benigno.
"Siap," balas Sony, ketua regu pengawal keluarga Janitra dan Aryeswara.
"Sekarang, keluarkan mobil. Aku mau nganterin dia ke rumah Trevor." Benigno memandangi ajudannya. "Lihat gendongan Eugene, nggak?" tanyanya.
"Ada di lemari dalam, Pak."
"Ambilkan. Aku mau sekalian ajak Eugene pulang. Tre kalau udah minjam anakku, pasti lama. Enggak dijemput, nggak akan dikembalikan."
Sony beradu pandang dengan Novan. Keduanya berusaha menahan tawa karena apa yang baru saja diungkapkan sang bos, adalah kebalikan dari kenyataan yang sebenarnya.