Aku Cemburu

2478 Words
04 Tiga pasang mata mengamati interaksi antara Eugene dan Falea. Jewel mengucap syukur dalam hati karena perempuan berambut sepundak terlihat telaten dan cekatan dalam mengasuh. Trevor melirik sang kakak di sebelah kanan, kemudian dia mengulum senyuman. Trevor menduga kali itu Benigno benar-benar serius menyukai Falea. Sorot mata lelaki yang lebih tua, terlihat begitu hidup saat memperhatikan perempuan berparas manis, yang sedang berbincang dengan Jewel. Benigno yang masih terpana, tidak menyadari jika dirinya tengah menjadi objek penglihatan Adik sepupunya. Benigno masih termangu selama beberapa saat berikutnya, sebelum lamunannya terputus kala bahunya dirangkul pria yang lebih tinggi. "Langsung lamar aja, Mas," seloroh Trevor. "Dia berbeda agama dengan kita," jawab Benigno yang mengejutkan Trevor. "Apa agamanya?" "Islam." "Lalu, gimana?" "Belum tahu ke depannya seperti apa. Tapi aku akan tetap mencoba mengenalnya lebih dalam." Trevor mengangguk paham. "Semoga berhasil." "Ehm, Tre. Aku pinjam dulu Eugene. Setelah Falea nyampe rumahnya, aku antarkan Eugene lagi ke sini." "Nah! Kebetulan." "Hmm?" "Aku dan Ma Bichette mau kencan. Titip dulu Eugene. Sarmi ikut juga ke rumah Mas." "Oke, tapi kalau kamu pulangnya kemalaman, biar aja Eugene tidur denganku." "Yakin?" "Ya." "Mas mau bangun malam-malam dan nyiapin susunya?" "Yoih. Udah biasa juga aku ngasuh dia." "Sip, deh. Besok pagi saya jemput." Benigno teringat sesuatu, kemudian berkata, "Aku ada pesan bingke ke Falea. Buat suguhan rapat PG." Trevor membulatkan matanya. "Dia jualan kue itu?" "Ya. Dia asli Kal-Bar rupanya. Dan ortunya pedagang kue. Mereka punya toko kecil di Mempawah." "Oh, gitu. Pantas, bakatnya nurun berarti." "Aku pesan 100 box, kaget dia." "Padahal segitu banyak, dibawa ke rapat pasti langsung lenyap." "Cuma sebagian yang kubawa. Sisanya buat keluarga kita." "Apa Mas mau nunjukin karya calon pacar ke Mami?" Benigno melirik adiknya yang tengah mengulum senyuman. "Kenapa kamu pandai sekali menebak jalan pikiranku?" "Mas itu orangnya gampang ditebak. Always open. Beda sama saya yang misterius." "Kamu bukan misterius, tapi nyebelin." "I know that. And that's why Mas sayang banget ke aku." "Terpaksa, karena kamu adikku." Trevor terkekeh dan memancing yang lain untuk memandanginya. Pria yang mengenakan t-shirt merah segera menghentikan tawanya, kemudian dia mengajak Benigno berpindah ke sofa ruang tamu untuk melanjutkan perbincangan dengan kedua perempuan berbeda tampilan. Belasan menit terlewati, Benigno telah berada di mobilnya sambil memangku Eugene. Sony yang menjadi sopir, melajukan mobil Mercedes-Benz V-Class hitam menuju luar area perumahan elite di Jakarta Selatan. Falea yang berada di kursi belakang bersama Sarmi, mengorek informasi tentang kebiasaan Eugene dari asisten rumah tangga tersebut. Beberapa minggu lagi sudah awal bulan dan Falea dipastikan harus berhenti bekerja di rumah sakit. Sekali-sekali Falea akan memperhatikan pria berkumis tipis di kursi depan yang sedang mengoceh sambil menunjuk berbagai kendaraan di jalanan. Sudut bibir Falea terangkat mengukir senyuman. Dia menyukai cara Benigno berinteraksi dengan putranya. Terlihat sekali bila sang bos begitu menyayangi lelaki kecil bermata cukup besar yang sangat montok. Falea menggeleng pelan ketika pertanyaan tentang keberadaan Mama Eugene kembali melintas dalam benaknya. Dia tidak habis pikir, bagaimana seorang Ibu bisa tega meninggalkan anaknya yang masih bayi. Falea memahami bila setiap rumah tangga memiliki masalah masing-masing. Namun, dia tetap tidak bisa mentolerir bila ada anak yang harus menjadi korban. Perempuan bermata cukup besar tertegun kala mengingat, dia tidak menemukan satu foto pun tentang Benigno dan pasangannya di kediaman sang calon bos. Faktor juga masih bertanya-tanya dalam hati tentang status perkawinan pria berparas separuh luar negeri tersebut. "Aku langsung pulang, ya. Eugene udah tidur," tukas Benigno saat mobilnya tiba di tempat tujuan. "Ya, Pak. Terima kasih sudah diantarkan," jelas Falea. "Oh, ya, besok, kuenya diambil Sony." "Saya kirim lewat kurir aja, Pak." "Aman nggak?" "InsyaAllah." "Oke, deh. Jam tiga sudah harus ada di kantor PG. Alamatnya nanti aku share." *** Puluhan pria duduk rapi sepanjang ruangan luas di lantai tiga gedung kantor Perusahaan Gabungan atau PG. Mereka tengah mendengarkan laporan keuangan yang dibacakan bergantian oleh kelima bendahara. Setelahnya, semua ketua tim berdiri dan jalan ke dekat podium. Mereka menunggu para bendahara duduk di tempat masing-masing, kemudian Rahagi, ketua tim satu pada bulan itu, mengambil mikrofon dari podium. "Teman-teman, karena sebentar lagi pergantian bulan, sudah saatnya kita melakukan pemilihan ketua dan bendahara setiap grup," ungkap Rahagi. "Saya dan tim satu, sudah sepakat, bila ketua dan bendahara untuk bulan Oktober sampai Desember, adalah Mas David dan Endaru," lanjutnya. "Dari tim dua, ketuanya, Calvin. Bendahara, Arman," sambung Mikail. "Tim tiga, ketua dan bendaharanya, Mas Yasuo dan Satria," imbuh Theo. "Tim empat. Ketua, Jourell. Dan bendahara, Mahapatih," ungkap Atalaric. "Tim lima. Ketuanya, Mas Giandra. Bendahara, Bro Terren," cetus Myron. "Bentar. Tim dua, nggak salah pilih ketua?" kelakar Dante. "Enggak ada pilihan lain, Ko," balas Alvaro. "Terpaksa milih dia," tambah Yanuar. "Awas aja, nggak bisa atur jadwal dengan benar," cibir Samudra. "Aneh-aneh, totok-ku bicara," seloroh Harry. "Aku deg-degan," canda Prabu. "Next triwulan, tim Aussie dan Marley yang jadi pengurus. Aku cuma sementara," beber Calvin. "Tim Aussie ada dua, Vin. Siapa yang jadi ketua?" tanya Baskara. "Fairel dan Arman adu panco aja. Yang menang, jadi ketua," jelas Calvin. "Ada gitu? Pemilihan ketua dari hasil panco?" ledek Heru. "Diadainlah. Grup kami yang stay di Indonesia cuma delapan. Yang dua lagi kelayapan mulu," balas Calvin. "Sebetulnya nggak masalah tinggal di mana pun. Buktinya, tim kami, Mas Yasuo yang cuma datang tiga bulan sekali, tetap terpilih," imbuh Anto. "Yoih. Biar semuanya merasakan jadi pengurus. Termasuk Adelard yang masih betah nemenin Marley di London," lontar Chandra. "Dari tim empat, Keven dan Bryan juga pernah menjabat jadi ketua. Bisa juga mereka nanganin grup," cakap Trevor yang dibalas anggukan rekan-rekan satu tim-nya. "Grup lima, buat pengurus bulan Januari sampai Maret sudah kami tentukan juga," timpal Linggha. "Bahkan untuk setahun full, udah siap orang-orangnya," sambungnya. "Tim kita emang paling the best," sela Tohpati. "Itu karena ada aku." Terren berpura-pura merapikan kerah kemeja birunya. "Kamu dan Myron itu tim rusuh," tutur Levin. "Aku dan yang lainnya, kalem," sambungnya. "Levin memang paling kalem dari keluarga Aryeswara. Saking kalemnya, udah lima tahun dia jomlo," seloroh Ivan. "Belum ada yang mecahin rekor cucu tertua," celetuk Tristan. "Berapa tahun emangnya?" tanya Argan. "Dua puluh tahun," sahut Ethan. "Heh! Umurku baru tiga puluh lima. Gimana bisa jomlo dua puluh tahun?" protes Benigno. "Benar itu, Ben. Kamu kan, mulai pacaran dari usia lima belas," ujar David. "Cinta monyet," cetus Hadrian. "Nyebut monyet, kok, mandang ke aku?" desak Ivan. "Astagfirullah. Kakak ipar lagi sensi," keluh Hadrian. "Kakak iparmu banyak amat, Ian," ungkap Elang. "Dia mepet sana sini, tapi nggak ada yang mau jadi bini," seloroh Endaru. "Sesama jomlo jangan saling ledek," cakap Tio. "Coba yang punya Adik cewek. Pungutlah aku jadi Adik ipar," kelakar Jourell. "Zaara dan Utari, punyaku. Jangan diganggu!" desis Hadrian. "Kemaruk!" geram Samudra. "Bagi aku satu, Ian," rengek Endaru. "Kamu deketin Adik Fairel aja," usul Hadrian. "Early udah tunangan," kilah Endaru. "Ponakan Mas Linggha." "Langkahi dulu mayat Argan!" pekik Reinar. "Heh! Kok, aku yang kena!" geram Argan. "Kamu yang paling dekat sama Kimora," jelas Reinar. "Dia bukan ngapel Kim, tapi ngapel Talitha," canda Linggha. "Woi! Argan! Masih remaja kinyis-kinyis itu!" teriak Xander. "Om Linggha bongkar rahasiaku." Argan berpura-pura menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Aku cemburu," imbuh Terren. "Aku patah hati," balas Levin. "Aku mau mewek di pojokan," tambah Ethan. "Habis itu, cari cewek lagi," terang Trevor. "Jangan kalah sama Mas dokter kita. Udah punya gebetan dia," sambungnya. "Wuah! Kabar baru." Leandru bergegas menyambangi Benigno dan mengulurkan mikrofon ke depan pria berkemeja putih. "Tolong sebutkan namanya, Mas. Lengkap dengan tanggal lahir, hobi dan kata-kata mutiara," candanya. "Aku nggak mau nyebutin," jawab Benigno. "Kenapa?" "Kalian bakal ngeledekin aku mulu, kalau akhirnya gagal lagi." *** Trevor mendatangi rumah kakaknya pagi itu dengan sedikit cemas. Tidak ada kabar dari Benigno sepanjang malam, justru membuat Trevor dan Jewel khawatir. Tidak pernah berpisah dengan Eugene sejak diizinkan pulang dari rumah sakit, menjadikan mereka kehilangan sosok lelaki kecil. Setibanya di kediaman Benigno, Trevor akhirnya bisa bernapas lega. Eugene terlihat tenang di kereta bayi sambil memegangi botol minuman favoritnya. Panggilan sang vati tidak digubris pangeran kecil berbaju hijau motif garis-garis putih. Sebab Eugene sudah nyaris tertidur. "Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Benigno yang sedang menikmati mi goreng di meja makan. "Jemput Eugene," sahut pria bertubuh tinggi sembari menarik kursi di seberang meja, kemudian duduk dengan santai. "Biarin aja dia di sini. Enggak rewel, kok." "Mutter nanyain terus. Terpaksa saya ke sini." Trevor mengamati putranya yang sudah berhenti menyedot. "Ada nangis, nggak?" tanyanya. "Merengek dua kali tadi malam. Yang pertama karena pup. Yang kedua, mungkin haus. Dikasih botol susunya, langsung diam." "Mas hebat, nggak jijik ngurus pup. Saya awal-awal, eneg juga, tapi akhirnya biasa lagi." "Kamu lupa kalau aku dokter? Waktu kuliah kedokteran dulu, pernah ngurusin Uyut kita yang udah lumpuh." "Ya, dan sekali lagi, Mas hebat. Bisa sabar banget ngerawat ayahnya Opa. Saya nggak terlalu ingat dengan beliau. Karena ke Indonesia cuma pas liburan." "Aku juga, kalau nggak kuliah di sini, mungkin nggak dekat juga dengan Uyut. Kebetulan saja aku bisa ikut merawat beliau di tahun terakhir sebelum wafat." "Mas kenapa nggak kuliah di Amerika aja? Maksud saya, yang kedokterannya." "Sebetulnya aku iseng daftar ujian masuk mahasiswa baru di sini. Tahunya lolos di universitas terbaik. Ya, udah, lanjut," jelas Benigno. "Dari dulu aku memang lebih tertarik ke dunia kedokteran. Ngambil jurusan bisnis di Amerika, itu buat memenuhi keinginan Papi. Selesai wisuda, langsung balik ke sini dan kerja jadi dokter," jelasnya. "Enakan mana, jadi dokter atau pengusaha?" "Dari segi materi, pengusaha lebih menjanjikan. Tapi, aku lebih nyaman jadi dokter. Bisa membantu orang secara pribadi, rasanya bikin nagih karena berhasil jadi orang berguna untuk sesama." Trevor manggut-manggut. "Harusnya Mas lanjut pascasarjana kedokteran." Benigno menggeleng. "Udah terlalu tua. Otakku nggak sanggup harus menghafal ini itu." "Manajemen bisnisnya aja lanjutkan." "Kamu aja, Tre. Kendali perusahaan Opa, biar kamu dan adik-adik yang pegang. Aku bagian keluyuran aja. Pengen ke London, gantiin Marley kalau dia udah minta pulang ke sini." "Kapanlah Mas nikahnya, kalau harus kelayapan terus?" "Doakan yang ini sukses. Nanti, kuboyong dia ke London dan memulai hidup baru, benar-benar hanya berdua." "Mami pasti nggak setuju." "Ada Ethan, dia yang harus nemenin Mami, sampai kapan pun." Sementara itu di tempat berbeda, Falea tengah menikmati hidangan sarapan di kantin rumah sakit, ketika pundaknya ditepuk. Gadis bermata cukup besar menengadah, lalu tertegun ketika mengenali sang tamu. "Hai, Dok," sapa Falea sambil mengulurkan tangan kanan. "Halo, apa kabar, Lea?" tanya pria berkemeja putih pas badan sembari menyalami perempuan di hadapannya. "Kabarku, alhamdulillah, baik." "Syukurlah." "Dokter kapan pulang dari Semarang?" "Dua hari lalu." Gibran Raqqila mengamati perempuan berparas manis yang membuat jantungnya berdebar-debar. "Besok malam, ada acara?" tanyanya. Falea menggeleng. Dia tidak bisa menyahut karena mulutnya penuh makanan. Perempuan berambut sepundak terkesiap saat Gibran mengacungkan sebuah kartu undangan hijau muda. "Retno nikah, dan dia ngundang aku, dengan syarat harus bawa pasangan. So, apa kamu bisa nemenin?" tanya Gibran sembari memandangi perempuan di kursi seberang dengan sorot mata penuh harap. "Ehm, Dokter Retno, ya?" Alih-alih menjawab, Falea justru balik bertanya. "Ya." "Saya pikir, dia dan Dokter adalah pasangan." "Enggak. Mana mungkin aku pacaran dengan teman berantem?" Falea mengulaskan senyuman. Perseteruan antara Retno dan Gibran selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik seluruh karyawan di rumah sakit tersebut. Tidak sedikit yang menduga jika Gibran dan Retno merupakan pasangan kekasih. Kedekatan mereka yang dimulai sejak masih remaja, menjadikan keduanya sangat akrab, sekaligus menjadi musuh bebuyutan yang sering bertengkar karena hal kecil. "Lea, gimana? Bisa?" desak Gibran. "Ehm, ya," sahut Falea. Dia tidak tega menolak permintaan pria berparas manis yang selalu bersikap baik padanya. "Sip. Aku jemput jam tujuh malam." "Oke." "Dress code, merah atau salem." Falea tertegun, lalu berkata, "Saya nggak punya gaun warna itu." Dia berpikir sejenak, kemudian dia ucapan. "Saya bisa pinjam gaun teman kos. Kebetulan ukuran badan kami sama." "Jangan pinjam barang orang. Lebih baik, beli." "Sayang uangnya, Dok. Karena gaun hanya sekali-sekali dipakai." "Aku yang beliin." "Ehh, nggak usah." "Aku yang memintamu ikut. Jadi aku harus bertanggung jawab untuk semuanya." "Beneran nggak perlu, Dok. Saya jadi nggak enak." "Dan aku memaksa." Falea meringis sambil mengeluh dalam hati. Sifat keras hati Gibran sudah terkenal di antara semua perawat. Sudah banyak pegawai yang mental atau terpaksa hengkang, akibat beradu argumen dengan anak pemilik saham rumah sakit tersebut. Tempat Falea bekerja merupakan hasil kerjasama lima dokter senior. Termasuk Ayah Gibran, yakni Safwan Maryanto dan Ayah Yanti, yaitu Azmi Wardana. Gibran merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, sekaligus anak laki-laki satu-satunya. Sebab itu dia harus bekerja keras untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai komisaris, suatu saat kelak. "Berarti aku jemput kamu lebih awal," tukas Gibran. "Jam lima, oke?" tanyanya. "Kenapa harus awal banget?" Falea balas bertanya. "Kita cari gaun buatmu dulu." "Ehm, ya, boleh." "Sekalian ke salon." "Hmm?" "Kamu harus didandanin. Biar lebih wow." Falea enggan berdebat dan hanya mengangguk. Dia menghabiskan makanan dan minuman, kemudian berpamitan pada Gibran yang baru memulai bersantap. Pria bermata tajam mengamati punggung perempuan yang sudah beberapa bulan ke belakang mengganggu pikirannya. Terutama karena Falea menjadi satu-satunya perawat yang tidak berusaha mendekati ataupun menggodanya. *** Grand ballroom di hotel bintang lima kawasan Jakarta Selatan terlihat ramai orang, Jumat malam itu. Pakaian bernuansa hitam, merah dan salem, mendominasi area luas yang tampak gemerlap. Falea jalan bersisian dengan Gibran. Sekali-sekali mereka harus berhenti karena sang dokter hendak menyapa teman-teman ayahnya. Falea mengamati cara berbicara Gibran yang sangat sopan. Terbersit rasa kagum pada lelaki berusia dua puluh sembilan tahun, yang menjadi sosok paling disukai para perempuan single di rumah sakit tempatnya bekerja. Gadis yang rambutnya dibentuk sanggul modern, memindai sekitar. Dia sangat menyukai dekorasi ruangan yang terkesan sangat romantis sekaligus elegan. Falea mengira-ngira besarnya biaya yang dihabiskan pemilik hajat, kemudian menggeleng pelan karena menyadari bila dana itu pasti uang yang tidak berseri, alias sangat banyak. "Falea," sapa suara seseorang yang berhasil mengagetkan sang gadis. "Hai, kita ketemu lagi," cakap pria tadi saat Falea memutar badannya. "Halo, Pak," balas Falea. "Sama siapa ke sini?" tanya Benigno sembari mengamati penampilan perempuan di hadapannya yang terlihat memesona. Falea menunjuk pria bersetelan tuksedo hitam dengan kemeja merah yang tengah membelakanginya. "Dengan beliau, Dokter Gibran," terangnya. "Bapak, sendirian?" tanyanya. "Enggak. Sama teman-teman lama." Benigno mengarahkan dagunya ke sekumpulan orang-orang yang sebagian besar menggunakan pakaian salem dan hitam. Falea mengangguk paham. Meskipun tidak mengenali siapa saja rekan-rekan Benigno, tetapi dia meyakini jika orang-orang tersebut merupakan kumpulan para dokter. Gibran berbalik dan tertegun kala menyaksikan pria berparas separuh luar negeri yang sedang berbincang dengan pasangannya. Pria berbibir penuh menghampiri kedua orang tersebut dan menyalami Benigno. "Sepertinya saya pernah lihat Mas," tutur Gibran setelah menarik tangannya. "Mungkin di rumah sakit," jawab Benigno sembari mengamati pria yang harus diakuinya cukup manis dan gagah. "Hmm, ya. Mungkin begitu." "Boleh saya pinjam Falea sebentar? Ada hal penting yang harus kami bicarakan." Gibran menoleh ke kanan, lalu berkata, "Boleh. Silakan." Benigno mengulaskan senyuman. Dengan santainya dia menggamit lengan Falea yang seketika menjengit. Kemudian Benigno mengajak perempuan bermata besar menuju area lain sambil melirik Falea yang balas mendeliknya cukup tajam. Gibran mengerutkan keningnya. Dia penasaran dengan pembicaraan yang akan dilakukan kedua orang yang telah berhenti di salah satu stand makanan. Gibran juga penasaran dengan sosok Benigno, karena dia meyakini pernah mengenali pria berkumis tipis tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD