bc

CEO DRAMA KING

book_age18+
102
FOLLOW
1.5K
READ
HE
boss
heir/heiress
blue collar
bxg
kicking
addiction
like
intro-logo
Blurb

ARYESWARA THE SERIES KEDUA Kecelakaan motor tunggal yang dialami Benigno Griffin Janitra, membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Falea Zaneta, perawat yang mengurus Benigno, merasa kesal karena pasiennya cerewet dan banyak mengatur. Setelah membaik dan menjalani rawat jalan, Benigno datang ke rumah sakit tempat dirinya diopname sambil menggendong Eugene, keponakannya. Benigno bertemu kembali dengan Falea. Perempuan tersebut salah paham dan mengira Eugene adalah anak Benigno. Pria tersebut justru mengiakan dan mengaku sebagai duda, yang tengah mencari pengasuh buat anaknya. Benigno menawarkan posisi itu pada Falea dengan janji gaji besar dan fasilitas terbaik. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa hari, akhirnya Falea setuju dan ikut pindah ke kediaman Benigno. Saat itulah Falea baru mengetahui jika dirinya telah dibohongi. Namun, Falea tidak bisa langsung berhenti, karena di klausul kontrak disebutkan jika dirinya membatalkan kesepakatan kerja, Falea harus membayar penalti dua ratus lima puluh juta. Falea melakukan berbagai cara agar Benigno yang memecatnya. Namun, sang bos justru kian gencar mendekatinya. Hingga pada suatu kesempatan, Benigno mengungkapkan perasaannya sekaligus melamar Falea. Falea ragu-ragu untuk menerima lamaran Benigno. Terutama karena mereka berbeda keyakinan. Falea juga merasa rendah diri karena strata sosial mereka berbeda. Setelah melakukan salat istikharah, akhirnya Falea menerima pinangan Benigno, dengan dengan syariat pria tersebut harus menjadi pemeluk agama Islam, agar mereka bisa menikah.Tentangan terbesar datang dari kedua orang tua Benigno yang tidak menyetujui bila putra sulung mereka berpindah keyakinan, menjadi batu sandungan terberat bagi Benigno dan Falea.Akankah Benigno dan Falea bisa menggapai mahligai pernikahan?Mampukah mereka menyelesaikan semua persoalan kehidupan? Baca juga cerita-cerita Emak OY lainnya di Innovel ^^

chap-preview
Free preview
He's Not My Type
01 "Suster, lama amat, sih, datangnya?" tanya Benigno Griffin Janitra sembari mengerutkan keningnya. "Sabar, Pak," jawab Falea Zaneta sembari meletakkan nampan stainless steel ke meja samping kanan ranjang pasien. "Aku udah tiga menit mencet bel. Kamunya baru nongol." Falea melirik pasien yang menurutnya paling cerewet. "Pasien saya bukan cuma Bapak. Jadi harap bersabar." "Aku laporin kamu ke direktur!" Falea memutar bola matanya, jengah dengan tingkah pria berkumis tipis yang sudah beberapa hari menyebabkannya senewen. "Lapor aja, Pak. Paling saya cuma kena SP. Atau dipecat. Enggak apa-apa. Tinggal pulang kampung," balas gadis berusia dua puluh lima tahun sambil menyabar-nyabarkan diri. Benigno terdiam. Pada awalnya dia mengira reaksi perempuan muda bermata besar, akan marah-marah seperti yang sudah-sudah. Namun, sepertinya sang perawat tengah baik hati hingga tidak mendebatnya lagi. Pria beralis tebal terus memandangi gerakan lambat Falea saat memeriksa aliran infus. Benigno ingin mengomeli perempuan tersebut karena dia memang tidak suka dengan orang yang lamban. "Mau ngapain?" tanya Benigno saat Falea menyingkap selimut yang menutupi kedua kakinya. "Mau ngecek perbannya. Perlu diganti atau nggak," terang Falea sembari meneruskan kegiatannya. "Karena itulah aku memanggilmu. Ada darah itu. Aku nggak suka!" "Ehm, maaf, Pak, tapi ini cuma setitik." "Tiga centimeter kamu bilang setitik?" "Ya. Ini darahnya memang cuma setitik, tapi kasa-nya menyerap dan jadi melebar." "Ganti!" "Nanti, sama perawat lain. Sebentar lagi tugas saya selesai." "Aku maunya kamu yang ganti!" "Pak, tolonglah. Saya udah capek, bergadang tiga malam berturut-turut. Belum sarapan. Belum mandi. Pengen rebahan. Bobok cantik sampai besok pagi." "Kamu curhat?" "Enggak. Cuma ngeluarin unek-unek aja." "Sudah puas?" "Belum." "Ya, udah, lanjut. Aku dengerin." Ditantang seperti itu menyebabkan Falea terkejut. Dia sama sekali tidak mengira bila pria berparas separuh luar negeri akan berkata demikian. "Enggak, deh." Falea mengecek nampan, lalu bertutur, "Minum obatnya, ya, Pak. Biar cepat sembuh." "Bawa ke sini." "Ehm." "Sekalian minumannya." Falea mengerjakan permintaan pasien paling menyebalkan, tetapi juga paling manis. Gadis berbibir penuh mengerutkan hidungnya saat Benigno meraup semua obat dan menenggaknya sekaligus. "Oke, sudah selesai," ucap Falea. "Saya pamit," lanjutnya. "Besok kamu naik jaga?" tanya Benigno. "Enggak, saya off dua hari." "Aku mau kamu tetap kerja." "Gimana?" "Jadi perawat khususku." Falea menggeleng. Dia tidak mau berlama-lama berada di sekitar Benigno karena khawatir tekanan darahnya akan naik drastis seperti kemarin. "Mohon maaf, saya nggak bisa." "Aku bayar gede." "Tetap nggak bisa." "Kenapa?" "Saya butuh istirahat, Pak. Karena saya manusia, bukan robot." "Tapi ...." "Permisi." Benigno tidak bisa mencegah kepergian perempuan berkulit kuning langsat. Kala Falea menghilang di balik pintu ruang perawatan, Benigno mengulum senyuman. Pria berbibir tipis penasaran dengan sosok Falea yang menurutnya pemberani. Selain itu, perempuan bertubuh cukup tinggi juga sanggup bersilat lidah dengannya dan seolah-olah tidak takut untuk berdebat. Benigno memikirkan cara agar bisa mengenal Falea lebih dalam. Sebab dia penasaran dengan sosok perempuan tersebut, yang seakan-akan tengah menutupi sesuatu. Matahari siang bergeser ke barat. Falea yang tengah terlelap di kamar indekosnya, sama sekali tidak mendengar panggilan sepupunya yang baru pulang dari kantor. Andara memasuki ruangan berukuran tiga kali empat meter yang ditempatinya bersama Falea. Gadis yang berusia setahun lebih muda memandangi Kakak sepupunya sesaat, sebelum meletakkan bungkus plastik bening ke meja berkaki pendek. Andara menggeleng pelan menyaksikan Falea tidur dengan mulut ternganga. Dengkuran halus terdengar dari perempuan berparas manis, dan Andara memahami itu sebagai tanda bila Falea tengah kelelahan. Puluhan menit terlewati, Andara mengguncangkan lengan Falea. Dia menambah kekuatan guncangan saat menyadari jika perempuan yang lebih tua sulit sekali untuk bangun. "Kak, oii! Udah nak magrib," tukas Andara menggunakan bahasa Melayu Kalimantan Barat, daerah asalnya dan Falea. "Hmm," balas Falea. "Bangonlah. Tak boleh tidok nak malam. Nanti bangunnye cam lupa waktu." "Capek." "Bangonlah dulu. Nanti lanjot tidok agik." "Usah nak beleter. Cam Emak, jak." "Tentulah cam Emak. Aku, kan, anaknye." Falea mengerjap-ngerjapkan mata seraya mengulum senyuman. Dia memaksa mengangkat kelopak mata yang masih terasa berat. "Mukemu merengot, emang cam Emak," ledek Falea. "Bising, jaklah. Yok, makan," ajak Andara. "Beli ape?" "Paket ayam bakar." "Tempat biase?" "Aok." "Sambalnye banyak ndak?" "Tuh." Andara menunjuk mangkuk penuh sambal. "Nasi?" "Ade. Khusus buat Kakak, dua porsi." "Pandainye." "Iyelah. Aku tahu Kakak agik kebuluran." Andara terkekeh saat Falea mencebik. Keduanya menikmati hidangan sambil berbincang mengenai keseharian mereka. Tawa Andara kembali menguar saat Falea menceritakan tentang sosok pasien rese. "Kupikir, die sengaje ngerjain Kakak," tukas Andara setelah tawanya berhenti. "Hmm?" Falea tidak bisa menjawab karena mulutnya penuh makanan. "Ape die naksir, ye?" "Ngade-ngade jak kau, nih. Mane pula die naksir." "Bise jak, kan. Kakak manis, tinggi, pintar." "Tadaklah. Aku tak suke om-om." "Ha?" "Die macam tue." "Berape umurnye?" "Tige puluh lima." "Belum tue pun. Lima puluh, itu baru tue." "Tetap tue bagiku. He's not my type." Sementara itu orang yang tengah diperbincangkan kedua perempuan bersaudara, sedang memandangi layar ponselnya. Benigno menggerutu, karena dirinya masih harus beristirahat di rumah sakit, hingga tidak bisa mengikuti acara kemping tim PG. Sejak beberapa tahun terakhir, pria bermata sendu tergabung dalam perusahaan gabungan yang disingkat PG. Kelima puluh anggota PG merupakan para pengusaha muda yang tengah giat mendobrak pasar bisnis internasional. Benigno dan kesembilan rekannya tergabung di grup tiga. Sementara Ethan, adiknya, dan Trevor, sepupunya, menjadi anggota grup empat. Kedua sepupu lainnya, yakni Levin dan Terren tergabung di grup lima. PG memiliki PC alias perusahaan cabang, baik bentukan baru ataupun perusahaan lama yang ikut bergabung dalam koalisi tersebut. Setiap anggota PG diharapkan bisa mengarahkan maksimal tiga PC. Bila terjadi kendala, maka akan dikerjakan bersama. Pintu ruang perawatan terbuka dan kedua saudara laki-laki Benigno muncul seraya tersenyum. Levin mengangkat tas merah yang diduga cucu tertua keluarga Aryeswara dan Janitra, sebagai makanan. "Ini pesanan, Mas," tutur Levin sembari meletakkan tas di meja dekat tempat tidur. "Thanks," sahut Benigno. "Isinya apa?" tanyanya sambil mengambil wadah makanan teratas. "Rujak," jelas Levin. "Asinan," tambah Ethan. "Empek-empek." "Siomay." "Batagor." "Jadi pengen. Yuk, beli!" "Order aja, aku males keluar lagi." "Kalian ngaco! Ini isinya tumis baby kailan, gurame sama sambal," sela Benigno sambil mendelik pada kedua lelaki yang sama-sama mengenakan jaket jin hitam. "Itu makanan sehat, Mas," timpal Ethan sambil mengangkat wadah kedua dan membuka tutupnya. "Ini, salad buah. Mami cuma pakai minyak zaitun. Tapi aku udah nyiapin thousand island, mayones dan sambal sachet," terangnya sembari mengangkat benda-benda yang dimaksud. "Yang itu, isinya apa?" Benigno mengarahkan dagunya ke wadah makanan ketiga yang berbentuk persegi panjang. "Kentang goreng, nugget, sosis, jagung goreng dan crab stick." "Coba buka." Ethan mengerjakan permintaan kakaknya. "Tuh, bener, kan." "Gundulmu! Itu keripik semua!" "Kayaknya aku salah bawa toples. Ini mungkin punya Papi yang tadi juga keluar rumah." "Emang Papi ke mana?" "Main golf sama teman-temannya." "Malam-malam?" "Biarin ajalah." "Papi lagi uji nyali buat ketemu kunti bogel," celetuk Levin sambil memasang ekspresi wajah serius. "Yoih, beliau nggak mau kalah sama anaknya. Di sini Mas Ben ketemu suster ngesot," tambah Ethan. "Suster ngesot?" Benigno mengernyitkan keningnya. "Perawat yang kata Mas, rada judes itu," terang Levin. "Oh, Falea." "Cie, udah kenalan dia." "Aku lihat name tag-nya." "Manis, tuh, Mas. Sabet!" "Dikata jemuran?" "Kalau nggak mau, aku aja yang maju." "Heh!" *** Kehadiran Falea pagi itu membuat Benigno senang. Sudah dua hari pria berkaus putih tidak melihat perempuan berbadan ramping yang tengah berbincang dengan Dokter Yanti. Benigno mengamati perempuan bermata besar. Dia mengangkat alis ketika Falea balas menatapnya saksama. Keduanya saling memandangi selama beberapa saat, sebelum Falea memutus pandangan untuk mengerjakan permintaan Dokter Yanti. "Ini sudah kering," tukas perempuan berjilbab putih sembari mengecek luka di kaki pasiennya. "Jahitannya kurang bagus, Dok," seloroh Benigno. "Saya lupa bawa mesin obras." "Enggak sekalian bordir?" "Itu ide bagus. Nanti saya coba kalau kamu nyoba ilmu lagi dengan pembatas jalan." "Waduh! Jangan doain aku dirawat lagi, Mbak." "Kamunya ngeyel. Sok-sokan ngebut." "Sudahlah Mas John marahin aku, sekarang Mbak juga." "Kami suami istri. Jadi harus kompak, terutama menghadapi teman rese kayak kamu." "Aku pria baik-baik." "Oh, ya? Terus, siapa yang ngencanin Kakak beradik sekaligus?" "Itu Ben yang dulu. Sekarang aku sudah tobat." Yanti mengerutkan hidungnya, kemudian mendengkus. "Sudahlah, kamu boleh pulang," ungkapnya. "Aku masih betah." "Luka sudah kering. Jahitannya bagus. Benjolan di kening juga sudah kempes. Apalagi yang mau diobati?" "Hatiku." Yanti seketika terdiam, kemudian dia manggut-manggut. "Yang itu, saya nggak punya obatnya, Ben." "Ya. Aku paham." "Lupakan dia dan lanjutkan hidupmu." "Sedang berusaha." "Atau, mau saya kenalkan sama keluarga Mas John? Ada beberapa sepupunya yang belum menikah." "Nanti saja. Aku sudah menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya." "Oh, ya?" "Hu um." Yanti menyunggingkan senyuman. "Saya ikut senang. Semoga kali ini berhasil." Benigno mengangguk mengiakan ucapan rekan sejawat yang merupakan Kakak kelasnya saat kuliah. Meskipun beda jurusan, tetapi mereka cukup akrab. Keduanya melanjutkan percakapan dengan pokok bahasan berbeda sembari sekali-sekali terkekeh. Benigno dan Yanti sama sekali tidak menyadari bila Falea tengah terkejut, ketika keduanya menceritakan teman-teman yang juga berprofesi sebagai dokter. Falea tidak menyangka jika Benigno juga seorang dokter. Walaupun beda jurusan dengan Dokter Yanti, keduanya dan Dokter John, suami Yanti, masih berteman. Gadis berbibir penuh akhirnya memahami kenapa Benigno sangat cerewet. Sudah menjadi rahasia umum dalam dunia medis, jika pasien paling menyebalkan adalah seorang dokter. Kedatangan Ursula dan Laksita, Mami dan Tante Benigno, menjadikan obrolan berubah arah. Dokter Yanti meladeni pertanyaan kedua perempuan tua yang sudah dikenalnya sejak dulu. Setelah Dokter Yanti dan Falea keluar, Ursula memanggil kedua pengawal keluarga Janitra dan Aryeswara. Sony dan Novan bergegas memasuki ruangan untuk menghadap putri tertua Edison Aryeswara. "Tolong bereskan barang-barang dan angkut ke mobil," pinta Ursula pada kedua lelaki berbeda tampilan. "Pak Ben sudah boleh pulang, Bu?" tanya Sony, ketua regu pengawal keluarga tersebut. "Ya. Nanti tinggal rawat jalan, karena Yanti mau memastikan kepalanya yang terbentur, tidak kenapa-kenapa," terang Ursula. "Mbak Yanti mendramatisir," keluh Benigno. "Aku beneran nggak apa-apa. Pusingnya juga sudah hilang," jelasnya. "Tetap harus diperiksa, Mas. Daripada nanti jadi masalah," kukuh Ursula. "Betul itu. Jangan remehkan kalau kepala yang terbentur," sela Laksita yang berada di sofa bersama Kakak iparnya. "Ya, nanti jadi seperti Abraham," balas Ursula. "Abraham itu helmnya terlempar. Aku, kan, nggak," kilah Benigno. "Pokoknya turuti aja permintaan Yanti. Dia cuma mau meyakinkan diri jika kondisi Mas benar-benar tidak ada masalah!" tegas sang mami yang menyebabkan semua orang terdiam. Puluhan menit terlewati, kelompok kecil pimpinan Sony melintas di lorong khusus kelas VIP. Benigno yang berada di kursi roda yang didorong Novan, meminta ajudannya berhenti saat Falea melintas. Benigno memanggil perempuan muda, kemudian mengulurkan tangan kanannya. "Aku mau pamit," tukasnya. Falea sempat memandangi tangan pria tersebut, kemudian menjabatnya seraya memaksakan senyuman. "Selamat jalan, dan semoga segera pulih," jawabnya. Benigno mengangguk sembari menarik tangannya. Kedua orang tersebut sempat beradu pandang, sebelum Benigno meminta Novan mendorongnya menjauh. Falea membalas senyuman kedua perempuan tua yang diketahuinya sebagai keluarga pasien rese. Gadis berambut sepundak menghela napas lega. Dia senang Benigno akhirnya pulang, hingga mereka tidak akan kembali bertemu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
146.8K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
148.9K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
3.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
205.0K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
282.7K
bc

TERNODA

read
191.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
221.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook