Dia ... pergi

1873 Words
02 Kelegaan Falea ternyata hanya bertahan tiga hari. Siang itu, dia dikejutkan dengan kabar dari Dewi, rekannya, yang menyebutkan bahwa Benigno telah datang dan mencarinya. "Apa?" tanya Falea sembari membulatkan matanya. "Buruan temuin, Fa," sahut Dewi sembari meraih sendok baru dan mengambil kuah soto ayam dari mangkuk temannya. "Makananku belum habis." "Nanti bisa disambung lagi." "Disambung gimana? Kamu sibuk nyeruput kuahnya." "Entar kubeliin, yang ini, buatku." "Tapi ...." "Buruan! Nanti kamu disemprot Dokter Yanti, karena orang itu ada di ruangannya." Falea mendengkus kuat. Dia berdiri dan jalan menjauh sambil menggerutu dalam hati. Falea bingung kenapa Benigno ingin menemuinya. Terutama karena dia sebetulnya enggan untuk kembali berjumpa dengan pria berkumis tipis. Falea memaksa kakinya untuk terus melangkah menuju ruang kerja Dokter Yanti yang berada di lantai dua. Gadis berbibir penuh menaiki tangga sambil terus mengomel dalam benaknya. Perempuan berbaju putih khas perawat akhirnya tiba di depan pintu bercat hijau muda. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kemudian mengangkat tangan kanan dan hendak mengetuk pintu ketika benda itu terbuka dari dalam. Seorang pria muncul seraya tersenyum. Dia menutup pintu, lalu mengamati perempuan yang tetap terlihat ayu, meskipun hidung dan sekitar pipinya terlihat berminyak. Falea terkesiap menyaksikan penampilan Benigno yang berbeda dari tiga hari lalu. Poni panjang lelaki tersebut telah dipangkas. Setelan jas hitam yang dikenakan Benigno menjadikan Falea terpukau. Sepasang mata bermanik cokelat balas memandangi perempuan muda yang masih termangu. Benigno melirik ke bayi berusia tujuh bulan yang tengah bergerak-gerak dalam gendongannya. "Eugene, kenalkan, ini, Falea," ujar Benigno sambil memperhatikan perempuan di hadapannya. "Falea, perkenalkan, ini Eugene," terangnya. "Ehm, halo, Eugene," balas Falea setelah bisa mengatasi keterkejutannya. "Anak Bapak, ya?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanan untuk memegangi jemari sang bayi. Benigno terdiam sejenak. Tiba-tiba dia memiliki ide untuk mengerjai sang perawat. "Ya. Eugene anakku." "Ibunya, mana?" Benigno mengubah raut wajahnya hingga terlihat sedih. "Dia ... pergi." "Ke mana?" "Enggak tahu." Falea terperangah. "Apa sudah lama perginya?" "Sekitar tiga bulan." Mulut perempuan muda menganga, dan lekas dikatupkannya. "Maaf, saya nggak tahu, kalau ...." "Enggak apa-apa," potong Benigno. "Ya, Sayang. Kita nggak apa-apa walaupun Mama nggak ada," lanjutnya sambil mengangkat Eugene dan mengecup puncak kepala bayi berbaju biru motif panda. Falea memandangi kedua lelaki berbeda generasi sembari membatin. Dia merasa kasihan pada Eugene yang harus kehilangan sosok Mama. Padahal bayi tersebut pasti masih membutuhkan kehadiran perempuan yang telah melahirkannya. "Kata Dewi, Bapak nyari saya," cetus Falea setelah bisa menguasai diri. "Ya, betul," jawab Benigno. "Ada yang bisa saya bantu?" Benigno mengangguk. "Kita cari tempat nyaman dulu. Eugene mulai gelisah." "Ah, ya." Falea memaksa otaknya berpikir cepat, lalu berkata, "Mari, ikut saya." Perempuan bersepatu pantofel hak tipis jalan terlebih dahulu. Benigno mengekori sambil memikirkan cara agar Falea bisa lebih gampang ditemui. Sudut bibirnya mengukir senyuman saat menemukan ide unik yang diyakininya akan berhasil. Setibanya di ruang tunggu dekat ruang praktik dokter spesialis anak, Falea dan Benigno duduk dengan jarak satu bangku yang memisahkan mereka. Falea tersenyum ketika Eugene mengulurkan kedua tangan seolah-olah meminta berpindah gendongan. Benigno memberikan keponakannya yang segera diambil Falea. Perempuan berhidung tidak terlalu mancung terlihat santai menggendong bayi, seakan-akan sudah sering melakukannya. "Begini, Falea. Sebetulnya aku datang untuk menawarkan pekerjaan buatmu," ungkap Benigno yang menyebabkan gadis di hadapannya tertegun. "Pekerjaan apa, ya, Pak?" tanya Falea. "Jadi pengasuh Eugene." Perempuan berkulit kuning langsat terdiam. Dia tidak menduga bila Benigno akan menawarkan hal itu padanya. "Mohon maaf, Pak. Tapi, saya perawat. Bukan baby sitter." "Ya, aku tahu. Tapi aku yakin, kamu bisa merawat anakku dengan baik. Eugene pun langsung nyaman denganmu." "Tapi ...." "Aku berani memberimu gaji tinggi." "Ehm, begini, Pak. Saya masih terikat kontrak kerja dengan rumah sakit ini." "Sisa tiga bulan lagi, kan?" "Ya, dan saya berniat untuk ...." "Dokter Yanti yang akan mengurus tentang kontrak." "Maksudnya?" "Sisa tiga bulanmu itu akan dipindahkan ke tempatku." "Bapak, saya ...." "Gajimu dua kali lipat dari yang sekarang. Plus beberapa bonus lainnya." "Ehm, saya pikirkan dulu." "Oke, kutunggu kabar darimu maksimal tiga hari dari sekarang." *** Sepanjang hari pikiran Falea terus berputar. Tawaran pekerjaan dari Benigno cukup menggiurkan, tetapi dia tidak yakin akan mampu terus berdekatan dengan pria tersebut. Apalagi harus tinggal serumah. Malam kian larut. Namun, mata Falea tak jua terpejam. Dia benar-benar bingung harus mengambil keputusan apa. Terutama karena sebenarnya dia memang membutuhkan lebih banyak penghasilan, untuk membantu perekonomian keluarga di kampung halaman. Kendatipun posisinya adalah anak kedua, tetapi Falea merasa harus ikut bertanggung jawab atas kehidupan keluarga, terutama kedua orang tuanya. Fadli, Abang Falea, telah menanggung biaya kuliah Adik bungsu mereka, yakni Fattan. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Falea berkeyakinan bila dirinyalah yang harus memastikan kecukupan kedua orang tua mereka, Firdaus dan Darnila. Kendatipun Firdaus memiliki usaha sendiri skala kecil, tetapi Falea tahu bila penghasilan bapaknya hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi kondisi kesehatan Darnila yang turun naik, seusai operasi pemasangan ring jantung dua tahun silam. Tentunya hal itu akan menambah beban pikiran sang bapak. "Kakak, nih. Dari tadi bolak-balik, jak," keluh Andara yang tidur di sisi kiri kasur. "Aku masih kepikiran soal tawaran Pak duda itu," terang Falea. "Masih bingung?" "Hu um." "Salat istikharah." "Macam nak nentukan jodoh pula." "Bise dipake buat menguatkan hati dalam mengambil keputusan." Falea terdiam sejenak, lalu berujar, "Aoklah. Nanti habis salat subuh." "Ngape tak sekarang?" "Tak kuase nak bangun agik." "Pemalas." Falea menepuk lengan adiknya yang tengah tersenyum. "Udah mulai ngantok aku. Kalau wudu, jadi segar agik mate." "Aoklah. Tidok." "Alarm udah disetel?" "Ye." Andara memutar badan memunggungi Falea. Gadis yang lebih muda segera terlelap. Sementara sang kakak membutuhkan waktu lebih lama sebelum akhirnya benar-benar tidur. Pada tempat berbeda, Benigno tengah membujuk Adik sepupu dan iparnya, agar diperbolehkan meminjam Eugene selama sebulan ke depan. Trevor dan Jewel saling menatap. Mereka sama-sama bingung karena permintaan Benigno yang sangat aneh. "Sebetulnya, ada apa, Mas?" tanya Trevor sambil memandangi lelaki yang lebih tua dengan saksama. "Aneh banget, Mas tiba-tiba mau minjam Eugene," lanjutnya. "Aku ... tengah naksir seseorang," jelas Benigno. Dia memutuskan untuk berterus terang daripada terus didesak. Trevor menaikkan alisnya. "Beneran?" "Ya." Tiba-tiba Trevor bertepuk tangan. "Akhirnya, ada yang bisa mencairkan hati Mas setelah hampir delapan tahun beku," selorohnya. "Masih belum yakin, sih. Tapi aku memang tertarik padanya." "Siapa namanya?" "Falea." Trevor mengerutkan keningnya. "Kayak pernah dengar." "Oh, perawat itu, ya?" tanya Jewel. "Yang mana, sih?" desak Trevor. "Matanya lumayan gede. Cantik, dan ... kupikir memang tipe kesukaan Mas Ben," terang Jewel. "Kamu tahu tipe favoritku?" celetuk Benigno. "Ya. Aku pernah lihat foto-foto Mas dan beberapa mantan pacar. Ciri-ciri mereka hampir sama. Matanya besar, dan kulitnya ... sedikit lebih gelap dari kuning langsat. Tapi tetap terlihat terang," ungkap Jewel. "Maksudku, bukan kecokelatan gitu," sambungnya. Benigno manggut-manggut. "Ya, kamu benar." "Saya masih nggak bisa mengingat orangnya yang mana," sela Trevor. "Nanti kamu bisa lihat sendiri," cetus Benigno."Karena itulah aku mau minjam Eugene. Sebagai alasan biar dia mau kerja di rumah," bebernya. "Kerja? Sebagai apa?" tanya Trevor. "Pengasuh Eugene." Trevor dan Jewel sama-sama terdiam. Mereka kembali saling menatap, sebelum serentak terbahak. Benigno tersenyum malu. Dia menggaruk-garuk kepala sambil menahan diri untuk tidak menjitak pasangan di hadapannya. "Mas yakin, sanggup merawat Eugene?" tanya Trevor setelah tawanya lenyap. "Karena itu, aku butuh bantuan dia," jelas Benigno. "Kalian kerja aja. Pagi sampai sore, Eugene di rumahku," sambungnya. "Lagi pula, rumah kalian ini belum selesai pengerjaannya. Tukang bolak-balik masuk. Debu dan pastinya berisik," ungkapnya. "Iya, sih. Sarmi sering ngeluh kalau Eugene tidurnya terbangun-bangun karena suara alat-alat tukang." "Nah! Jadi pas, kan? Eugene di rumahku aja. Sarmi boleh ikut juga buat memantau." Trevor mengarahkan pandangan pada istrinya. "Gimana, Mutter?" tanyanya. "Kupikir itu ide yang bagus," jawab Jewel. "Rumah Mas Ben nggak jauh dari sini. Eugene bisa diambil kapan pun aku ada di rumah," bebernya. "Oke." Trevor kembali memandangi kakaknya, kemudian bertutur, "Pastikan dulu, dia bersedia atau nggak." "Ya, besok aku tanya dia lagi," balas Benigno. "Mas, tolong sediakan kulkas mini. Khusus untuk menyimpan ASIP," pinta Jewel. "Sip, ada lagi?" tanya Benigno. "Mas mesti beresin kamar. Aku mau menempatkan barang-barang dari kado yang belum dipakai." "Pakaiannya?" "Belilah. Kan, Mas, Papa baptisnya." *** Hari berganti. Waktu yang diberikan agar Falea bisa memikirkan tawaran pekerjaan, telah usai. Pagi menjelang siang, Benigno menelepon gadis tersebut. Dia memandangi langit terang Kota Jakarta dari jendela besar ruang kerjanya, yang berada di lantai delapan gedung Janitra Grup. Detik demi detik menunggu panggilannya diangkat, menyebabkan Benigno bertanya-tanya dalam hati, ke mana Falea. Sekian deringan, perempuan bermata cukup besar tetap tidak menjawab panggilan. Pria berkemeja hijau muda menekan tanda merah pada layar ponsel. Dia menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan. Benigno akhirnya mengetikkan pesan dan mengirimkannya pada Falea. Sekian menit berlalu, centang dua abu-abu tak kunjung berubah menjadi biru. Benigno berdecih, lalu memasukkan ponselnya ke tas kerja. Dia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan daripada membuang waktu menunggu pesannya dibalas. Sementara itu di rumah sakit, Falea baru kembali ke meja khusus perawat setelah menyiapkan peralatan medis untuk pasien baru yang akan menempati kamar paling ujung. Gadis berbibir penuh meraih ponselnya yang tengah diisi daya. Dia menggulirkan jemari untuk mengecek pesan-pesan yang masuk, sebelum berhenti pada satu nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Falea menekan pesan yang ternyata berasal dari Benigno. Dia bingung, bagaimana caranya pria berkumis tipis bisa mendapatkan nomor teleponnya. Sekian saat terlewati, Falea manggut-manggut karena yakin bila Dokter Yanti yang telah memberikan nomornya pada sang duda. Gadis bertubuh cukup tinggi memutuskan untuk membalas pesan itu. Dia mengetik dengan cepat dan membacanya ulang, sebelum mengirimkan pesan tersebut pada nomor kontak yang disimpannya dengan nama, Duda Rese. Falea : Selamat siang. Mohon maaf, pesan Bapak baru terbaca. Perempuan berseragam perawat meletakkan ponselnya kembali saat melihat kedua rekannya memasuki lorong sambil mendorong brankar. Dia bergegas ke kamar ujung dan bersiap-siap membantu memindahkan pasien dari brankar ke ranjangnya. Detik berlalu menjadi menit. Jam berputar dengan cepat mengikuti rotasi bumi. Benigno baru membaca pesan balasan dari Falea, setelah dia bersantap siang di rumah makan favoritnya yang berada di seberang gedung kantor. Benigno : Ya, nggak apa-apa. Falea : Oke. Benigno : So, bagaimana dengan tawaranku? Falea : Saya harus memastikan gajinya dulu, Pak. Benigno : Seperti yang kujanjikan kemarin. Dua kali lipat dari pendapatanmu sekarang. Falea : Jam kerjanya? Benigno : Sepuluh jam sehari. Maksimal dua belas jam. Pokoknya tunggu sampai aku ada di rumah. Falea : Berarti saya nggak perlu menginap. Benigno : Ya, kecuali darurat. Falea : Baik. Benigno : Kapan kita bisa bertemu? Di luar rumah sakit tentunya. Falea : Sore ini. Benigno : Tempatnya? Falea : Bapak yang tentukan aja. Saya bingung. Benigno : Oke, nanti aku share location. Falea : Ya. Benigno menuntaskan percakapan pesan sambil mengulum senyuman. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan perempuan berparas manis yang membuatnya penasaran. Pria bermata sendu meletakkan ponselnya ke meja. Dia memandangi pigura emas di dekat tempat tisu, di mana dirinya tengah merangkul seorang perempuan berambut ikal yang sedang tersenyum lebar. Benigno memperhatikan sosok kekasihnya yang wafat delapan tahun silam, akibat over dosis obat penenang. Terbayang kembali malam di mana dia ditelepon Adik perempuan tersebut, yang mengabarkan jika kakaknya tengah berada di IGD rumah sakit swasta terdekat dengan kediaman mereka. Benigno datang ke tempat itu bersama Ethan dan Manuel, sepupu Benigno dari pihak papanya. Ketiganya hanya bisa terpaku saat tim dokter berusaha menyelamatkan nyawa Yemima. Akan tetapi, takdir berkata lain. Perempuan kesayangan Benigno akhirnya mengembuskan napas terakhirnya, dalam pelukan pria tersebut. Raungan Benigno yang kehilangan kekasih hati menjadi satu-satunya hal yang diingatnya. Sebelum dunia berputar dan semuanya menjadi gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD