05
"Mami, minggu depan ada acara kumpul-kumpul dengan genk-nya. Beliau mau pesan bingke," jelas Benigno sembari menuangkan sambal ke mangkuk makanannya.
"Berapa porsi?" tanya Falea.
"Sekitar lima puluh."
"Diantarkan jam berapa?"
"Jam satu. Alamatnya nanti aku share."
"Oke. InsyaAllah, saya siap."
"Aku DP berapa?"
"Yang kemaren masih ada sisa, Pak. Enggak perlu DP."
Benigno mencoba kuah sop kepiting di mangkuknya, kemudian mengangguk mengiakan ucapan perempuan bergaun merah.
"Fa, kalau es lidah buaya, ada nggak yang jual di sini?" tanya pria bersetelan jas salem.
"Kalau nggak salah, ada, di online shop," terang Falea.
"Bisa sekalian dipesankan? Aku tinggal transfer."
"Oke. Mau berapa pack?"
"Satu pack, isi berapa?"
"Empat."
"Berarti lima puluh juga. Buat stok di rumah."
"Baik."
"Oh, ya, kalau sudah siap masuk kerja, chat aku. Biar Fitri mengemasi kamar tamu."
"Saya nggak langsung pindah, Pak."
"Ya, tapi kamu pasti pengen istirahat. Enggak mungkin tidur di kamar Eugene, sudah penuh barang."
"Eugene punya kamar sendiri?"
"Yups. Di sebelah kiri kamarku. Ada connecting door tembusan."
"Berarti Bapak sudah melatihnya mandiri sejak dini."
"Sebetulnya kalau malam, dia tidurnya sama aku. Jadi kalau merengek, aku langsung bangun dan ngecek."
Falea tertegun. Dia tidak menduga jika Benigno bersedia mengasuh anaknya saat malam. Falea kembali mempertanyakan Ibu Eugene. Dia menggerutu dalam hati karena tidak menyukai keputusan perempuan tersebut pergi dari rumah.
Panggilan Gibran memutus lamunan Falea. Dia memperhatikan pria berparas manis yang telah berada di samping kirinya. Falea terkejut menyaksikan tatapan tajam yang Gibran tujukan pada Benigno.
"Lea, kita harus pergi," ajak Gibran.
"Ehm, ya," sahut Falea. Dia mengalihkan pandangan pada Benigno yang balas menatapnya saksama. "Saya pamit, Pak," tuturnya.
"Oke, sampai ketemu di rumah, minggu depan," balas Benigno seraya mengulaskan senyuman.
Falea mengangguk mengiakan. Dia mengayunkan tungkai bersisian dengan Gibran. Falea melirik lelaki bermata cukup besar yang memegangi tangan kanannya. Gadis berbibir penuh spontan menggeser tangan agar tidak digenggam Gibran.
Benigno mengamati pasangan tersebut selama beberapa saat. Kemudian dia menghabiskan makanan dan berpindah untuk mencari minuman serta menu penutup.
"Apa maksud pria itu?" tanya Gibran, setelah dia dan Falea memasuki mobilnya.
"Gimana, Dok?" Falea balik bertanya karena bingung dengan arah pertanyaan lelaki tersebut.
"Dia bilang, akan ketemu kamu di rumahnya."
"Oh, itu, saya akan resign dan kerja di rumah beliau."
"Resign?"
"Ya."
"Apa kontrakmu sudah selesai?"
"Belum, sisa tiga bulan lagi."
"Berarti nggak bisa berhenti, dong."
"Dokter Yanti sudah ACC, Dok. Beliau dan Pak Benigno adalah teman lama."
"Hmm, pantas saja aku merasa familiar dengan wajahnya. Ternyata pernah kulihat di ruang kerja Mbak Yanti." Gibran mengerutkan keningnya. "Kamu kerja apa di tempatnya?" tanyanya.
"Pengasuh anaknya."
"Berapa orang?"
"Satu, masih bayi. Sekitar tujuh bulanan."
"Bukan basic ilmumu jadi baby sitter."
"Betul, tapi saat ini saya butuh uang. Gaji yang beliau tawarkan, sangat bagus. Apalagi jam kerjanya juga nggak berat."
"Berapa besar gajimu nanti?"
"Dua kali lipat dari yang sekarang."
"Kamu butuh uang buat apa?"
"Membantu orang tua saya, Dok."
"Sebetulnya nggak perlu kerja di sana. Aku bisa memberimu jumlah yang sama dengan yang ditawarkannya."
"Terima kasih, Dok. Tapi, saya lebih baik mencari uang dari hasil kerja. Daripada harus menadah tangan dari orang lain."
"Kamu bisa kerja padaku."
"Jadi apa?"
"Pasangan."
Falea tertegun, lalu bertutur, "Dokter senang bercanda juga ternyata."
"Aku serius."
"Jangan melambungkan saya, lalu dihempaskan."
Tiba-tiba Gibran menepikan mobil dan berhenti. Dia menoleh ke kiri, kemudian berkata, "Aku serius, Lea. Jadilah pasanganku."
"Maksudnya?"
"Kekasih. Kalau kita berjodoh, semoga jadi istriku."
Falea mengerjap-ngerjapkan matanya. Perempuan bergaun merah sama sekali tidak mengira bila Gibran berani mengatakan itu. Falea menjengit saat pria bertuksedo hitam meraih jemarinya dan menggenggam dengan erat.
"Aku menyukaimu, Lea. Kamu mau, kan, jadi pacarku?" tanya Gibran sembari memandangi perempuan di hadapannya lekat-lekat.
Falea menelan ludah. Dia bingung harus menjawab pertanyaan tersebut, karena hatinya sama sekali tidak berdesir. Perlahan Falea menarik tangannya, lalu mengarahkan pandangan ke depan.
"Mohon maaf, Dok. Tapi untuk saat ini saya belum berniat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun," tukas Falea.
"Kenapa?" tanya Gibran.
"Saya tengah fokus bekerja dan mengumpulkan uang buat keluarga. Bila mereka sudah berkecukupan, baru saya akan memikirkan diri sendiri."
"Munafik!" desis Gibran yang mengagetkan Falea. "Kamu cuma jual mahal. Sama aja kayak perempuan-perempuan lainnya!" geramnya.
Falea mengernyitkan keningnya sambil menatap pria yang tengah menggertakkan gigi. "Saya nggak bermaksud begitu. Dokter salah paham," sanggahnya.
"Sudahlah! Aku nggak mau dengar apa pun pembelaanmu!"
Falea terkejut ketika Gibran kembali melajukan kendaraan dengan tergesa-gesa. Dia mulai takut saat kecepatan mobil bertambah, dan Gibran terlihat mengeraskan rahangnya.
Falea mencengkeram sabuk pengaman sambil berdoa dalam hati agar mereka tidak mengalami kecelakaan. Dia tidak menduga jika Gibran ternyata seorang yang temperamental, dan itu menyebabkannya kian takut.
Setibanya di depan indekos, Falea melepaskan sabuk pengaman. Dia keluar sambil mengucapkan terima kasih. Baru saja pintu tertutup, Gibran langsung melaju kencang meninggalkan Falea yang masih termangu.
***
Jalinan waktu terus bergulir. Falea berulang kali bertemu dengan Gibran di rumah sakit, tetapi pria tersebut mengabaikannya. Tidak ada lagi senyuman dan sapaan hangat dari sang dokter, menjadi Falea merasa tidak enak hati.
Sore itu, Falea keluar dari pintu utama rumah sakit. Dia jalan bersama Dewi sembari berbincang. Kedua perempuan sama-sama terkejut ketika pintu seunit mobil Mercedes-Benz V-Class hitam terbuka dan seorang pria keluar.
Falea spontan menyunggingkan senyuman menyaksikan Benigno tengah menghampirinya. Perempuan berambut sepundak menyalami pria berkemeja biru, kemudian menunggu Benigno berbicara terlebih dahulu.
"Fa, bisa ikut aku?" tanya Benigno, sesaat setelah Dewi bergerak menjauh.
"Ke mana, Pak?" Falea balas bertanya.
"Rumah. Eugene demam."
Falea membulatkan matanya. "Aduh, kasihan. Sudah dibawa ke dokter?"
"Aku, kan, dokter."
"Ehm, ya, saya lupa."
"Tapi aku memang kurang paham tentang bayi."
Falea tertegun, kemudian dia mengomel dalam hati karena pria berparas separuh luar negeri di hadapannya, masih saja menyebalkan. "Kondisinya gimana?" tanyanya setelah bisa menenangkan diri.
"Agak rewel dia. Sarmi panik karena nggak biasanya Eugene begitu. Aku gendong pun masih merengek."
"Mungkin dia butuh ... pelukan ibunya."
Benigno terdiam, kemudian mengangguk. "Sayangnya, Mama Eugene nggak ada. Aku bingung mau minta tolong pada siapa." Dia mengamati perempuan yang anehnya tetap ayu meskipun wajahnya berminyak. "So, bisa bantu?" desaknya.
"Ya, Pak."
Keduanya memasuki mobil yang dikemudikan Sony. Kendaraan bergerak keluar area parkir, kemudian sang sopir menambah kecepatan kala mobil sudah berada di jalan raya.
Benigno berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Dia sengaja tidak mengajak Falea berbincang, agar terkesan tengah panik.
Gadis berhidung bangir mengirimkan pesan pada Andara untuk mengabarkan jika dirinya kemungkinan akan pulang terlambat, karena harus memastikan kondisi Eugene terlebih dahulu.
Setibanya di tempat tujuan, lengkingan tangis pangeran kecil terdengar dari dalam rumah. Benigno dan Falea segera keluar dari mobil dan bergegas memasuki bangunan dua lantai.
"Sayang, Papa pulang," tukas Benigno sembari mengambil alih bayi yang masih terisak-isak dari gendongan Sarmi. "Sstt. Udahan nangisnya. Ada Tante Falea," lanjutnya sembari menunjuk pada perempuan yang sedang membuka tas hitamnya.
"Sebentar, ya, Eugene. Tante sterilkan tangan dulu," cakap Falea sambil menuangkan cairan kental dari botol kecil ke tangan kirinya. "Masih demam nggak, Pak?" tanyanya sembari menggosok-gosokkan kedua tangan.
"Agak turun sedikit."
"Yuk! Sama Tante."
Benigno memberikan keponakannya pada Falea yang langsung sibuk mengecek area mulut Eugene. Kemudian perempuan bermata besar duduk di sofa dan membaringkan bayi.
Falea mengangkat kaus krem motif pesawat untuk memeriksa perut Eugene. Dia mengernyitkan kening saat meraba perut yang kembung. Falea meminta diambilkan minyak telon pada Sarmi yang segera mengerjakannya.
Benigno berjongkok di dekat Eugene yang masih terisak. Dia mengamati saat Falea memijat perut keponakannya dengan pelan, lalu melepaskan kaus sang bayi. Perawat berbibir penuh membalikkan posisi lelaki kecil dan melanjutkan pemijatan.
"Kayaknya masuk angin. Ini, merah-merah," terang Falea sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
Benigno hendak menyahut, tetapi diurungkan karena Eugene mengeluarkan gas dari belakang badannya beberapa kali. Benigno mengibas-ngibas area sekitar karena aroma gas yang cukup semerbak.
Falea memakaikan kaus kembali pada Eugene, kemudian dia berdiri dan jalan keluar sambil mengayun lelaki kecil yang perlahan berhenti menangis.
Benigno memberi kode pada Sarmi yang segera ke belakang untuk membuatkan minuman buat dirinya dan Falea. Kemudian Benigno menyusul pengasuh baru yang masih mengayun Eugene sembari bernyanyi lirih.
Suara Falea yang cukup merdu menjadikan Benigno tertegun. Dia terus mengamati gerakan luwes perempuan tersebut sembari mendengarkan alunan lagu anak-anak yang dinyanyikan dengan apik.
Sekian menit berlalu, Eugene telah terlelap. Benigno mengajak Falea duduk di kursi teras. Dia hendak mengambil bayi montok, tetapi dicegah Falea.
"Kayaknya dia beneran kembung," tutur Falea.
"Hmm, ya" jawab Benigno.
"Kalau dia bangun nanti, saya urut lagi." Falea berhenti sejenak, lalu berujar, "Nanti kita cek s**u formulanya. Mungkin kurang cocok."
"Ya." Benigno memperhatikan perempuan yang sedang mengusap hidungnya dengan tangan. "Kamu bawa baju ganti, nggak?" tanyanya.
"Enggak ada."
"Minta tolong sama Andara untuk mengirimkan bajumu, pakai kurir. Karena aku ingin kamu nginap di sini, agar Eugene bisa tetap tenang kayak sekarang."
***
Trevor memandangi istrinya yang sedang mengunyah makanan. Dia menunggu Jewel selesai bersantap, baru kemudian menjelaskan permintaan Benigno yang beberapa saat lalu meneleponnya.
"Apa? Nginap?" tanya Jewel sambil membulatkan matanya.
"Ya. Mas Ben bilang, Eugene tadi sore nangis-nangis. Karena kita belum pulang, akhirnya dia minta tolong sama Falea buat nenangin Eugene," terang Trevor.
"Terus, gimana kondisinya?"
"Sudah mendingan. Ternyata perutnya kembung. Setelah kentut beberapa kali, baru tenang."
"Hmm, apa karena kemaren kuajak berenang, ya? Jadi kembung."
"Bisa jadi."
"Tapi kalau tetap di sana, Mas Ben bisa nggak ngurusnya?"
"Falea diminta nginap sama Mas Ben buat mengurus Eugene."
Jewel mengangkat alisnya, kemudian dia mengulaskan senyuman. "Rencana Mas Ben ternyata berhasil."
"Ya. Saya tadi menggodanya."
"Godain gimana?"
"Dia harus sedia kondom."
Jewel mencubiti lengan suaminya. "Mas Ben nggak semesum Vati."
"Tetap saja, namanya laki-laki. Pasti ada keinginan buat itu."
"Kupikir Falea perempuan baik-baik. Maksudnya, bukan yang gampangan."
"Kayak dirimu, Ma Bichette. Itu yang membuat saya tergila-gila."
"Kumat lagi rayuan gombalnya."
"Saya hanya berusaha membujukmu. Siapa tahu, mungkin kamu sudah siap buat bekerjasama dengan saya, untuk proses penciptaan adiknya Eugene."
"Enggak mau! Dia masih terlalu kecil buat punya Adik."
"Ya, sudah. Ditunda bagian hamilnya."
"Hmm."
"Tapi bagian prosesnya, saya mau sekarang. Oke?"
Jewel mendelik pada lelakinya yang membalas dengan senyuman lebar. Perempuan berambut panjang berdecih, lalu berdiri dan jalan ke dapur sambil membawa peralatan makan.
Sementara itu di tempat berbeda, Benigno tengah berbincang dengan Falea tentang keluarga masing-masing. Pria berkumis tipis beralasan hanya ingin mengenalkan keluarganya, sekaligus mengetahui kondisi keluarga Falea.
Kendatipun pada awalnya ragu-ragu, tetapi akhirnya Falea bisa santai menceritakan sisi pribadinya. Benigno yang tidak menyela sedikit pun, membuat gadis berbaju hijau muda merasa benar-benar didengarkan.
"Biasanya yang sudah pakai ring jantung, memang nggak sekuat dulu," ucap Benigno, sesaat setelah Falea berhenti mengoceh.
"Ya, Pak. Karena itu saya dan kedua saudara melarang Ibu buat bantu Bapak di warung kopi," jelas Falea.
"Jauhkah kampungmu dari Kota Pontianak?"
"Lumayan. Sekitar dua jam, pakai mobil."
"Aku belum pernah nyampe Mempawah. Kalau Pontianak, beberapa kali berkunjung ke sana. Tapi sudah lama nggak kontrol unit."
"Kenapa?"
"Sudah dialihkan ke PG. Jadi aku cukup terima laporan tiap bulan."
"Apa itu PG?"
"Perusahaan gabungan. Isinya lima puluh pengusaha muda yang terbagi dalam lima kelompok. Kami berbagi area kerja, dengan begitu bisa lebih optimal pengerjaannya."
"Sepertinya rumit."
"Enggak juga. Justru aku tertolong banget. Dengan adanya PG, aku nggak perlu tiap bulan kontrol unit yang pastinya memakan biaya operasional yang lebih besar."
"Oh, jadi pengelola PG yang ngerjain tugas-tugas di daerah?"
"Tepat sekali. Aku tinggal bayar iuran per tahun, yang setelah dihitung-hitung lebih menghemat dana."
"Lalu, Bapak duduk diam aja?"
"Enggak. Tiap kelompok punya jadwal kerja sendiri. Dibagi per bulan buat kontrol ke cabang PG yang mana. Enggak tiap bulan harus keluyuran dan kami bisa lebih fokus di Jakarta."
Falea mengangguk paham. "Dulu, kupikir jadi CEO nyantai. Tahunya repot juga."
"Harus siap mata capek dan b****g panas. Plus pinggang sakit karena duduk berjam-jam. Yang paling bikin kesal, kalau harus meeting, tapi jalanan macet."
Falea menyunggingkan senyuman yang menjadikan Benigno terpana. "Karena itu aku lebih suka pakai ojek daripada mobil atau kendaraan umum lainnya."
"Aku dilarang bawa motor lagi sama Mami."
"Hmm, ya. Memang harus begitu. Nanti Bapak kecelakaan lagi."
Benigno mendengkus pelan. "Padahal aku sudah hati-hati banget. Enggak nyangka, bebatuan kecil bikin celaka."
"Bapak ngebut?"
"Ya. Karena aku ngejar waktu mau ketemu seseorang."
Percakapan mereka spontan berhenti ketika ponsel Benigno berdering. Dia melirik telepon seluler di meja, kemudian mengabaikannya. Namun, pada deringan berikutnya, Benigno segera meraih ponsel untuk menerima panggilan.
Falea mengalihkan pandangan pada Eugene yang masih terlelap di ayunan besi yang ditempatkan di dekat sofa. Falea melirik Benigno saat suara pria berkaus hitam terdengar naik satu oktaf.
"Harusnya kamu nggak pergi begitu aja," tukas Benigno.
"Ya, Mas. Maaf, tapi aku memang sedang banyak urusan," kilah seorang perempuan dari seberang sana.
"Kapan bisa ketemu? Kita harus menuntaskan semuanya."
"Aku baru pulang ke Jakarta, minggu depan."
"Oke, nanti kabari aku."
"Hu um."
Benigno terdiam sejenak sambil melirik Falea yang sedang menunduk. Pria berkumis tipis berbalik dan menekan tombol untuk memutuskan sambungan. Dia mengerahkan segenap kemampuan untuk berakting.
"Eugene mencarimu," ujar Benigno bermonolog. "Kamu boleh marah ke aku, tapi jangan korbankan anak kita," lanjutnya yang menjadikan Falea penasaran dan terus mengamati sang bos.
"Aku tahu, dari awal kamu memang nggak mau punya anak dan lebih mementingkan karier serta keluargamu. Tapi nggak pantas juga seorang Mama menelantarkan anaknya. Apalagi Eugene masih bayi," sambung Benigno tanpa ada seorang pun yang menyahut.
"Aku bersedia untuk bercerai. Kamu urus saja semuanya, nanti aku akan datang ke pengadilan." Benigno memutar badan ke kanan dan memasang ekspresi wajah serius.
"Tenang saja, aku nggak akan maksa untuk tetap mempertahankan pernikahan. Aku cuma mau memastikan ke hakim, jika aku setuju untuk bercerai," lanjut Benigno.
"Kamu mau harta gono-gini? Oke, aku kabulkan. Karena itu kita harus ketemu buat membicarakan detailnya." Benigno berpura-pura memijat pangkal hidungnya.
"Sorry, aku nggak akan menyerahkan rumah ini. Karena ini punya Eugene!" tegas Benigno. "Buatmu, apartemen itu sudah cukup. Jangan terlalu banyak meminta. Sesuai dengan perjanjian pra nikah, harta pribadi sebelum menikah nggak bisa dikutak-katik," pungkasnya.
"Ya, kamu pasti paham itu, kan? Jadi jangan berharap banyak. Aku juga sudah ngasih deposito, mobil dan tanah di Depok. Cukuplah itu. Hitung-hitung bayar jasamu sebagai istri selama dua tahun."
Benigno berlakon memutuskan sambungan telepon. Dia kembali memijat dahi, sebelum berpindah duduk di tempat semula.
Falea tertegun sambil memandangi lelaki yang terlihat gusar. Dia tidak berani bertanya. Namun, Falea menebak jika orang yang tadi menelepon Benigno adalah istrinya.
Benigno berusaha menahan senyuman. Dia yakin jika aktingnya mengesankan. Sebab sejak tadi Falea tidak berhenti meliriknya.
Malam kian larut. Falea berpamitan untuk tidur. Dia berpindah ke dekat ayunan untuk mengambil Eugene, tetapi dicegah Benigno yang segera menyambanginya.
"Mau dibawa ke mana?" tanya Benigno.
"Dipindahkan ke kamar saya, Pak," jelas Falea.
"Dia akan tidur denganku. Kamu, istirahat aja. Besok, kan, mau kerja."
Falea menggeleng. "Saya besok libur."
"Tapi kamu tetap harus beristirahat dengan tenang."
"Enggak apa-apa. Ini anggap aja latihan. Jadi saat benaran jadi pengasuhnya, saya dan Eugene sudah benar-benar dekat." Falea menegakkan tubuh dan mengamati Benigno. "Bapak bisa tidur lelap malam ini. Biar saya yang merawat Eugene," pintanya.
Benigno mengangguk mengiakan. Dia merunduk untuk meraih lelaki kecil, kemudian membawanya ke kamar tamu. Benigno meletakkan Eugene di kasur dengan hati-hati. Dia menunggu Falea masuk dan mengamati perempuan yang tengah menyelimuti sang bayi.
"Aku siapkan perlengkapannya," tutur Benigno.
"Sudah ada, Pak." Falea menunjuk ke termos kecil, dan beberapa perlengkapan bayi di meja. "Tadi saya meminta tolong pada Sarmi untuk mengemasinya," terangnya.
"Ehm, ya. Besok, serahkan Eugene pada Sarmi, biar kamu bisa pulang dan istirahat."
"Saya baru akan pulang setelah Bapak sampai di rumah."
"Yakin?"
"Ya."
"Hmm, oke. Nanti kutransfer bayaran buat jadi pengasuh selama dua hari."
"Enggak usah, Pak. Anggap aja ini balas budi saya, karena Bapak sudah membeli dagangan saya."
"Itu beda, Fa. Kamu jualan dan aku cuma beli."
"Jangan menolak permintaan saya, Pak. Karena saya nggak mungkin membalas kebaikan Bapak dengan hal lain. Saya hanya bisa melakukan ini."
"Aku beneran nggak apa-apa. Aku beli daganganmu karena memang enak dan aku suka. Demikian pula dengan keluarga dan teman-temanku."
"Ehm, makasih sudah bantu mempromosikannya."
Benigno mengangguk. "Apa pun yang bisa kulakukan untuk membantu, akan kukerjakan. Tanpa pamrih."
Falea terpaku dan tidak sanggup menyahut. Dia masih terdiam kala Benigno memutar badan dan jalan menjauh. Gadis bermata cukup besar merasa bersyukur karena Benigno ternyata orang yang baik.
Falea teringat Gibran dan tanpa sadar membandingkan pria itu dengan Benigno. Perempuan berambut sepundak menggeleng pelan, saat menyadari jika kedua pria tersebut benar-benar berbeda sifat dan karakternya.