06
Pagi menyapa hari Benigno dengan suara tawa Eugene, sesaat setelah dia keluar dari kamar. Pria yang mengenakan t-shirt krem menyusuri lorong sebelum berbelok ke kiri dan menuruni tangga.
Tatapan Benigno mengarah pada beberapa orang yang tengah berada di ruang keluarga. Kala Eugene kembali terkekeh, sudut bibir Benigno turut mengukir senyuman hingga dia tiba di lantai satu.
Falea spontan menengadah saat mendengar suara berat sang bos yang sedang menghampiri. Dia terkejut menyaksikan penampilan Benigno yang terlihat rapi, tetapi santai.
"Udah baikan jagoan, Papa?" tanya Benigno sembari duduk di sebelah kanan perempuan berambut sepundak.
"Sudah, Pak," sahut Falea mewakili Eugene yang langsung mengangkat tangan ke papanya.
"Sini, Papa gendong sebentar. Habis itu Papa mau makan." Benigno meraih putranya dari dekapan Falea.
Tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan dan keduanya saling menatap sesaat. Falea segera memutus pandangan dan berpura-pura serius menonton televisi. Padahal dia tengah sibuk menenangkan dadanya yang berdesir.
Percakapan satu arah kedua lelaki berbeda generasi menjadikan Falea berulang kali melirik ke kanan. Dia kagum pada pria berparas separuh luar negeri yang terlihat begitu menyayangi Eugene, begitu pula sebaliknya.
Tatapan memuja terlihat kentara terpancar dari sepasang mata bermanik cokelat milik sang bayi, yang diarahkan pada papanya. Hal itu membuat Falea terenyuh, karena dia berpikir jika Eugene sepertinya memahami bila mamanya sudah menghilang, dan hanya Benigno yang selalu ada untuknya.
Sarmi dan Fitri yang duduk di kursi samping kiri, saling menyiku sambil mengulum senyuman. Mereka tahu sandiwara Benigno dan turut mendukung hal itu karena menyukai Falea.
Kendatipun baru beberapa kali berjumpa, kedua asisten bisa memahami kenapa Benigno menyukai Falea lebih dari sekadar hubungan bos dan pegawai. Gadis bermata cukup besar sangat ramah dan terlihat sekali menyayangi Eugene.
Sekian menit berikutnya, Trevor dan Jewel muncul. Eugene yang mendengar suara mutter-nya, tiba-tiba merengek dan menyebabkan Benigno tersenyum. Dia memberikan bayi montok berbaju merah pada Adik iparnya yang segera menciumi Eugene.
Benigno berdiri dan mengajak pasangan tersebut ke ruang makan. Falea mengamati interaksi antara Jewel dan Eugene sembari membatin bila keduanya sangat lengket.
Kala ketiga bos makan, Falea tanpa sadar terus memperhatikan. Dia melihat kemiripan antara Trevor dan Jewel pada Eugene. Namun, Falea tidak mencurigai hal itu, karena sudah lumrah bila dalam satu keluarga besar akan memiliki kemiripan wajah.
"Eugene, ikut Mutter, ya," ajak Jewel sebelum mencium pipi kanan anaknya.
"Aku hari ini nggak kerja, Je. Niatnya mau nemenin Eugene," tukas Benigno.
"Mas nyantai aja. Biar hari ini aku yang ngasuh."
"Nanti sore kujemput."
Jewel mengerutkan kening. Dia nyaris membantah, sebelum akhirnya sadar bila Falea tengah mengamati mereka. "Oke," jawabnya.
"Sarmi, ikut ke sana." Benigno memandangi asisten Trevor yang seketika mengangguk.
Falea hendak bertanya, tetapi diurungkan karena Jewel telanjur berdiri dan jalan keluar bersama Sarmi. Tidak berselang lama terdengar suara mobil menjauhi area, pertanda mereka telah pergi.
Falea mengalihkan pandangan pada kedua pria yang masih bersantap sambil berbincang. Dia menunggu mereka selesai, kemudian berdiri dan menyambangi sang bos.
"Pak, karena Eugene ikut dengan Bu Jewel, apa saya boleh pulang?" tanya Falea.
Benigno berpikir sejenak, lalu menyahut, "Ya, boleh. Nanti kuantar ke rumahmu."
"Enggak usah, saya bisa pulang sendiri."
Benigno menggeleng. "Aku yang memintamu menginap. Jadi aku yang harus mengantarkanmu pulang."
"Tapi ...."
"Turuti aja, Falea. Daripada mas-ku yang manis ini marah. Dia akan kembali berubah jadi dracula," sela Trevor yang menyebabkan Falea mengulum senyuman.
"Ehm, ya. Saya ganti baju dulu. Permisi." Falea berbalik dan jalan ke kamar tamu.
"Semoga dia nggak curiga kalau Eugene langsung mepet ke Jewel," tukas Benigno sembari menyugar rambutnya, sesaat setelah Falea memasuki kamar.
"Saya pikir, dia paham jika Eugene dekat dengan Ma Bichette," balas Trevor.
"Hmm, ya."
"Kalau saya boleh saran. Sebelum dia tahu kenyataannya, Mas harus mengungkapkan perasaan, sekaligus menceritakan semuanya."
"Aku belum siap, Tre. Tunggu sampai kira-kira dia kerja sebulan."
"Apa tidak terlalu lama?"
"Enggak. Aku juga harus meyakinkan diri. Apakah ini benar-benar sayang atau cuma tertarik sesaat."
***
Falea memindai sekitar sambil bertanya dalam hati, ke mana Benigno hendak mengajaknya. Pada awalnya Falea berpikir akan langsung diantarkan pulang, tetapi ternyata tidak.
Perempuan berbaju abu-abu memandangi gedung tinggi di hadapan. Dia membaca nama gedung yang terpampang di bagian atas bangunan. Falea akhirnya paham jika itu adalah kantor sang bos.
"Kita ke sini, mau ngapain, Pak?" tanya Falea ketika Benigno mengarahkan mobil ke area parkir di bawah gedung.
"Ada berkas penting yang harus di-cek. Ethan akan membawanya ke klien nanti siang," terang Benigno.
"Ethan ... oh, Adik Bapak, kan?"
"Ya."
"Tapi wajahnya beda dengan Bapak."
"Ethan mirip Mami. Aku ngambil gen keluarga Papi."
"Papi Bapak, keturunan bule dari mana?"
"Kanada campur Inggris. Kalau dirunut dari atas, rumit."
Falea mengulaskan senyuman. "Kayaknya seru kalau punya keluarga di berbagai negara."
"Aku kurang dekat dengan keluarga Kakek di Inggris. Lebih dekat ke keluarga Nenek di Kanada. Karena aku pernah beberapa tahun tinggal di sana."
"Kuliah?"
"Ya, manajemen bisnis."
"Saya kira Bapak hanya kuliah kedokteran."
"Setelah lulus itu, aku berangkat ke Kanada untuk memenuhi permintaan Papi. Dari sana, pulang ke sini dan buka praktik sendiri, nebeng di kliniknya Mas John. Selanjutnya aku buka klinik sendiri."
"Di mana?"
"Dekat rumah Papi."
"Sekarang kliniknya masih beroperasi?"
"Ya, dikelola beberapa temanku."
"Kenapa Bapak nggak lanjutkan kuliah pascasarjana kedokteran?"
"Sudah terlalu tua umurku. Rada lupa detail unik. Lagi pula, sudah nyaman di dunia bisnis. Lebih fleksibel mengatur waktu, terutama dua tahun ke belakang."
"Karena PG."
"Tepat sekali."
Setelah mobil terparkir sempurna, keduanya keluar dan jalan bersisian. Kehadiran Falea menjadi pusat perhatian seluruh pegawai. Sebab mereka belum pernah melihat Benigno mengajak perempuan, selain almarhumah Yemima dan seorang perempuan lain yang diduga sebagai kekasih anak tertua Rafael Janitra.
Benigno mengajak Falea memasuki lift khusus direksi. Keduanya tidak urun suara hingga elevator tiba di lantai sembilan. Benigno keluar terlebih dahulu. Dia menunggu Falea mendekat, kemudian memegangi tangan kiri gadis bermata cukup besar yang seketika terkejut.
Akan tetapi, Falea tidak berani memberontak dan membiarkan Benigno terus memeganginya. Mereka jalan berdampingan menyusuri koridor.
Orang-orang yang berada di deretan kubikel sisi kanan, memperhatikan keduanya sambil menebak-nebak siapa perempuan berbibir penuh yang tengah dipegangi bos mereka.
Benigno berhenti di depan meja sekretarisnya. "Ethan sudah datang?" tanyanya.
"Belum, Pak. Tadi Mas Ethan bilang, mau ke kantor Pak Olavius dulu," jelas Mahya. Dia mengalihkan pandangan pada perempuan berambut sepundak yang balas menatapnya lekat-lekat. "Halo, salam kenal. Aku, Mahya," tuturnya sambil menyalami sang tamu.
"Halo, Mbak. Saya, Falea," terang Falea.
"Tolong minta bagian OB buat nyiapin suguhan," ungkap Benigno yang dibalas anggukan Mahya. Pria beralis tebal melirik Falea, kemudian menggerakkan dagu sebagai kode agar perempuan tersebut mengikutinya.
Mahya mengamati pasangan yang bergerak memasuki ruang kerja sang CEO. Sudut bibirnya mengulum senyuman. Mahya ingat cerita Benigno yang menyewa pengasuh buat Eugene. Sekarang dia paham, kenapa pria blasteran tersebut sampai mengarang cerita sebagai seorang duda, demi bisa memikat Falea.
Mahya mengingat-ingat sosok Yemima dan seorang perempuan lain yang pernah menjadi kekasih Benigno. Tanpa sadar Mahya membandingkan ketiga perempuan yang sama-sama memiliki mata besar dan kulit cukup terang.
Mahya kembali tersenyum. Dia yakin bila Falea merupakan tipe kesukaan Benigno. Perempuan yang sedang hamil lima bulan, berdoa setulus hati agar kali itu bosnya beruntung, dan bisa berjodoh dengan Falea.
Sementara itu di tempat berbeda, Gibran mendengkus kesal. Dia baru mengetahui bila Falea tidak pulang ke indekosnya kemarin, setelah mendesak penjaga rumah tersebut.
Gibran memasuki mobilnya dan menyalakan mesin. Dia memundurkan mobil MPV putih, kemudian menekan pedal gas hingga kendaraan melaju menjauhi area.
Gibran mengambil ponselnya dari saku kemeja marun. Dia mencari nomor kontak Falea dan segera menghubungi perempuan tersebut. Detik demi detik menunggu panggilan tersambung membuat Gibran senewen.
Kala mendengar sapaan salam sang gadis, Gibran tidak menjawabnya dan justru langsung mencecar Falea dengan banyak pertanyaan.
"Saya lagi di kantor Pak Benigno," terang Falea. Dia kesal karena Gibran bicara dengan nada tinggi, seolah-olah pria tersebut adalah bosnya.
"Ngapain kamu di sana?" tanya Gibran tanpa menurunkan suara.
"Ada urusan."
"Share location. Aku jemput!"
"Enggak usah. Saya bisa pulang sendiri."
"Pokoknya share!"
Falea menjengit. Dia memandangi layar ponsel yang memperdengarkan bunyi khas telepon ditutup. Falea menengadah untuk memandangi Benigno. Belum sempat dia mengatakan apa pun, pria berkemeja biru tua segera menelepon chief security dan meminta keamanan diperketat.