DEVON 7 - Bertemu Denzel

1019 Words
Tangan Devon memukul stir kemudi mobilnya . Dia sudah masuk ke dalam mobil tapi masih berdiam diri di dalamnya . Setelah emosi nya cukup mereda, Devon segera menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah mamanya. Apartmen Denzel yang ia tuju . Devon ingin menebus semua kesalahan pada kekasihnya itu . Tak membutuhkan waktu lama bagi Devon untuknya segera sampai di apartmen Denzel.  Memasuki lift dengan perasaan yang tak sanggup ia jabarkan. Perasaan marahnya pada Darco tak sanggup ia enyahkan begitu saja . Papa yang selalu membuatnya naik darah acapkali mereka berjumpa. Ini bukanlah keinginannya . Memiliki keluarga yang tak utuh lagi dan selalu diwarnai percecokan antara papa dan mamanya atau terkadang pula antara dirinya dengan sang papa. Berdiri di depan pintu apartmen Denzel dan memasukkan paswordnya. Pintu terbuka, Devon mendapati Denzel yang tertidur di atas sofa dengan televisi yang masih menyala. Mendekati kekasihnya, Devon jongkok di sisi sofa. Memperhatikan lekat-lekat wajah Denzel. Wajah damai yang membuat Devon merasa nyaman berada bersama kekasihnya itu. Tangan Devon terulur menyentuh bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang Denzel. Ia terkesiap karena tiba-tiba saja tangan Denzel mencekal lengan nya. Membawanya menempel pada bibir lelaki itu. Di kecup dalam tangan Devon. "Aku merindukanmu, Dev!" kata yang sangat lirih meluncur di sela-sela bibir Denzel. Mata elang itu terbuka. Menatap Devon denga penuh cinta. "Akupun sama. Sangat merindukanmu." Devon menimpali. Wajah Devon menunduk semakin dekat berada di depan wajah Denzel. Nafas hangat Devon menerpa wajah Denzel. Kembali Denzel memejamkan mata saat dirasakan nya bibir Devon yang menyentuh bibirnya. Keduanya terlarut akan cumbuan di tengah rasa rindu yang mereka pendam beberapa hari ini. *** Pagi ini Devon masih berada di apartmen Denzel. Setelah mandi dan berganti baju, Devon siap pergi ke kantornya. Apartmen milik Denzel ini sudah seperti rumah kedua baginya. Begitupun sebaliknya. Apartmen milik Devon juga menjadi rumah kedua bagi Denzel. Beberapa barang pribadi milik Devon juga sebagian berada di apartmen Denzel, termasuk baju-bajunya. Sehingga memudahkan Devon jika menginap di apartmen kekasihnya, pagi harinya Devon tak perlu repot - repot untuk kembali ke Apartmen nya sendiri hanya sekedar mengganti baju. Devon keluar kamar melihat Denzel yang sudah rapi dengan baju kerjanya serta satu buah koper yang ada di samping sofa. Devon mengerutkan alis menatap kekasihnya. "Kau mau pergi lagi, Denz?" tanya nya dan Denzel yang sedang berkutat dengan ponsel pintar miliknya mendongak, menatap Devon dengan seulas senyuman. "Ya, aku harus pergi ke Jerman. Maaf karena ini mendadak dan aku tak memberitahumu semalam." Permintaan maaf Denzel hanya dijawab dengan dengusan keras oleh Devon. "Kau marah, Dev?" Bahkan Denzel sudah meletakkan ponsel di atas meja dan menatap lekat Devon yang seolah tidak suka dengan rencana kepergian nya kali ini. "Apa aku bisa marah padamu?" Tatapan lembut Devon membuat Denzel tersenyum. "Aku tak akan lama. Hanya dua minggu disana." "Apa? Dua minggu dan kau bilang tidak lama?" perkataan Devon dengan nada sedikit meninggi, lalu lelaki itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Meraup wajahnya kasar. Denzel menyentuh pundak Devon. "Dev, maafkan aku. Ini sangat mendadak. Ada investor yang memintaku untuk datang. Ini kesempatan bagus untuk perusahaanku dan aku tak akan menyianyiakan nya. Kuharap kau mengerti." "Jadi, perusahaan lebih penting bagimu?" "Hei... Kenapa kau berkata seperti itu? Bagiku, kau juga perusahaan sama-sama penting dan berarti dalam hidup ku. Perusahaan adalah amanat dari papa ku, sementara kau... Adalah segalanya bagiku. Kuharap kau bisa memahamu posisiku, Dev!" Setelah Denzel berhenti berucap, Devon menoleh kesamping menatap kekasihnya. " Denz...! Kau tahu... Jika selama ini kau yang sering meninggalkanku dan mengabaikanku. Tapi kenapa setiap ada sedikit masalah justru kau selalu menuduhku yang bukan-bukan. Apalagi menyangkut sekretarisku. Dan karena semua perlakuanmu padanya, aku jadi bulan - bulanan si tua bangka Darco sialan itu. " ucap Devon menggebu - gebu penuh dengan emosi. Denzel sampai menutup mulutnya melihat ekspresi marah yang Devon tunjukkan. " Maafkan aku. Sungguh aku tak sengaja melakukan itu. Aku hanya kesal padamu. Disaat aku sangat merindukanmu, justru kau tak mengindahkan keberadaanku." Mereka saling tatap. "Mulai sekarang jangan lagi kau berprasangka buruk padaku. Terlebih berkata atau menuduhku yang bukan - bukan dengan sekretarisku. Dan asal kau tahu saja. Devi, sekretarisku itu adalah wanita simpanan papaku." "What....?! Kau jangan bercanda?" "Aku serius dan tidak bercanda sama sekali. Devi menceritakan semua perihal kelakuanmu pada Papaku. Dan pastilah kau tahu, Darco mengolokku membuatku ingin menyumpal mulut kotornya itu." "Sekali lagi aku minta maaf. Dan aku janji tak akan mengulangi nya lagi. Sungguh, aku melakukan itu semua karena aku tak bisa kehilanganmu, Dev. Aku sangat menyayangimu." "Aku pun juga sama. Jadi yang perlu kita buat sekarang adalah saling percaya. Okay? " Denzel mengangguk dan Devon sudah beranjak berdiri. "Aku harus segera pergi ke kantor. Kau kapan berangkat ke bandara?" "Satu jam lagi." "Jaga diri baik-baik. Dan jangan lupa memberiku kabar jika kau sudah sampai di Jerman." "Ya. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sampai bertemu kembali, Dev." Devon berjalan tegab menuju pintu keluar. Lalu bergegas masuk ke dalam lift menuju dimana mobil nya terparkir. Lagi dan lagi Denzel harus meninggalkan nya. Disaat Devon sedang membutuhkan nya, kekasihnya itu selalu saja tak ada waktu buatnya. Sungguh, Devon sudah lelah dengan jalan hidup yang selalu dihinggapi masalah. Terlebih masalah bersama Darco. Tak akan pernah ada habisnya. Sampai di kantor, Devi lah pemandangan pertama yang dilihat Devon saat akan memasuki ruang kerjanya. "Selamat pagi, Pak." Sapa Devi begitu mendapati kedatangan Devon. Tanpa repot - repot menjawab sapaan Devi yang ditujukan untuk nya, dengan angkuh Devon melewati sekretarisnya itu begitu saja tanpa. Devon tak habis pikir, bagaimana mungkin wanita seperti Devi ini masih mempunyai muka untuk berhadapan dengan nya setelah apa yang wanita itu lakukan bersama papanya. Bahkan Devon sempat berpikir jika Devi akan resign setelah ketahuan Devon jika sekretarisnya itu adalah wanita simpanan papanya. Tapi kenyataan nya Devi tetaplah bekerja seperti biasa. Bahkan bersikap seolah tak pernah terjadi sesuatu apapun juga. Devon mendengus sebal, haruskah ia memecat Devi saat ini juga. Tapi rasanya tidak mungkin sebelum ia mendapat sekretaris pengganti. Tanpa adanya seorang sekretaris bisa-bisa semua pekerjaan nya terbengkalai. Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Devon dari lamunan. Belum juga Devon menjawab untuk mempersilahkan masuk, tapi pintu ruang kerjanya suda dibuka dari luar. Kepala Devi menyembul di sela pintu yang terbuka sedikit, lalu wanita itu melenggang masuk tanpa permisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD