EP 4

1172 Words
[AISYAH'S POV] Mas Evra kayaknya sengaja nantangin aku. Lihat saja, aku tidak akan kalah. Aku sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan aneh tidak terduga yang bisa Mas Evra lakukan. Tapi... di antara semua kemungkinan itu, kenapa harus ciuman pertamaku? Kenapa dia harus mengambil ciuman pertamaku pada saat yang sangat tidak tepat? Pagi hari dan di meja makan? Terlebih ada yang melihat. Aku rasanya benar-benar malu sekali. Huft. Mungkin hal itu biasa bagi dia, tapi tidak bagiku. Dia mungkin biasa gonta-ganti pasangan, bahkan mungkin juga biasa melakukan hal-hal yang tidak bisa aku pahami. Sedangkan aku, Mas Evra adalah laki-laki pertamaku. Aku bukannya ingin protes bagaimana ia menjalani hidupnya selama ini. Aku juga tidak mempermasalahkan gaya hidupnya. Hanya saja, tindakan spontanitasnya kadang membuat jantungku seperti ingin meloncat keluar. Mungkin aku harus menambah kesabaranku. Dan juga, kekuatanku. Aku harus mulai memahami gayanya dan aku tidak akan menyerah. Aku bisa melihat ada secuil keterkejutan di wajahnya setelah mendengar kata-kataku. Jangan tanya bagaimana kondisiku saat ini. Jantungku sudah bergemuruh hebat di dalam sana. Aku rasanya seperti orang tidak waras yang asal bicara. Bagaimana bisa aku mengucapkan kalimat itu seolah aku sudah ahli. Astaga, matilah kamu Aisyah, jika Evra menganggap serius kata-katamu. Mas Evra tidak mengatakan apa-apa. Dia memanggil Andin, meminta diambilkan kue dan makanan ringan. Aku tanpa sadar menghela napas lega. Sepertinya dia tidak menanggapinya dengan serius. Syukurlah. "Itu siapa?" "Hah?" Aku mengikuti arah pandangan Mas Evra. "Kak Ale.." aku bangkit, menyambut kak Ale yang melangkah menghampiri kami. "Hai, selamat ya.." Kak Ale melempar senyum manis dan hangat miliknya. Senyuman yang pernah membuat hatiku bergetar. Aku balas tersenyum. "Makasih, kak. Katanya kemaren mau balik ke Jerman. Nggak jadi?" "Jadi. Nanti malam. Kemaren ada urusan jadi diundur." Aku mengangguk mengerti. Kali ini pandangan Kak Ale beralih ke Mas Evra. Astaga, aku lupa mengenalkan mereka meski aku yakin Kak Ale sudah tau nama Mas Evra. "Selamat ya, Mas. Semoga sakinah mawaddah warahmah.." Aku meneliti pergerakan Mas Evra. Kulihat ia membalas uluran tangan Kak Ale. Sejauh ini sepertinya baik-baik saja. Beramah tamah sebentar, Kak Ale kemudian pamit. Aku sempat melihatnya berbicara dengan seseorang lalu masuk ke dalam mobil. Mungkin dia langsung ke kota. "Itu siapa?" "Hah? Oh, tetangga, teman masa kecil juga.." "Teman masa kecil? Kayaknya dia nggak beda jauh usianya sama aku.." Aku menoleh. "Ya teman masa kecil kan nggak harus seumuran Mas. Kak Ale emang jauh lebih tua. Cuman ya gitu, bisa dibilang Ai tumbuh besar sama Kak Ale." Aku tersenyum mengingat bagaimana dulu kami saling bekerjasama melindungi satu sama lain kalau kami membuat kesalahan. "Dan kamu suka sama dia." Itu pernyataan bukan pertanyaan. Aku melotot. Tentu saja terkejut. Bagaimana Mas Evra bisa tau? "Kenapa? Bingung kenapa aku bisa tau?" Mas Evra bersender ke sandaran kursi. Menyilang kaki. Sebenarnya aku bukan bingung bagaimana dia bisa tau, tapi aku ingin mengelak dari tuduhannya. "FYI, itu tergambar jelas di muka kamu kalau kamu mau mem-ban-tah." Ia menyeringai. Kulihat Mas Evra menggeleng beberapa kali. "Nggak sulit buat nebak itu. Tipikal hubungan kakak-adek zone. Rasa sayang yang tumbuh karena beranjak dewasa bersama. Awalnya nyaman karena merasa terlindungi, terus lama-lama berubah jadi rasa suka. Wait, ada yang terlewatkan. Pastinya ada rasa kagum juga, terus rasa lain muncul di hati." Mas Evra menjelaskan dengan gamblang dan enteng. Benar-benar ringan, baginya. Tapi tidak denganku. Mas Evra kembali mengungkit hal yang tidak ingin aku bahas lagi. Aku ingin menyimpan rahasia itu sendiri. Kenapa dia bisa tau dengan mudahnya? "Kalau aku tebak, kayaknya kamu belum pernah kasih tau dia, ya? Nggak nyesal? Udah keduluan nikah sebelum sempat mengakui perasaan ke dia.." Aku tidak menjawab. Hanya menatap Mas Evra serius. Dia sendiri terlihat santai tanpa beban. Untunglah Andin datang. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Mencoba mengabaikan obrolan kami barusan. Mas Evra menikmati kuenya. "Kamu tenang aja. Aku nggak pernah masalah sama masa lalu orang. Intinya, aku nggak perduli," ucap Mas Evra dengan tenang bahkan bicara tanpa melihatku. ... "Ai..." "Hm?" Kak Noo mengulurkan segelas minuman padaku. Aku tidak tau itu minuman apa. "Ini apa, kak?" "Jahe hangat, buat suami kamu." Aku mengerutkan kening. "Biar kuat dan tokcer," bisik Kak Noo di telingaku. Kemudian ia berlalu begitu saja setelah berhasil membuat pipiku merah seperti tomat. "Kak Noo..." aku menjerit tertahan. Begitu masuk kamar, samar-samar aku mendengar suara Mas Evra sedang bicara. Sepertinya dia sedang menelpon. Aku letakkan gelas tadi di meja. Kemudian aku mulai menanggalkan satu persatu aksesoris di kepala. Sasaran selanjutnya adalah make up. Meskipun tidak tebal, tapi rasanya wajahku sudah gatal ingin segera dicuci. "Kamu mau mandi duluan?" Mas Evra kembali dari balkon. Astaga, kenapa dia harus bertelanjang d**a seperti itu? Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. "Nggak, Mas duluan aja. Aku mau hapus make up dulu.." "Ok." Ia meletakkan ponsel di meja. Kemudian dia sudah hilang ke dalam kamar mandi. "Hufftt..." dan entah untuk apa aku menghela napas lega? Astaga, kenapa rasanya susah sekali untuk bernapas? ... Apa yang aku pikirkan sampai lupa membawa pakaian ke kamar mandi? Aisyah, selamat atas kebodohanmu. Aku membuka sedikit pintu kamar mandi, memantau kondisi di luar kamar mandi. Mas Evra tidak ada. Syukurlah. "Nyari siapa?" "Astagfirullah.." aku terlonjak dan otomatis merapat ke dinding karena kaget. Sejak kapan Mas Evra berdiri di belakangku? "Mas kenapa ngangetin sih?" "Siapa yang ngagetin?" tanyanya cuek. "Ah iya. Aku yang salah. Ok.." aku tertawa hambar. Kikuk. "Aku lupa bawa baju, aku pakai baju dulu." Aku bergegas menuju lemari. Sumpah. Aku benar-benar malu saat ini. Aku hanya memakai sehelai handuk. "Eit.." Mas Evra menarik pergelangan tanganku. Belum sempat aku memberi perlawanan, Mas Evra sudah menarikku hingga jatuh ke kasur. "Emmm.. Mas..." kalimatku tidak sampai. Mas Evra lebih dulu menyatukan bibir kami tanpa hambatan. "Mas.." aku berusaha mendorongnya, tapi Mas Evra tidak menggubris. Meski sentuhannya lembut tanpa paksaan, tapi aku belum siap. Maksudku ini terlalu tiba-tiba. Aku menggigit bibir saat kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh permukaan kulit leher. "Ai, Evra....!" Ketukan pintu menghentikan gerak Mas Evra seketika. Kami mematung beberapa detik. Aku bergegas memperbaiki handuk yang hampir terlepas, lalu berlari ke lemari dan mengambil jubah tidur dengan asal. "Iya, Umi.." Mas Evra membuka pintu. Kudengar dia bicara dengan Umi. Tapi aku tidak terlalu fokus pada apa yang mereka bicarakan. Aku hanya ingin cepat memakai baju. Entah bagaimana merah pipiku saat ini. Yang jelas seluruh tubuhku terasa panas. ... Aku sengaja jalan di belakang Mas Evra. Rasanya masih sangat canggung untuk bertatap muka dengannya. Ternyata Umi tadi datang memanggil kami untuk mengucapkan salam pada salah satu pamanku yang harus kembali ke Malaysia malam ini juga. Ia tidak bisa ikut acara yang akan diadakan di kediaman Mas Evra. Jadi kami tadi pamit padanya. Pintu kamar tertutup. Aku merasa panas seketika. Padahal kamarku pakai AC. Tapi kenapa masih terasa panas? "Langsung istirahat aja." "Hah?" Mas Evra berbaring di kasur. "Kenapa? Nggak mau langsung tidur?" Ia menatapku dan tatapan kami bertemu. Aku mengerjap beberapa kali. "Ah, enggak, bukan.." aku langsung naik ke kasur. Berbaring sedikit lebih jauh. Mas Evra mematikan lampu kamar. Dan entah aku harus bersyukur atau bagaimana, sebab malam itu tidak terjadi apa-apa. Aku tidur dengan nyenyak sampai pagi. Lalu siangnya kami semua berangkat ke kota. Dan aku tidak tau apa yang sudah menungguku di sana. Yang jelas di sanalah kehidupanku yang sebenarnya dimulai. Selamat datang, kehidupan baru... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD