[EVRA'S POV]
"And this is my room, maksudku, our room.." kuhempaskan tubuh ke ranjang tercintaku. Rasanya sudah sangat lama aku tidak tidur di kasur ini. Padahal baru satu minggu. Mungkin ini lah pepatah yang orang-orang sebutkan. Kau baru tau betapa berartinya sesuatu saat kau sudah kehilangan. Walau dalam konteks ini aku tidak benar-benar kehilangan kasurku, tapi ya sudahlah.
Btw, di mana wanita itu? Ah, dia di sana. "Kamu ngapain?" Kupandangi dia dengan wajah datar. Sejak tadi dia masih berdiri di tengah kamar. Ia seperti orang kebingungan. Apa dia shock dengan kamarku? Ah, mungkin dia terkejut dengan kamar yang sangat besar dan mewah ini. Wajar saja. Ukuran kamarku tiga kali ukuran kamarnya di desa.
"Hm, ini tarok di mana, Mas?" tanyanya menunjuk koper-kopernya.
"Ah. Di sana," kutunjuk pintu warna putih yang nyaris bersatu warna dengan dinding. Aku kembali menenggelamkan wajah ke bantal.
Aku tak mendengar suara lagi. Aisyah sepertinya sibuk membereskan bajunya di walk in closets. Atau dia sibuk mengagumi ruangan itu. Entahlah. Aku tidak perduli. Setidaknya bukan karena ia shock sebab menemukan underwear perempuan di dalam sana.
"Mas.."
"Kenapa?" Aku lelah sekali. Tidak punya tenaga untuk melakukan apapun.
"Mau dibuatkan teh?"
"Hmmmm, boleh. Tapi bukan teh."
"Lalu?"
"Tanya ke Bibi.." aku kembali menenggelamkan wajah ke bantal. Terserahlah pandai-pandai dia di rumah ini.
****
"Mas.." kurasakan ada yang menggoyang-goyang badanku.
"Mass.." kudengar sekali lagi suara itu memanggil. Siapa yang berani membangunkan aku? Apa dia tidak tau aku sedang capek? Ah, apa ini mimpi? Sepertinya iya. Mungkin aku terlalu stres karena tekanan mama dan papa sampai aku mimpi dibangunkan mahkluk menyeramkan bernama istri.
"Mas Vian, bangun.." kali ini ada suara berbeda. Sepertinya aku kenal suara ini.
"Hallo, Mas gantengku.." sapa seorang gadis dengan senyum cerah menyapaku begitu aku membuka mata. Dia tengah memelukku manja.
"Jeje.."
Senyumnya mengembang. "This is me, your cutie sister. Laten we wakker worden. Ik breng souvenirs mee."
"Werkelijk?"
"Ik mis je heel erg."
"Me too.."
"Mas, is dat je vrouw?" Ia melirik ke arah Aisyah. Wanita itu ternyata berdiri di ambang pintu entah sejak kapan. Hanya diam, bengong. Mungkin mungkin, atau entahlah.
"Jeje, can we talk later? Mas mau mandi."
"Ok, find. Jeje tunggu di bawah ya."
Jeje kemudian meninggalkan kamar. Aku bangkit sembari mengusap mata. Masih agak mengantuk sebenarnya. Aku kira tadi mimpi, ternyata tidak. Aku memang sudah menikah dan 'istriku' kini tengah terbengong di pintu. Apa yang dia pikirkan?
"Kamu ngapain di situ?"
Ia akhirnya bergerak. Aku kira sudah jadi mumi.
"Ini minumnya. Mas mau mandi, Ai siapin baju."
Aku menggeliat, meregangkan otot-otot yang kaku. Aku melirik gelas di meja nakas.
"Ini siapa yang bikin?" Tanyaku setelah meneguk minuman itu.
Aisyah meletakkan bajuku di atas kasur. "Ai yang bikin," katanya.
Aku manggut-manggut. "Not bad." Aku habiskan seluruh isi gelas.
"Oh iya, besok-besok, kalau ngambilin baju aku taro di dalam aja. Nggak usah bawa keluar. Kecuali," ku lirik dia dari atas sampai bawah. "Kamu mau liat aku ganti baju."
Aisyah melotot. Mata bulatnya terlihat semakin bulat. Bulu matanya yang lentik alami itu membingkai matanya jadi semakin indah. Aku akui dia cantik.
Aku berlalu melewati Ai yang pipinya sudah memerah. Dasar gadis desa.
****
Sampai malam, Jeje bermain di kamarku. Menceritakan apapun yang bisa ia ceritakan. Adik sepupuku ini memang yang paling dekat dan manja padaku di antara yang lainnya. Kami memang agak jarang bertemu karena dia tinggal di Belanda bersama orang tuanya. Makanya jika bertemu, dia selalu menghabiskan hari denganku. Dulu. Sekarang tidak hanya kami berdua. Ada Aisyah.
Kebiasaan Jeje yang kadang bicara bercampur memakai bahasa Belanda membuat Aisyah cukup kebingungan. Meski tidak kentara karena dia tak begitu mendengarkan kami. Atau lebih tepatnya tidak mengikuti obrolan kami. Dia sibuk mengerjakan sesuatu yang entah apa. Sementara aku dan Jeje bercerita di sofa sambil Jeje memamerkan foto-foto di dalam ponselnya.
"Mas Vi, herinner je je hem nog? hij was diepbedroefd toen ik hem vertelde dat je getrouwd was."
Aku tertawa. "Oh ya? Sepertinya Mas masih populer di antara teman-teman kamu."
Jeje mengangguk. "Jelas dong. Ah iya," Jeje berkutat dengan ponselnya, serius mencari sesuatu. Ia kemudian menunjukkan layar ponsel padaku.
"Remember her? Ik ontmoette hem op het vliegveld."
Aku tersentak. Bergerak untuk duduk lebih tegak. Meraih ponsel Jeje. Mataku melebar melihat layar ponselnya. Di saat bersamaan jantungku berdetak lebih kencang, bahkan tanpa bisa aku cegah.
"Bandara mana?" Aku melirik Aisyah. Tidak. "Op het vliegveld heb je hem ontmoet?" Ai tidak perlu mendengar obrolan kami. Dia tidak perlu tau.
"Schiphol," jawab Jeje. Kemudian Jeje memandangku penuh selidik. "Heb je nog steeds contact met die vrouw?"
Aku tersenyum tipis, mengacak rambut Jeje.
"Mau makan buah?"
***
[AISYAH'S POV]
Pagi sekali saat aku bangun sehabis sholat subuh, aku menemukan ada ART di dapur. Sedang memasak. Namanya Mbok Min. Satu dari beberapa ART di rumah ini yang aku belum sempat berkenalan. Kemarin aku terlalu capek. Setelah membereskan barang-barang, aku hanya keluar sebentar. Setelahnya aku diam di kamar mendengarkan ocehan Mas Evra dan adik sepupunya, Jeje. Aku tidak begitu tertarik mereka membahas apa. Apalagi mereka ngobrol pakai Dutch.
Tadi aku sempat membangunkan Mas Evra untuk sholat, tapi dia tidak mau bangun. Bisa aku tebak, dia itu sepertinya sangat jarang sholat. Semalam saja dia seenaknya minum red wine di kamar. Tapi aku tidak bisa melarangnya. Yang aku lakukan hanyalah harus sabar. Sabar Ai, sabar.
"Mbok masak apa?"
Mbok menyebutkan apa yang akan ia masak. Aku menawarkan diri membantu. Awalnya Mbok Min melarang, tapi aku memaksa membuat wanita tua itu pasrah.
"Non harusnya nggak usah bantu. Mbok bisa sendiri.."
"Nggak apa-apa, Mbok. Ai biasa juga bantu Umi di rumah. Lagian Ai nggak tau lagi harus ngapain." Kulempar senyum agar Mbok Min tidak sungkan lagi. Jika aku boleh tebak, sepertinya Mbok Min sudah lama kerja sama keluarga Mas Evra. Terlihat jelas dia geraknya yang cetakan seolah sudah paham dengan keluarga ini.
Kuperbaiki untaian jilbab yang jatuh. Biasanya jika di rumah di desa aku selalu pakai jilbab siap pakai jika pagi begini. Tapi di sini aku belum terbiasa.
"Den Evra beruntung dapat istri kayak Non. Udah cantik, baik, berhijab lagi. Idaman banget buat dijaiin istri," puji Mbok Min.
"Jangan panggil Non ya Mbok. Panggil Ai aja. Ai nggak enak dipanggil gitu."
"Tapi—"
"Nggak apa-apa, Mbok. Ai seneng malah kalo dipanggil nama."
Mbok Min memandangku sesaat, kemudian ia tersenyum, mengangguk. "Nama Non, eh, nak Ai juga bagus. Cantik namanya kayak orangnya."
Aku tersenyum. Tapi tidak semua orang berpikir begitu. Karena beberapa hari lalu Mas Evra dengan santainya menghina nama itu.
"Mbok seneng banget pas denger kalau Den Evra mau nikah."
Aku manggut-manggut. Pagi itu aku habiskan dengan bercerita bersama Mbok Min sembari memasak. Beliau perempuan yang menyenangkan. Dari cerita Mbok Min aku tau kalau ia sudah bekerja di rumah ini sejak Mas Evra berumur tiga tahun. Mbok juga bercerita sedikit tentang Mas Aryz, kakak Mas Evra yang meninggal karena kecelakaan.
Saat jam menunjuk di angka 6, penghuni rumah mulai muncul satu persatu. Mama Mas Evra dan beberapa ART lainnya. Yang tidak muncul-muncul hanya Mas Evra. Dia pasti masih tidur.
"Selamat pagi sayang.."
Aku menyalami Mama Nia, mama mertuaku. Saat aku menawari dibuatkan minuman, Mama menolak. Katanya beliau terbiasa membuat minuman sendiri. Melihat tak ada yang bisa aku kerjakan di bawah, aku segera kembali ke kamar. Membangunkan Mas Evra. Meskipun hari ini dia tidak bekerja, bukan berarti ia harus bangun siang. Lagipula hari ini kami harus ke butik untuk memeriksa baju pesta nanti.
Tebakanku benar. Dia masih tidur.
"Mas, bangun. Udah pagi.." kugoyang pelan badannya. Tak ada reaksi. "Mas.." kugoyang lagi.
Mas Evra bergumam pelan. "Kenapa?" tanyanya dengan suara sangat serak.
"Udah pagi, Mas. Udah jam setengah tujuh."
Ia bergerak pelan. Aku tak ingat kapan dia membuka bajunya yang jelas saat tadi aku bangun tidur dia sudah tak memakai baju. Membuat jantungan di pagi hari.
"Apa? Mas ngomong apa?" Aku tak mendengar jelas apa yang dia katakan. Ia bergumam seperti kumur-kumur.
"Sini.." panggilnya dengan gerakan tangan pelan.
"Hah?" Aku perlahan mendekat. Tiba-tiba Mas Evra menarikku. Aku benar-benar terkejut oleh perbuatan tak terduganya itu. Mas Evra memelukku cukup erat hingga badan kami otomatis menempel. Dengan gerak cepat dia menghimpitku.
"Kamu nggak dengar aku bilang apa?" tanyanya. Suaranya masih agak serak. Rambutnya berantakan. Wajahnya juga masih berat layaknya orang baru bangun tidur. Mas Evra agak menyipitkan matanya, menatapku.
"Eng-enggak.." aku ingin mengalihkan wajah, menghindari tatapannya, tapi tidak bisa. Hembusan napasnya menerpa wajahku. Ya Allah, kenapa bau napasnya bisa seharum ini padahal dia belum gosok gigi sama sekali? Apa orang kaya memang begini? Atau ini memang kelebihan orang tampan?
"Aku bilang cium aku."
Aku mengerjap. "Apa?"
"Aku bilang," Mas Evra menjeda. "Cium," kecupan. "Aku." Kecupan lagi. Sesantai itu. Semudah itu. Dia menciumku dua kali dalam satu detik.
Aku mematung. Menatap Mas Evra tanpa kata. Bengong. Terkejut. Shock.
Bahkan kesadaranku belum terkumpul saat Mas Evra kembali menyatukan bibir kami. Kali ini bukan sekedar kecupan sekilas, tapi ciuman panjang.
Aku merasakan geli luar biasa di area perut. Aneh dan tidak nyaman.
"Mas.." aku dorong pelan dadanya. Mas Evra berhenti. Menatapku. "Mama nyuruh turun, sarapan."
Dia masih diam selama tiga detik. Kemudian Mas Evra menghela napas. Ia beranjak dari atas tubuhku. Aku segera bangkit.
"Ai siapin baju.." aku bergegas ke walk in closet. Sesampai di dalam aku bersender ke kaca lemari. Memegangi d**a yang berdegup di luar kendali. Apa Mas Evra memang se spontan itu? Aku tau dia pasti sudah mahir untuk urusan itu. Tidak aneh sebenarnya. Termasuk urusan perempuan. Seperti yang ia dan Jeje bahas kemarin.
Satu hal yang Mas Evra mungkin tidak tau. Aku mengerti Bahasa Belanda.
***