[AISYAH'S POV]
Akhirnya acara ramah tamah selesai juga. Sebenarnya belum benar-benar selesai. Masih banyak sanak keluarga dan tetangga di luar, bercerita. Hanya saja Umi menyuruhku untuk istirahat. Katanya besok acara akan lebih melelahkan.
Aku belum masuk ke dalam kamar. Masih bicara dengan salah satu temanku yang datang dari Jogja. Kami sudah cukup lama tidak bertemu. Dulu dia adalah temanku saat aku kuliah S1 di Jogja. Aku senang dia bisa datang karena dia sebenarnya cukup sibuk.
Setelah puas bercengkrama dengan Rea, aku meminta salah satu sepupuku untuk mengantar Rea ke kamar tamu agar dia bisa istirahat. Aku melirik jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11. Sudah hampir tengah malam ternyata. Harusnya aku memang sudah tak di sini.
"Astagfirullah, anak ini. Umi suruh kamu istirahat dari tadi kenapa masih di sini? Suami kamu mana?" Umi yang kebetulan lewat memergokiku. Aku tersenyum kecut.
"Hehehe, tadi ada Rea Umi. Jadi ngobrol bentar sama Rea."
"Ini udah jam 11. Sekarang mana suami kamu?"
Aku lupa tadi Mas Evra ke mana. Dia memang sempat mengatakan padaku tadi, tapi tidak begitu jelas karena dia langsung buru-buru pergi.
"Hmm.."
"Udah sana. Masuk kamar, istirahat." Akhirnya tanpa menunggu jawabanku, Umi membiarkan aku pergi. Syukurlah. Aku malas kalau mendengar Umi marah hanya karena aku tidak tau di mana keberadaan suamiku itu.
Aku menutup pintu kamar dan tidak ada seorangpun di sana. Tidak ada mas Evra. Aku membuang napas pelan, lalu beranjak menuju kamar mandi.
***
Kenapa udara jadi terasa panas? Aku membuka mata perlahan karena perasaan tak nyaman. Aku mengerjap beberapa kali. Temaram. Cahaya hanya berasal dari lampu balkon yang menyusup melewati celah tirai yang sedikit terbuka.
Tunggu. Tanganku rasanya menyentuh sesuatu.
"AAaaa.....!!!"
"Aaaa...!! APA!! KENAPA?!!"
Aku langsung bangun dengan posisi duduk. Menarik selimut ke sudut headboard tempat tidur. Melindungi diriku.
Lampu kamar menyala. Laki-laki yang aku kenali yang tak lain adalah suamiku itu terlihat mengusap matanya. Sepertinya iapun kaget.
"Kenapa sih teriak-teriak tengah malam?!" dari ekspresinya aku tau kalau dia kesal.
Aku merasakan bahwa napasku masih agak ngos-ngosan. Aku kaget. Tentu saja aku kaget karena tiba-tiba ada yang memelukku saat tidur.
"Kenapa peluk-peluk aku?" tanyaku langsung. Tersadar aku langsung menutup kepalaku yang tidak memakai hijab dengan menggunakan selimut.
AKu bisa lihat keterkejutan di wajah Mas Evra yang kemungkinan disebabkan oleh pertanyaanku.
"Jadi kamu teriak tadi karena aku peluk kamu?"
Aku mengangguk tanpa merasa bersalah.
DIa mengacak rambutnya dengan kesal. "Astaga. Tengah malam begini kamu teriak karena aku peluk kamu?! Aku kira tadi ada apa!"
Aku masih mempertahankan diri. "Ya, Mas ngapain peluk-peluk aku?"
Dia menghela napas, menatapku. "Ngapain peluk? Kamu punya pertanyaan yang lebih lucu dari itu nggak? Kita itu udah resmi menikah. Salah kalau aku peluk istri sendiri?"
Jeduarr. Aku nyaris lupa kalau kami sudah menikah. Astagfirullah. Bagaimana aku bisa lupa?
Tiba-tiba ekspresi wajah suamiku itu berubah. Ia menyipitkan mata, bergerak mendekat. AKu otomatis mundur.
"Mas mau ngapain?"
"Menurut kamu? Harusnya nggak cuma peluk. Harusnya kita lakuin lebih dari itu, kan?" Ia tersenyum aneh dan menatapku dengan senyuman aneh di bibirnya. Ia seperti sengaja menekan kalimatnya yang terdengar amat seram di telingaku. Dia mau apa? Aku semakin melindungi tubuhku dengan selimut.
"Mas.. stop!!" Aku menahan dadanya sembari memejamkan mata.
"Kenapa? Kan udah sah," jawabnya enteng. Rasanya jantungku kembali berpacu lebih hebat. DIa yang memelukku saja rasanya sudah seperti di bom atom. Bagaimana kalau melakukan hal.. astaga, tidak. Jangan dibayangkan.
Tiba-tiba dia mundur. Mas Evra mengusap bagian belakang tengkuknya. "Kamu nggak usah khawatir. Aku terlalu capek. Nggak ada pikiran mau ngapa-ngapain." Sepertinya dia benar-benar capek. Aku tidak tau tadi dia dari mana dan aku juga tidak tau kapan dia masuk kamar. Dia bahkan masih memakai setelan kemeja, meskipun sudah agak acak-acakan.
"Mas," panggilku. Dia menoleh. "Hmm, ganti baju dulu. Pasti nggak nyaman pakai baju itu." Aku turun dari tempat tidur. mengambil hijab dan menutup kepalaku cepat.
***
Aku melirik jam lagi. Sudah pukul setengah tiga. Mataku masih belum mau ditutup. Aku melirik Mas Evra yang sudah nyenyak dalam tidurnya. Dia tidak memelukku lagi. AKupun tidur dengan posisi sedikit menjauh, ke pinggir dan membelakangi Mas Evra. Sebenarnya dosa. Tapi aku tidak bisa berdahapan dengannya. Rasanya sangat aneh. Ini adalah kali pertama aku tidur dengan laki-laki lain selain Abi saat kecil.
AKu menarik napas dalam dan membuangnya perlahan.
"Tidur, Ai. Kamu istirahat. Ingat, besok adalah hari yang panjang." aku berusaha mensugesti diriku sendiri. "Bismillahirrohmanirrohim.." aku yakin Mas Evra juga tidak akan macam-macam. Toh dia sepertinya sangat kelalahan dan sudah tidur lelap. Perlahan aku juga mulai memejamkan mata. Dua menit berikutnya aku sudah terbang ke alam mimpi.
***
[EVRA'S POV]
Hari masih pagi dan aku sudah tersedak oleh roti bakar. Aku sedang sarapan saat beberapa gadis datang menghampiri lalu bertanya dengan sangat polosnya.
"Mas, emang beneran ya semua cowok di kota itu ganteng-ganteng kaya Mas?"
Astaga, pertanyaan macam apa itu? Aku memang sudah terlalu sering mendengar aku ganteng. Mendengar hal itu sudah seperti makanan sehari-hariku. Tapi bagaimana gadis-gadis desa ini bisa dengan begitu polosnya bertanya? Memangnya mereka tidak punya televisi atau mereka memang sekolot itu?
Karena aku sedang dalam mood baik, jadi aku jawab saja dengan menyertakan sebuah senyum tipis yang membuat mereka langsung berteriak histeris.
"Well, kalau kalian menanyakan ini karena lihat tayangan di TV, sebaiknya kalian jangan nonton TV lagi. Itu semua bohong, kalian udah ditipu. Populasi orang ganteng di kota itu Cuma 20%. 25% nya standar dan 55% jelek."
Aku kira mereka akan mengata-ngatai aku karena jawaban sombong itu. Tapi yang mereka katakan selanjutnya justru membuat aku ingin menelan bulat-bulat piring makanku ini.
"Wuaa, berarti Mas Evra ini salah satu dari 20% itu ya. Ya ampun, Kak Ai beruntung banget ya.."
Begitu mereka pergi aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Jadi idola ya, Ev, di sini.." kak Noo, kakak sepupu Aisyah yang waktu itu ada di foto bersama Aisyah tersenyum hangat padaku. Sudah sangat lama sejak terakhir kalinya aku diperlakukan sehangat ini oleh wanita selain Mama. Maksudku hangat dalam artian keluarga. Wanita yang selama ini datang padaku semuanya hanya hangat di kasur.
Aku memasang wajah 'nyaris datar' seperti biasa. Aku belum terbiasa menerima perlakuan hangat dari keluarga ini. Jujur saja, sebenarnya aku agak risih melihat betapa sangat hangat hubungan mereka baik di dalam keluarga maupun pada tetangga sekitar. Ciri khas desa, aku bisa maklum. Tapi karena itu terjadi di depan mataku, aku tidak begitu menyukainya.
"Gadis-gadis itu masih polos, jadi maklum aja, ya."
Aku mengangguk pelan.
"Ini minumnya.." Aisyah tiba-tiba muncul, meletakkan minum di meja. Saat dia hendak menarik tangannya, aku lebih dulu menggenggamnya bersamaan dengan gelas. Aisyah terlihat kaget. Aku jadi ingat kejadian tadi malam. Apa dia benar-benar sepolos itu? Sungguh?
"Mas, lepas, nggak enak diliat orang.." cicitnya pelan.
Aku menatapnya santai. Masih menggenggam tangannya. Aku baru menyadari kalau tangannya dipenuhi oleh henna. Cantik. Sangat jarang aku melihat wanita yang di henna tangannya saat menikah. Di kota, di lingkungannya nyaris tidak ada. Biasa aku hanya melihatnya di sosial media. Sekarang aku melihatnya langsung di tangan istriku. Ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan.
"Emang kenapa kalau diliat orang?" aku menoleh ke sekitar. "Lagian nggak ada siapa-siapa di sini, cuman kita berdua.."
Pipi Aisyah memerah. Ia menutup setengah wajahnya dengan jilbab yang dia pakai saat sadar aku memperhatikan pipinya. Kenapa dia sangat lucu sekali? Rasanya ingin kugigit pipinya.
"Mas, lepasin. Nanti ada yang datang.."
Aku masih kekeuh tidak mau melepas tangannya. Aku justru mendapat ide lain untuk menggoda istriku ini. Aku tarik tangannya dengan sekali hentak. Berdiri Aisyah tidak begitu kokoh dan dia berakhir di pangkuanku. Aisyah jelas saja melotot kaget. Bagaimanapun hal ini tentu tidak biasa baginya. Tidak sama denganku yang sudah di level expert. Aku langsung melingkarkan tangan di pinggangnya, memeluknya.
Tangan Aisyah otomatis menahan dadaku saat aku dengan sengaja mendekatkan wajah kami. Aku sudah hampir menyentuh bibir Ai saat Kak Noo datang dan mengagetkan kami. Aisyah langsung melompat dari pangkuanku dan kabur tanpa menoleh sedikit saja.
"Kalau mau mesra di kamar, ya," kata Kak Noo. Entah itu benar-benar sebuah nasehat atau dia hanya sekedar menggoda. Aku tidak menghabiskan sarapanku. Mood ku sudah hilang.
***
Resepsi ini benar-benar melelahkan. Aku juga tidak suka konsepnya. Aku lebih suka berbaur dengan tamu, berbincang. Sementara sekarang aku hanya duduk berdua dengan Aisyah di pelaminan. Menunggu orang datang untuk menyalami kami. konsep seperti ini tidak ada dalam kamusku. Sangat menyebalkan rasanya saat ditonton oleh ratusan orang tanpa bisa melakukan apapun. Hanya duduk. Tck.
"Ini sampai jam berapa?" tanyaku.
Aisyah yang sedang memperbaiki bulu matanya menyalakan ponsel. "Jam 4. Kenapa? Lapar? Biar Ai ambilin makanan.." dia hendak bangkit tapi aku menahan tangannya.
"Nggak usah, masih kenyang." Tapi tepat saat aku bilang kenyang, perutku malah berbunyi. Pinter banget ni perut bikin malu. Aisyah tertawa. Tawa pertama yang aku lihat dan aku akui itu manis.
"Bentar ya, Ai ambilin. Kasihan perutnya udah protes karena Tuannya nggak jujur.." hebat sekali dia dalam menyindir. Ai memanggil salah satu sepupunya yang aku lupa namanya. Entah apa yang dia katakan. Gadis yang sepertinya masih SMA itu langsung pergi. Tak berapa lama dia kembali membawakan sepiring nasi. Nasi? Sungguh? Dia suruh aku makan nasi sekarang? Di tempat ini?
Ai mengerutkan keningnya menatapku bingung saat aku pun hanya menatap piring yang ia ulurkan. "Kenapa?"
"Kamu nyuruh aku makan nasi, sekarang, di sini?"
Ai makin bingung. "Ya iya. Emang kenapa?"
Gadis ini memang polos. Tidak mengerti konsep hidup Evra. Demi p****t bohay Nicky Minaj aku tidak akan pernah makan nasi di tatap oleh ratusan pasang mata.
"Malu diliatin orang? Pengantin kan juga manusia, Mas. Udah nih.." tanpa sempat aku cegah dengan sangat mulus Aisyah membuka mulutku dan menyuapkan makanan ke dalam mulutku. "Kunyah.."
Seperti anak kecil yang sedang belajar makan, aku menurut. Pada detik ke lima baru aku sadar.
"Aku nggak mau, kamu aja yang makan.." aku mengambil minum dan langsung menelan habis sisa makanan di mulut.
"Kok jadi kayak anak kecil gitu? Gengsi Cuma bikin sengsara, Mas.."
Aku menatapnya tajam. Pintar sekali mulutnya bicara. Dia sepertinya harus diberi pelajaran. Aku menaikkan satu alis.
"Ok, aku makan. Tapi," aku menjeda. Mendekatkan wajah ke arah Ai. Dia memundurkan kepalanya satu senti, reaksi orang terkejut. "kamu nyuapinnya nggak pake sendok, pake mulut kamu.."
Aisyah melotot. Pasti dia sangat terkejut dengan kelancangan dan kevulgaran bibirku ini. Dia belum tau bagaimana seorang Evra. Jika dia minta, aku akan berikan. Lihat saja? Dia akan menjawab apa lagi setelah ini?
Tatapan Aisyah berubah tenang, seperti sudah kembali dari keterkejutan tadi. "Boleh. Tapi nggak di sini, nanti di kamar."
What....
***