Rumah kediaman Atmadjaja.
“Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Akhirnya pulang juga,” ucap Risma saat melihat kedatangan Daniel ke rumah. Ia menenteng oleh-oleh yang ia beli di Surabaya lalu menyerahkannya kepada Risma.
Daniel memeluk Ibunya dengan erat. “Hai, Mom. Long time no see.”
“Heran deh Mama. Mau ketemu anak sendiri saja susah banget. Kayak mau ketemu Presiden aja.” Risma mengelus wajah putranya yang tampak lelah. Daniel terkekeh geli.
“Apaan sih Ma. Lebay deh. Anak mu itu lagi kerja bukan keluyuran ngga jelas. Emangnya si Juan yang keluyuran ngabisin duit buat maen game.”
“Loh kok jadi bawa-bawa nama gue sih, Bang!” Juan yang sedang menonton tv tersinggung. Juan nyaris melempar bantal sofa kearah Abangnya jika saja tidak Risma tahan.
“Mama tahu kamu sibuk. Tapi sempatin dong pulang kerumah ketemu keluarga. Mentang-mentang sudah punya rumah sendiri jadi lupa sama orang rumah.”
“Iya maaf Ma. Daniel akan lebih sering pulang nanti.”
“Halah! Jangan percaya omongan playboy cap kadal Ma.” Juan memeletkan lidahnya kearah sang kakak. Saat ia membuka mata, sebuah bantal melayang ke wajahnya tanpa bisa dihindari. Ia mengaduh kesakitan karena lemparan Daniel.
“Yeah… three point!” serunya seolah berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring.
“Sialan lo Bang!”
Daniel tertawa. Risma menggelengkan kepalanya. Anak sulung dan anak bungsunya jika bertemu pastilah saling menjahili satu sama lain sehingga membuat kepalanya pusing.
“Kamu udah makan belum? Mama dan Juan baru selesai makan malam.”
“Belum ma. Wah kebetulan banget lagi laper.”
“Ya sudah, sana makan dulu.”
Daniel beranjak ke dapur. Ia membuka tutup saja di atas meja makan. Melihat menu masakan ibunda tercintanya, perut Daniel semakin keroncongan. Dengan sigap ia mengumpulkan semua menu dalam satu piring lalu melahapnya perlahan.
“Papa kemana, Ma? Belum pulang ngantor?” ucapnya sambil mengunyah makanan.
“Iya. Papa ada lembur mala mini. Makanya Mama dan Juan makan malam duluan.”
Daniel manggut-manggut. Ia benar-benar makan dengan lahap. Dua piring nasi beserta lauk pauknya berhasil pindah ke dalam perutnya. Keahlian Risma dalam memasak menurun kepadanya. Melihat Risma memasak, membuat Daniel bercita-cita ingin menjadi koki handal dan kini impiannya berhasil ia wujudkan. Daniel menjadi salah satu koki muda ternama di Indonesia.
Daniel merebahkan tubuhnya di pangkuan Risma. Meski anak tertua, Daniel tak kalah manja dari Juan adiknya. Matanya terpejam menikmati pijatan Risma dikepalanya. Rasanya bebannya selama ini menguap begitu saja setelah dipijat sang Mama tercinta.
“Kamu nginep apa pulang, abang?” Tanya Risma.
“Nginep deh Ma. Mau pulang mager gini.”
“Ya sudah kalau mau nginep.”
Daniel merogoh saku celananya dan berencana menghubungi Celine kalau malam ini dia tidak pulang. Belum sempat memencet nomor Celine, gadis itu rupanya menghubunginya lebih dulu. Daniel terkejut saat menjawab telpon dari Celine. Terdengar suara tangisan dari gadis itu dan suara orang yang tengah bertengkar.
Ia bangun dari tidurnya dan mencoba memanggil nama Celine, tapi gadis itu tidak menjawab. Daniel berpikir kalau Celine tak sengaja memencet tombol panggilannya.
“Kenapa Celine, Niel?” Tanya Risma ikut khawatir melihat mimic muka putranya setelah mengangkat telepon Celine.
“Ngga tahu, Ma. Celine ngga sengaja mencet nomor aku deh.”
Daniel kembali menghubungi nomor Celine tapi tidak tersambung. Hatinya gusar. Ia bergegas mengambil jaket miliknya lalu berlari ke parkiran mobil.
“Kamu mau kemana, Bang?” Tanya Risma yang mengikuti putranya keluar rumah.
“Mah, sepertinya aku ngga jadi nginep. Firasat ku mengatakan ada sesuatu yang terjadi sama Celine. Aku balik ya Ma.”
“Oh… Iya. Hati-hati dijalan ya. Kabarin mama kalau udah ketemu Celine.”
Daniel hanya mengacungkan tangannya kearah Risma dan langsung melesat meninggalkan pekarangan rumah. Dari dalam rumah Juan berteriak. “Woy! Mobil gue lo bawa!”
Namun sayang, Daniel sudah tidak terlihat lagi. Juan memaki kakaknya.
Daniel membunyikan klakson mobilnya berkali-kali tiap kali berpapasan dengan pengendara lain. Ia ingin cepat sampai ke rumah dan memastikan bahwa Celine baik-baik saja.
***
Sementara itu, Celine tengah dikerumuni oleh warga kompleks rumahnya. Lebih tepatnya Celine menjadi sasaran amukan warga yang tidak berhasil menemui Daniel dikediamannya. Karena Celine malam itu menginap dirumah Daniel, otomatis Celine yang menjadi kambing hitamnya.
Warga kompleks di temani Pak Rt dan Pak Rw ingin meminta kejelasan Noah yang selama sebulan ini berada dalam asuhan Daniel dan Celine. Mereka mempertanyakan status Noah saat ini. Celine mencoba sebisanya menjawab semua pertanyaan para warga tapi gagal. Mereka tidak percaya akan omongan Celine yang disangka membantu menyembunyikan status Noah yang berasal dari hasil diluar pernikahan.
Celine yang tengah menggendong Noah yang hendak tidur, berusaha menutup telinga Noah agar tidak mendengar kata-kata yang tidak seharusnya ia dengar. Tapi sayang Noah bergerak-gerak tak nyaman. Alhasil Noah menangis kencang dan itu membuat Celine geram. Bagaimana bisa mereka memperlakukan seorang anak kecil dengan kejam seperti itu. Tapi tidak ada yang merespon ucapannya.
Celine mendapatkan makian dari para warga dan tubuhnya pun nyaris terjatuh ke tanah saat seorang ibu berusaha ingin menjambak rambutnya. Daniel yang datang tepat waktu geram melihat tindak tanduk warga kompleks yang keterlaluan. Daniel menarik Celine kedalam pelukannya dan menatap satu persatu warga dengan tajam.
Celine dan Noah menyembunyikan wajahnya di balik tubuh kekar Daniel sambil menangis.
“Ada apa ini malam malam membuat kerusuhan dirumah orang?!” ucapnya tak bersahabat. Daniel melirik kearah Celine yang masih menangis tapi berusaha menenangkan Noah.
“Lo gapapa kan?” Celine mengangguk.
“Daniel, gue…”
“Bawa Noah masuk kedalam. Dia ketakutan,” ucap Daniel tanpa mengalihakan pandangan dari warga. Celine buru-buru masuk kerumah dan menutup pintu. Setidaknya Daniel yang harus menjelaskan kepada para warga mengenai Noah.
“Ssstt… cup cup cup sayang. Onty Cantik disini. Noah jangan takut ya. Papa udah datang bantuin kita. Sudah ya ganteng, jangan nangis lagi.”
Noah perlahan mulai tenang setelah diberi satu botol s**u formula rasa vanilla kesukaannya. Tangan mungilnya memegangi baju tidur Celine dengan sangat kencang, seolah tidak ingin ditinggalkan. Celine mencoba duduk tenang disofa sambil menunggu Daniel yang tengah berbicara kepada para warga.
Dari luar, terdengar suara teriakan para warga. Celine semakin takut. Ia mengeratkan pelukannya agar Noah tidak merasa ketakutan juga. Ia takut warga masuk ke dalam rumah dan menyeretnya keluar seperti di film film.
Setelah sekian lama menunggu, suara suara mengerikan itu perlahan menjauh. Tak lama terdengar suara pinru rumah terbuka. Celine beranjak dari duduknya dan langsung menghambur ke pelukan Daniel.
“Gue takut, Niel,” ucapnya sambil kembali terisak.
Daniel membalas pelukan Celine. Untuk beberapa saat keduanya saling berpelukan. Daniel mengangkat wajah Celine dan mengelap air matanya. Tatapan matanya teduh, tidak seperti tadi yang tajam menusuk.
“Sorry ya. Gue udah buat elo susah.”
Celine menggelengkan kepalanya. Ia kembali memeluk Daniel. “Untung elo cepet pulang. Kalo ngga gue ngga tahu harus gimana.”
Daniel terkekeh, mencoba mencairkan suasana. “Bukannya tadi elo telpon gue ya.”
Celine mengangkat wajahnya. “Hah? Kapan?”
“Udah ngga usah dipikirin. Yang penting gue udah balik. Elo dan Noah baik-baik aja udah cukup.” Daniel meraih Noah kedalam pelukannya. Bayi itu tersenyum lebar kearahnya. Salah satu tangannya melingkar di lehernya.
“It’s oke, Noah. We’ll be alright.”