Part 06

1104 Words
Hi sayang. Aku sangat menikmati malam kita. But I’m so sorry tidak bisa menyapa mu pagi ini. Aku harus meninggalkanmu untuk urusan bisnis. I hope to see you again and I’m promise you can see me in the morning. Love you Cassie. Daniel tersenyum membaca sepucuk surat yang ditinggalkan oleh teman kencannya itu. Daniel belum pernah merasa senikmat itu bersama teman wanitanya. Ibarat kata Cassie itu baik diluar tapi liar didalam. Misterius dan membuatnya semakin penasaran. Daniel meregangkan tubuhnya yang pegal pegal setelah berperang semalam. Ia mengecek ponselnya dan melihat ada beberapa pesan serta panggilan tidak terjawab dari Celine. Ia langsung menelpon balik. “Ya… Kenapa Lin?” ucapnya tanpa basa basi. [Kok semalem elo susah banget di telpon, padahal hape lo aktif.] “Ya lo tahu sendiri lah gue kalo ngga terima telpon lagi ngapain.” [Sialan lu! Bisa bisanya elu have fun disana.] “Ya bisa lah. Bukan Daniel namanya kalo ngga bisa. Btw ngapain lo telpon? Kalo cuma ngoceh ngga jelas mending gue tutup telponnya. Masih ngantuk nih gue.” Daniel menguap sangat lebar dan mengucek-ngucek matanya. [Tadinya semalem Noah mau ngajak video call tapi lo ditelpon ngga diangkat terus.] “Itu alasan elo aja kali yang kepingin telponan sama gue,” guraunya. [Idih! Ngga usah kegeeran ya. Noah semalem rewel. Dia bisa tidur gegara gue setel video video kita dihape gue. Baru dia bisa tidur. Dahlah males gue ngomong sama lo! Pagi-pagi bikin emosi!] Celine mematikan telponnya. Daniel tertawa. Ia kembali menghubungi Celine tapi kali ini video call. Ia menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Noah yang wajahnya sedih dan basah. Sepertinya bayi kecil itu baru saja selesai menangis. Wajah Noah kembali berseri-seri setelah melihat wajahnya. *** Kepergian Daniel ke Surabaya kali ini bukan sekedar untuk menghadiri pernikahan Kevin dan Amelia, melainkan ia ingin mencari panti asuhan yang akan membantunya mencari orang tua asuh yang baru. Jujur saja Daniel belum siap menjadi Ayah. Tidak ada keinginan dalam dirinya untuk menjadi ayah dari seorang bayi bernama Noah. Berbekal informasi yang di dapat, Daniel mulai mengunjungi satu persatu panti asuhan terbaik di Kota Surabaya. Dari banyaknya panti asuhan yang ia datangi, pertanyaan mereka hampir sama, yaitu kenapa harus mencari adopter kalau ia sendiri bisa mengasuh Noah. This is crazy but itu sudah menjadi keputusannya. Daniel akan merelakan Noah diasuh oleh pasangan diluar sana yang memang mencari seorang anak untuk diadopsi. Daniel tidak serta merta menyerahkan tanggung jawabnya kepada pihak panti asuhan begitu saja. Ia akan turut serta menyeleksi para calon orang tua asuh yang kelak akan mengasuh dan membesarkan Noah. Ia tidak mau sembarangan memberikan Noah kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Nyatanya, dia sendiri tidak bisa bertanggung jawab. Maka dari itu ia sangat berhati-hati dalam mencari dan memilih orang tua asuh bagi Noah. *** Daniel kembali pulang ke Bandung dengan perasaan sedih karena belum bisa menemukan panti asuhan yang ia harapkan. Selain itu, Surabaya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Akan sangat melelahkan jika harus bolak-balik Bandung-Surabaya hanya demi mengurus proses adopsi Noah. Ia akan kembali mencari panti asuhan di area Jawa Barat saja yang dari segi jarak sudah tentu lebih dekat. Noah tidak perlu harus tinggal terlebih dahulu di panti. Noah bisa tinggal bersamanya sampai saatnya orang tua barunya akan menjemputnya. Setibanya di Bandung, Daniel tidak langsung pulang ke rumah. Ia segera mengunjungi panti asuhan yang banyak tersebar di Bandung. Tidak sesulit saat di Surabaya, Daniel langsung klop dengan salah satu panti asuhan dimana ia sering memberikan dana bantuan selama beberapa tahun terakhir. Bahkan ia akrab dengan ibu kepala panti asuhannya. “Ya Tuhan, ganteng banget anaknya. Usia berapa bulan, Pak Daniel?” Tanya Ibu Sinta-kepala Panti Asuhan Yanuar. “Kira-kira 4-5 bulanan Bu.” “Lucu banget ini anak. Pasti akan banyak calon orang tua asuh yang berebut ingin adopsi Noah kalau melihat foto Noah setampan ini.” “Iya, dia menggemaskan.” “Kenapa harus dilepas anak selucu dan setampan ini, Pak Daniel?” Daniel menyunggingkan senyumnya. “Bu Sinta adalah orang kesekian yang bertanya hal itu sama saya. Dan jawaban saya akan tetap sama. Saya tidak siap menjadi Ayah untuk Noah. Hidup saya selama ini berantakan, Bu. Bagaimana saya bisa membimbing dan mengasuh Noah kalau tanda-tanda kebapakan saja tidak ada dalam diri saya.” “Bukannya saja tega membuang Noah seperti ini. Justru karena saya sangat menyayangi Noah makanya saya melakukan hal ini agar Noah mendapat cinta dan kasih sayang yang layak dari kedua orang tua barunya,” ucapnya lagi. “Tidak ada yang pernah siap menjadi orang tua, Pak Daniel. Kita sebagai orang tua harus belajar bagaimana cara mengasuh anak yang baik dan benar. Menurut saya itu hanya alasan Pak Daniel saja. Saya yakin kok seiring berjalannya waktu, pak Daniel bisa memerankan sosok ayah yang baik bagi Noah. Memangnya Pak Daniel ngga akan kehilangan sosok Noah kalau nanti Noah sudah berpindah tangan?” Daniel terdiam sejenak. Selama ini ia tidak memperhatikan itu. Apakah dirinya siap kehilangan Noah yang baru satu bulan ini tinggal bersamanya? “Coba dipikir ulang dulu, Pak sebelum terlambat.” “Sepertinya itu yang terbaik Bu Sinta.” Wanita paruh baya itu tersenyum. “Baiklah jika keputusan Bapak sudah final. Berkas milik Noah sudah sangat lengkap. Saya akan simpan semua berkas milik Noah. Kalau suatu hari nanti Bapak berubah pikiran, Bapak bisa temui saya lagi ya.” “Baik Bu Sinta. Terima kasih.” Daniel menjabat tangan Ibu kepala panti lalu pulang ke rumah. Sepanjang jalan ia berpikir mengenai keputusan sepihaknya. Kedua orang tuanya belum mengetahui keberadaan Noah dirumahnya. Ia bingung bagaimana menjelaskan keberadaan Noah kepada orang tuanya karena ia sendiri belum bisa menerima sepenuhnya keberadaan Noah. Ditengah renungan, ponsel Daniel bordering. Risma Anggraeni-Mamanya menelpon. “Iya Ma.” [Kamu dimana nak? Ada dirumah kan? Mama mau ke rumah kamu] “Hah? Mau ke rumah? Ngapain Ma?” Daniel terlihat khawatir. Ia belum mau mempertemukan Risma dengan Noah. [Kamu sudah beberapa minggu ini ngga pulang ke rumah Mama. Kalau ngga Mama samperin ya kamu mana mau nyamperin Mama.] “Maaf Ma. Restoran Daniel lagi rame banget. Daniel juga sering keluar kota akhir-akhir ini makanya belum bisa ketemu Mama. Ini saja baru balik dari Surabaya.” [Oalah, pantesan.] “Mama ada dirumah kan. Daniel sekarang otw ke rumah Mama ya. Daniel lagi dijalan nih sebentar lagi sampai. Jadi Mama ngga usah ke rumah Daniel.” [Ya sudah. Mama tunggu dirumah. Awas kalau ngga datang.] “Iya iya. Daniel udah putar balik kok. Tunggu ya. Sebentar lagi sampai.” [Oke sayang. Hati-hati dijalan nak.] “Bye Mom.” Daniel meminta supir taksi mengubah arah tujuannya menuju rumah ibunya. Bisa gawat kalau ibunya yang datang ke rumah tiba-tiba. Ia belum siap mendapatkan berondongan pertanyaan dari Ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD