“Saya sangat kecewa atas apa yang baru saja terjadi!”
Daniel mengeratkan kepalan tangannya seolah menahan amarah yang meletup-letup. Tubuh jangkungnya menjulang tinggi diantara kerumunan para warga kompleks yang masih berkerumun di depan rumahnya. Tatapan tajam matanya menatap satu persatu wajah para warga yang hadir malam itu.
“Seharusnya kami yang kecewa sama Anda!” sahut salah satu warga yang terlihat tak kalah emosi. “Kehadiran Noah di kompleks ini membuat citra kompleks kami yang baik menjadi tercoreng.”
“Apa hubungannya Noah dengan semua kekacauan ini?!” Daniel tak gentar. “Dia hanya seorang bayi mungil yang tidak tahu apa-apa.”
“Memang benar dia masih bayi dan tidak tahu apa-apa. Tapi berkat dia kompleks kami tercemar kabar kehadiran anak haram dirumah anda!”
Anak haram! Sial!
Daniel menahan diri untuk tidak menghajar pria bermulut busuk itu. Ia ingin segera mengusir para warga dari rumahnya dengan segera tanpa ada pertempuran. Ia yakin didalam rumah Celine dan Noah akan semakin ketakutan.
Daniel tersenyum remeh.
“Saya tidak menyangka, seorang pengajar yang harusnya memiliki budi pekerti luhur agar bisa melahirkan calon calon pemimpin bangsa berkata selayaknya sampah!”
“Apa kamu bilang!” hardik pria itu tak terima. Pria itu hendak menerjang Daniel tapi dihalangi oleh Pak RW dan Pak RT. Dua orang warga membawa pria tersebut menjauh dari sana. Daniel kembali terkekeh.
“Jadi, begini kelakuan para warga yang anda pimpin, Pak Cokro dan Pak Wira yang terhormat.” Daniel kembali melayangkan tatapan tajamnya kepada pimpinan kompleks rumahnya.
“Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Tapi satu hal yang saya sayangkan adalah mengapa anda berdua sebagai pimpinan dari para warga sini ikut menggiring warga dan membuat kegaduhan di rumah saya.”
“A… Anu Mas Daniel. Saya sudah berusah mencegah para warga tapi mereka tidak mendengarkan ucapan saya dan bersikukuh ingin datang langsung kesini,” kata Pak Cokro terbata-bata.
“Seharusnya anda bertanya dulu kepada saya. Bukan malah ikut-ikutan merusuh disini!” Daniel sedikit meninggikan suaranya. Suara suara warga yang berisik mendadak senyap setelah mendengar Daniel sedikit meninggikan suaranya.
“Saya bisa melaporkan hal ini kepada pihak berwajib karena anda anda semua membuat kegaduhan dirumah saya!”
“Aduh Pak Daniel. Tolong jangan dilaporkan ke polisi. Saya jamin kejadian ini adalah yang pertama dan terakhir terjadi.” Pak Wira selaku ketua Rt mencoba melobi.
“Kalian bilang Noah anak haram?! Siapa kalian berani beraninya mengatai anak saya sebagai anak haram, hah!” Daniel benar-benar geram. “Oke. Saya akui Noah memang anak hasil hubungan terlarang saya dengan mantan kekasih saya, tapi etiskah kalian semua men-jugde bayi yang tak berdosa sebagai anak haram!?”
Warga hanya diam dan tidak berani memandang Daniel. Aura Daniel malam itu benar-benar mengerikan. Sekali berucap salah akan berakibat fatal.
“Saya tahu, saya bukan orang yang suci. Saya berengsek dan saya akui itu. Tapi saat anak saya dihina seperti ini dan dikatai sebagai anak haram, saya tidak terima!”
“Bagaimana pun juga Noah adalah darah daging saya. Siapapun yang berani mengatai atau bahkan menyakiti Noah, siap-siap akan mati ditangan saya!” Daniel mengancam.
Daniel mengangkat tangannya saat Pak Cokro ingin berbicara. Baginya ia tidak ingin mendengar apapun lagi. Ia takut tidak bisa mengontrol emosinya lagi. Daniel kembali memperingati para warga untuk berhenti mengurus masalah yang bukan menjadi bagian dari masalah mereka lalu membubarkan kerumunan.
Daniel masuk ke dalam rumah dan sedikit membanting pintu rumahnya dengan cukup kencang. Celine terperanjat karena kaget. Ia berdiri menatap Daniel yang juga tengah menatapnya. Perlahan raut wajah Daniel mengendur. Barulah Celine berani mendekatinya. Celine kembali menangis dalam pelukan Daniel.
Pria itu membalas pelukannya. Daniel terlihat lega melihat Celine dan Noah baik-baik saja. “Lo gapapa kan?” Celine mengangguk. Daniel mengelus rambut Celine perlahan.
“Kenapa lo ngga bilang sama gue?”
“Gue pikir gue bisa handle sendiri. Ngga tahunya malah kacau,” cicitnya.
Daniel terkekeh. “Sejak kapan lo bisa urus sendiri masalah lo? Biasanya elo ngerusuhin gue. Kenapa tiba-tiba pengen urus sendiri?”
“Gue ngga mau bikin lo makin pusing, Niel. Urusan lo udah numpuk banyak. Masa iya gue nambahin lagi.” Daniel menghela nafas.
“Tapi ini masalah lain, Celine. Ini berurusan sama Noah dan lo tahu sendiri Noah anak gue. Ngga mungkin gue diem aja kayak orang bego.”
“Maaf.”
Celine tidak berani mengangkat wajahnya. Noah hanya melihat tante cantiknya menundukkan kepala sambil menyesal empengnya.
Daniel mengangkat wajahn Celine yang memerah sehabis menangis. Ia mengelap wajah sembab itu dengan tangannya. Daniel memperhatikan sejenak tubuh Celine.
“Ada yang luka ngga? Lo tadi nyaris jatoh kalo ngga gue tolongin.”
“Ngga ada yang luka. Noah juga baik-baik aja. Dia kaget banget tadi.”
“Alhamdulillah kalo ngga ada yang luka. Gue cuma ngga mau elo dan Noah kenapa kenapa.”
Daniel mengambil alih Noah dari gendongan Celine. Sambil ngempeng, Noah tersenyum kearah Ayahnya. “Are you oke, Baby?” Senyum Noah semakin lebar. Kedua tangan kecilnya bergerak-gerak. Daniel mengecup kepalanya.
“Don’t worry. We’ll be alright.” Bisik Daniel.
***
Celine menepuk-nepuk b****g Noah yang terus menerus menguap. Tak lama bayi tampan itu terlelap dalam gendongannya.
“Lo bawa Noah ke kamar gue aja. Tidurin disana sekalian ditemenin elo, Lin.”
“Hah? Gue tidur dikamar lo bareng Noah? Terus elo tidur dimana?”
Celine tidak nyaman tidur dikamar Daniel sementara pemilik rumahnya sedang bersamanya. Rumah Daniel hanya memiliki dua kamar. Satu kamar yang cukup luas dipakai oleh Daniel sendiri sedangkan kamar satunya dipakai untuk menyimpan barang-barang milik Daniel.
“Mendingan elo yang tidur sama Noah dikamar. Gue balik aja ke rumah.”
“Udah malem, Lin. Lo mau nanti pas keluar dicegat sama warga?”
“Tapi kan…”
“Gue tidur di sofa kok. Tenang aja, gue ngga akan ganggu lo. Lagian elo bukan tipe tipe cewek yang bias ague tidurin,” kekeh Daniel.
Andai saja Celine tidak sedang menggendong Noah, maka asbak di atas meja akan melayang dan berpindah haluan ke muka sahabatnya itu. Celine yang kesal memilih masuk ke dalam kamar pria itu lalu menguncinya dari dalam.
“Ngapain dikonci, woy! Kan gue yang punya rumah,” teriak Daniel membuat Celine semakin geram.
“Eh iya ya. Kan dia yang punya rumah. Pasti punya kunci cadangannya kan. Percuma juga gue kunci kamarnya. Toh dia bisa buka sendiri,” monolognya.
“Ah bodo amat! Mau dia buka kek, mau ngga buka kek emang gue pikirin.”
Tak ingin pusing, Celine merebahkan Noah diatas ranjang Daniel. Tangannya terasa pegal menggendong bayi yang beratnya cukup berat. Meski bersahabat, Celine terhitung tidak berani masuk ke kamar Daniel. Ini kali kedua ia masuk ke kamar pria itu.
Tidak ada yang special dari kamar sahabatnya itu. Selayaknya kamar bujangan yang terkesan rapi dan wangi, kamar Daniel juga dipenuhi oleh barang-barang milik Noah. Ada sebuah lemari kayu kecil disudut kamar yang berisi pakaian dan keperluan Noah. Celine tersenyum membayangkan betapa repotnya Daniel tiap malam membuatkan s**u untuk Noah atau sekedar mengganti diapersnya kalau penuh.
Celine naik ke ranjang dan memeluk Noah. Bayi tampan itu semakin terlelap.
“Kamu anak yang beruntung, Noah. Meski Papa kamu dingin dan seakan ngga peduli, sebenarnya Papa kamu kebanyakan gengsi. Dia sayang banget sama kamu.”
Celine mengecupi pipi gembul Noah. Masih tetap memeluk Noah, Celine pun terbang kea lam mimpi.