Sebuah Fakta

1223 Words
Dengan napas yang tersengal, Alina berusaha bangkit ketika melihat sang putra berada di sisinya. Setelah hampir enam jam tidak sadarkan diri, akhirnya Alina siuman meskipun keadaannya masih lemah. Sudah satu tahun ini, Alina memang sering sakit-sakitan dan kondisi tubuhnya tidak bisa terlalu lelah. Setelah diperiksakan, Alina ternyata memiliki komplikasi atas penyakit yang tidak pernah diperiksakan sama sekali. Selama ini, Alina memang tidak pernah memedulikan tubuhnya jika terjangkit penyakit. Ia hanya membeli obat di apotek, dan tidak pernah datang menemui dokter sama sekali.   Qaishar menghela lega melihat sang mama tercinta telah siuman. “Qai—” “Mama istirahat dulu, jangan banya bicara,” sela Qai berdiri cepat untuk mencegah Alina bangkit dari tidurnya. “Biar aku panggilkan dokter sebentar.” Alina mencekal tangan jemari Qaishar agar tetap di sisinya dan tidak pergi ke mana-mana. “Duduk dulu, ada yang mau Mama bicarakan.” Perasaan Qaishar mulai tidak nyaman, ada sebuah firasat yang benar-benar enggan untuk diyakininya. “Ma—” “Duduk, Qai …” pinta Alina berusaha menguatkan diri. Qaishar pun menuruti Alina dan kembali duduk di tempat semula. Hening. Hanya terdengar tarikan napas Alina yang tampak berat. Kemudian wanita paruh baya itu menatap putranya dengan lembut. “Maafin Mama, Qai …” ucap Alina dengan menitikkan setetes lelehan bening dari sudut mata. “Papa kamu sebenarnya … masih hidup …” Dengan perlahan tapi pasti, Alina menceritakan semua kisah yang terjadi di masa lalu. Siapa ayah Qaishar sebenarnya dan apa penyebab hingga mereka berada di titik sekarang. Qaishar yang mendengarnya jelas saja sangat syok. Tidak pernah menduga, kalau ayahnya adalah pemilik dari perusahaan tempat ia bekerja. Itu berarti, direktur keuangan GTV yang bernama Alpha, serta Hera sang sekretaris direksi, adalah adiknya. Mereka selama ini satu kantor dan tidak saling tahu kalau memiliki ikatan darah. “Tapi Mama berani bersumpah, Qai, Mama gak pernah selingkuh dengan siapapun,” lanjut Alina mengakhiri semua kisahnya. Qaishar mengusap kasar wajahnya dengan helaan besar, Masih tidak percaya dengan semua yang terjadi dalam hidup sang mama. Qaishar berjanji di dalam hati, setelah Alina keluar dari rumah sakit, ia akan mengatakan semua hal kepada ayahnya. Membersihkan nama sang mama dari semua fitnah yang ada. Qaishar juga akan mencari tahu, siapa dalang sebenarnya yang sudah memecah keluarga. Kuncinya hanya satu, yaitu sang oma, Willa. “Mama istirahat dulu, aku panggilkan dokter biar diperiksa,” ucap Qaishar setelah mengusap tetes bening yang masih mengalir dari sudut mata Alina. Alina mengangguk dengan senyuman. Melepas kepergian sang putra dan merasa lega karena telah melepas beban yang selam ini dipendamnya seorang diri. Setelah punggung Qaishar tenggelam di balik pintu. Alina menutup mata dengan tenang, dan kali ini … untuk selamanya. -- Qaishar menatap hampa pada rumah sederhana yang berada di depannya. Mulai saat ini, tidak ada lagi suara sang mama yang selalu mengingatkannya akan segala hal. Terlebih, ocehan Alina yang selalu minta dibawakan seorang menantu di rumahnya. Hal itu belum bisa Qaishar wujudkan sampai sekarang, dan ia benar-benar menyesal. “Diikhlaskan, Mas,” ucap seorang wanita yang sedari awal prosesi sudah mendampingi Qaishar dengan setia. Siapa lagi kalau bukan Hera, gadis yang sedari awal bertemu sudah menjatuhkan hatinya pada Qaishar. “Mama pasti dapat tempat yang terbaik dan kita hanya bisa mendoakannya tanpa putus.” Pria itu mengangguk kosong tanpa menoleh sedikit pun pada Hera, yang ternyata adalah adik kandungnya. “Ayo masuk, dan kita temui tamu-tamu yang di dalam.” Lagi-lagi Qaishar hanya bisa mengangguk dan belum bisa berucap kata sedikitpun. Dadànya masih terasa begitu sesak. Merasa gagal sebagai seorang anak, karena belum mampu membahagiakan Alina selama ini. Bahkan permintaan terakhir untuk membawakan menantu pun belum bisa dipenuhi. Tamu yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa pun tidak hentinya mengalir di rumah Qaishar. Dan pria itu pun memang harus belajar mengikhlaskan semuanya, agar sang mama pun juga berbahagia di alam sana. Qaishar juga sempat melihat adik laki-lakinya, yakni Alpha, yang sempat datang untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa. Pria itu tidak bisa berlama-lama karena masih ada laporan hasil audit yang harus periksanya dengan segera. Kira-kira, apa reaksi Alpha dan Hera jika kedua orang itu mengetahui bahwa mereka masih ada hubungan darah. Akankah mereka menerima Qaishar dengan tangan terbuka, atau … mereka akan bersikap sebaliknya. Qaishar tidak bisa menebak-nebak untuk hal yang satu itu. Saat ini, ia hanya bertemu dengan seseorang, yakni ayahnya, Lingga Mahawira. -- Setelah mengambil semua sisa jatah cutinya tahun ini untuk menenangkan diri dalam duka cita. Qaishar kembali menjalankan hidupnya seperti biasa dan semua benar-benar terasa berbeda. Rumahnya terasa benar-benar kosong, sunyi, sepi dan hampa. Jika tidak mengingat bahwa Qaishar masih memiliki seorang ayah dan harus mengembalikan nama baik Alina, maka Qaishar berencana pindah dari ibukota. Bukan hal yang susah bagi Qaishar untuk mengetahui di mana Lingga berada saat ini. Banyaknya koneksi dan relasi yang dimilikinya, membuat pria itu akhirnya bisa menemui ayah kandungnya kali ini. Qaishar duduk di restoran yang sama, tapi dengan meja yang berbeda. Menunggu Lingga menyelesaikan pertemuannya dengan klien dari luar negeri. Hampir satu jam Qaishar menunggu hingga Lingga dan kliennya mengakhiri pembicaraan mereka. Tanpa ingin membuang waktu lagi, Qaishar beranjak dari tempat duduknya untuk menghampiri pria paruh baya itu. “Permisi, Pak Lingga, bisa minta waktunya sebentar?” tanya Qaishar berusaha memberika kesan yang sopan kepada sang papa yang sekaligus merupakan pemilik dari tempatnya bekerja. Keduanya pernah bertemu beberapa kali dan berjabat tangan dalam perayaan ulang tahung GTV. Namun hanya sebatas saling sapa antara atasan dan bawahan. Itupun tidak sampai limat menit. “Ahh, kamu …” Lingga mengingat-ingat sejenak, tidak jadi beranjak dari kursinya. Ia pernah bertemu dengan pria di hadapannya kini tapi Lingga lupa dengan namanya. “Reporter Glory, kan?” Qaishar memasang senyum hormatnya dan mengangguk. Seorang Lingga pasti tidak akan hapal dengan jabatan karyawannya satu persatu. “Iya, saya dari Glory, Pak. Bisa bicara sebentar.” “Apa ada isu yang harus saya komentari?” tanya Lingga kemudian masih setia duduk di kursinya semula. Qaishar menarik kursi yang bersebrangan dengan Lingga. Memasang wajah serius dan tanpa ragu sedikit pun. “Saya mau bertanya tentang ibu Alina dan putranya.” Deg! Dadà Lingga seketika bergemuruh hebat. Wajahnya menunjukkan sebuah emosi yang tidak mampu ditebak oleh Qaishar. Lingga menelisik wajah pria tampan di depannya dalam-dalam hingga pada akhirnya ia terhenyak. Cara Qaishar menatapnya, sama persis dengan Alina. Atau jangan-janga … “Kamu … siapa?” meskipun Lingga sudah bisa menebaknya, tapi ia harus bertanya untuk memastikannya. “Saya Qaishar Ekawira.” Wajah Lingga datar untuk sejenak, lalu ia menyematkan senyum tipisnya. “Apa yang kamu inginkan?” Dari intonasi bicaranya, Lingga terdengar begitu defensif dan memasang tembok penolakan pada Qaishar. “Bapak sudah tahu siapa saya?” “Pastinya, ibumu Alina dan namamu, Qaishar Ekawira.” Sampai di sini, sepertinya Qaishar harus tahu ke mana arahnya harus melangkah. “Cuma itu? Bapak gak mau—” “Ibumu lebih memilih menandatangani surat cerai dan pergi membawa uang 500 juta bersama selingkuhannya. Dan—” “Mama saya gak selingkuh!” “Gak ada maling yang mau mengaku, kalau dirinya salah, Qai,” ujar Lingga berseringai kecil. “Sekarang pergilah, atau aku panggil satpam dan juga memecatmu dari GTV.” “Pak Lingga, saya ini anak—” “Diam dan pergilah!” hardik Lingga memotong ucapan Qaishar. “Tes DNA sudah membuktikan kalau kamu bukan anakku! Dan jangan pernah mengaku-ngaku karena kamu menginginkan harta warisanku. Kamu dan ibumu itu sama saja! Mata duitan!”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD