Jemari Qai mengetuk-ngetuk meja kerjanya. Pikirannya masih melayang, mengingat semua pembicaraan panas dengan ayah kandungnya.
Bisa-bisanya Lingga mengatakan kalau Qai bukan darah dagingnya. Selain itu, kenapa tes DNA yang disebutkan oleh Lingga mengatakan, kalau Qai bukanlah anak dari pria itu.
Tidak … tidak mungkin kalau ibunya berbohong. Seumur hidup, Alina selalu menekankan kejujuran dalam setiap langkahnya. Itu berarti, ada beberapa kemungkinan yang terjadi di sini.
Yakni, Lingga berbohong kepada Qai. Atau, Linggalah yang selama ini dibohongi oleh orang yang sudah mengusir Alina dengan kejam, yaitu, Willa.
Suara pintu yang diketuk sebanyak dua kali itu, seketika memecah lamunan Qai. Sejurus kemudian, terlihat seorang wanita cantik masuk, dengan senyum manis yang selalu tidak pernah lepas dari wajahnya.
“Sore, Mas,” sapa Hera langsung memasuki ruangan Qai, lalu duduk pada kursi yang berseberangan dengan pria itu.
Karena sudah mengetahui, kalau Hera ternyata adalah adik kandungnya. Maka Qai terlihat lebih ramah dari biasanya. “Sore, Bu Hera,” balasnya masih dengan kalimat formal seperti biasa. “Tumben mampir ke sini, gak langsung pulang.”
Hera berdecak lalu mengerucutkan bibir. Ia selalu kesal jika Qai bersikap formal seperti sekarang. “Gak usah formallah, Mas. Jam kantor juga sudah selesai.”
“Jam kantormu yang sudah selesai, kalau redaksi, kan, nonstop, Ra.” Qai menarik tangan dari atas keyboard karena ingin fokus untuk berbicara dengan sang adik.
Akhirnya, untuk pertama kali bibir kissable Qai itu, memanggil namanya tanpa embel-embel mbak, maupun ibu. Hati Hera langsung menghangat dalam sekejap. Sepertinya, Qai mulai melunak setelah melihat Hera dengan tulus menemaninya saat pria itu berduka di rumahnya. Setidaknya, itu yang ada di dalam pikiran Hera saat ini.
“Yaa, aku cuma mampir sebentar, kok. Habis itu juga pulang,” kata Hera.
“Sama supir? Atau bawa mobil sendiri?” tanya Qai yang sebenarnya sudah tahu, kalau Hera selalu menggunakan sopir jika pergi ke mana pun.
“Ada supir.”
Kepala Qai manggut-manggut kemudian memajukan kursi berodanya agar masuk ke kolong meja, lebih dalam lagi.
“Oma kamu apa kabar, Ra.” Paling tidak, jika Qai mendekati Hera, nantinya ia akan dapat menggali semua informasi yang ada di dalam keluarga sang ayah. “Kapan lalu, aku sepertinya lihat beliau di rumah sakit. Lagi sakit?”
Hera menggeleng. “Enggak, biasa lagi check up. Namanya juga udah tua, Mas. Jadi, harus dijaga bener-bener kesehatannya.”
“Tapi sehat, kan?” tanya Qai untuk lebih memastikan kondisi Willa.
“Sehat!” seru Hera memastikan. “Tapi namanya orang tua, ya, pasti ada aja yang dikeluhkan, Mas. Yang inilah, itulah.”
Mendengar wanita tua itu masih hidup sehat, Qai merasa geram sendiri. Membandingkan dengan mendiang sang ibu yang selama ini ternyata sering sakit-sakitan. Kalau bukan karena bekerja ke sana kemari untuk membesarkan Qai dahulu kala, sang ibu pasti tidak akan seperti sekarang.
Dendam Qai kali ini sudah menanjak tajam di kepala. Memikirkan, cara apa yang bisa ia gunakan untuk membalas semua penderitaan yang sudah dialami ibunya selama ini. Selain itu, ada satu hal lagi yang lebih penting. Qai, harus membuktikan bahwa tuduhan yang disematkan kepada ibunya selama ini hanyalah kebohongan belaka.
Semua orang, yang terlibat di dalamnya haruslah mendapat hukuman yang setimpal.
“Kalau mama kamu, Ra? Sehat-sehat juga, kan?” Sedikit demi sedikit, Qai harus mencari tahu semua hal. Lantas, satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan mendekati Hera.
“Sehat semua, Mas.” Hera kemudian menyanggka wajahnya dengan kedua siku yang ia letakkan di atas meja. Matanya memicing dengan garis bibir yang tertarik tipis. “Aku, kok, kayak lagi diintrogasi, ya?”
“Enggaklah.” Qai melakukan hal yang sama dengan Hera. Meletakkan kedua sikunya di atas meja, lalu menyangga kedua sisi wajahnya. “Aku cuma … kamu beruntung masih punya oma, mama dan yaa keluarga lengkap.”
Senyum Hera mengembang hangat. Sejenak, ia berpikir kalau Qai pasti merasa kesepian dan merindukan keluarganya. Dari yang Hera dengar dari pada tetangga ketika pemakaman Aline, selama ini Qai hanya tinggal bersama sang ibu. Hera menyimpulkan kalau ayah Qai sudah lama meninggal dan pria itu sudah tidak memiliki saudara lagi.
“Mas Qai anak tunggal?” tanya Hera ketika ingatannya kembali terhempas ke belakang.
Qai hanya bisa mengangguk, karena begitulah yang orang lihat selama ini. Qai adalah anak tunggal dari ibu tunggal yang telah ditinggalkan sang suami untuk selamanya. Dalam artian, Lingga sudah Alina anggap meninggal dunia.
“Umm, aku boleh main ke rumah, gak?” Hera kembali mengajukan pertanyaannya.
“Sendiri?”
“Iya, boleh?”
Qai menggeleng kecil tidak setuju. “Ngapain anak gadis datangin laki-laki di rumahnya sendirian. Kamu tahu sendiri, lingkunganku gimana, kan? Nanti bisa jadi gosip.”
Wajah cantik yang sedari tadi menyematkan senyum itu, berubah seketika. Apa ini sebuah penolakan, batin Hera. Rasanya, sungguh sesak dan menyiksa di dalam d**a.
“Yaa, kan, cuma bertamu, Mas,” kilah Hera sudah tidak lagi menyangga wajahnya. “Itu pun siang. Tapi, kalau gak dibolehin ya udah, gak papa.”
Hera meraih tali tas yang sedari tadi ada di pangkuannya. Menyampirkannya di bahu, lalu ia berdiri dan berusaha tersenyum dengan terpaksa. “Aku, balik dulu, Mas.”
“Biar aku antar sampai bawah.” Qai buru-buru berdiri dan mengitari mejanya. Berjalan lebih dulu menuju pintu dan membukanya untuk sang adik.
Hera tercenung sejenak. Sikap Qai yang cenderung biasa seperti ini, sanggup membuat kinerja jantungnya jungkir balik. Biasa diperlakukan dingin oleh Qai, membuat Hera langsung panas dingin ketika pria itu bersikap manis seperti saat ini.
“Hera …” panggil Qai untuk memecah lamunan Hera.
“Oh, iya, Mas,” jawab Hera berusaha meredam semua rasa gugup yang merebak di dalam d**a. Hera menelan ludahnya sejenak, lalu memantapkan langkah kakinya untuk melewati Qai yang masih memegang handle pintu untuknya. “Makasih.”
“Anytime, Dear.”
Lagi, hanya disebut seperti itu saja, jemari Hera mendadak tremor tidak menentu. Sepanjang jalan menuju lift, Hera berusaha mempertahankan wajah kasualnya. Tidak mungkin, kan, Hera saat ini berjalan dengan tersenyum seorang diri. Para karyawan pasti akan berpikir yang tidak-tidak, karena Qai yang saat ini berada di sebelahnya bersikap sangat tenang sekali.
“Langsung pulang ke rumah?” tanya Qai ketika mereka sudah berada di lift.
“Gaak,” jawab Hera dengan gelengan. “Kalau hari kerja, aku balik ke apartemen. Kejauhan kalau pulang ke rumah.”
“Kamu … tinggal di apartemen? Sendiri?” tanya Qai merasa sedikit ragu.
“Hmm,” angguk Hera. “Luxury Paradise.”
“Ah, aku juga ada rencana mau ambil unit di sana sebenarnya,” kata Qai. “Kemarin-kemarin waktu ditawari aku nolak, soalnya masih ada mama. Semalam-malamnya, aku pasti pulang ke rumah meski jauh.”
Manik Hera seketika berbinar-binar saat mendengar Qai hendak membeli sebuah unit di tempatnya tinggal saat ini. Bukankah, dengan demikian hubungan mereka bisa semakin akrab.
“Di sana enak, kok, Mas. Aku sudah dua tahun tinggal di sana. Awalnya unitku ada di west tower, tapi setahun ini aku pindah di east, karena butuh matahari pagi.”
“Umm …” Qai menggumam sedikit lama untuk berpikir. “Mungkin besoklah aku datang ke marketing galerinya. Mau lihat-lihat dulu.”
“Beli yang di east tower aja, Mas. Enak banget dapat matahari pagi, sehat.” Hera mempertahankan wajahnya agar tidak terlihat terlalu antusias di depan Qai.
“Iya juga, sih. Moga aja masih ada yang kosong.”
“Amin.”