Sebuah Kabar

1040 Words
Tiga puluh tahun kemudian … Seorang pria tampan keluar dari baleno hatchbacknya, sembari menenteng tas ransel yang berisi laptop. Mobil hasil jerih payahnya berkarir selama hampir sepuluh tahun di Glory Media Grup -GMG-. Lebih tepatnya, pria itu saat ini bekerja di stasiun televisi Glory, atau yang kerap disebut GTV. GMG sendiri, merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang media. Memiliki tiga buah stasiun televisi swasta dan satu buah media cetak, yang tersebar di beberapa daerah provinsi. “Pagi, Pak Qai.” Sapaan tersebut meluncur dari beberapa pria maupun wanita yang berseliweran di lobi. Ada yang berjalan searah dengannya menuju lift. Namun, ada juga yang hanya berselisih jalan dengan Qaishar. “Pagi.” Hanya itu balasan Qaishar sang redaktur pelaksana GTV, kepada beberapa rekan kerjanya, disertai dengan senyuman ramah yang mampu meruntuhkan iman para wanita yang melihatnya. “Pagi, Mas,” sapa seorang wanita cantik yang sudah mengambil posisi tepat di samping Qaishar. Para pekerja lainnya langsung menyingkir, tidak ada yang berani mendekat dengan Hera Bhanuwati, putri dari pemilik GMG yang saat ini menjabat sebagai sekretaris direksi perusahaan. “Pagi, Bu Hera,” balas Qaishar yang segera memasuki lift ketika pintunya sudah terbuka lebar. Memberikan jalan kepada Hera dan wanita lainnya terlebih dahulu, barulah dirinya masuk ke dalamnya. Hera yang sebenarnya ingin berbicang lebih banyak lagi dengan Qaishar, harus membungkam bibirnya. Ada beberapa karyawan yang masih berada satu lift diantara mereka, dan Hera harus menjaga image tentunya. Tepat di lantai empat, satu-satunya karyawan yang bersama mereka akhirnya keluar. Hanya menyisakan Qaishar dan Hera saja di dalamnya. Lidah Hera lantas berdecak kecil. “Umurku itu baru 25, Mas. Jangan dipanggil ibu,” rungutnya tidak menggunakan bahasa formal, karena di lift hanya berisi mereka berdua. “Itu sebagai rasa hormat saya sama kamu,” kata Qaishar melemparkan senyum tampannya pada Hera. TING Lift berhenti di lantai lima, lalu Qaishar berpamitan sopan pada Hera untuk menuju ruangannya. Meninggalkan Hera yang masih harus berada di lift karena ruangan wanita itu ada di lantai sepuluh. “Pagi, semua,” sapa Qaishar pada beberapa karyawan di ruang redaksi sembari terus berjalan ke ruang kerjanya. Sesampainya di sana, Qaishar mengeluarkan laptop dari tas ransel, lalu meletakkannya di atas meja. Pria itu menyalakan perangkat komputer yang berada di mejanya sekaligus menyalakan laptopnya. Terdengar suara ketukan pintu, ketika Qaisar tengah membaca beberapa e-mail yang masuk di akun pribadinya. “Masuk,” titahnya lalu menatap dua orang pria yang memang sudah ada janji dengannya pagi ini. Mereka adalah reporter yang hendak ditugaskan Qaishar untuk melakukan liputan pada saat libur panjang pekan ini. Qaisar langsung beranjak dari kursi kebesarannya. Menyuruh kedua orang itu untuk duduk di sofa panjang yang letaknya tepat bersebrangan dengan kursi kerja Qaishar. Sedangkan ia sendiri, duduk pada arm chair yang berada di sebelah sofa. “Ada perubahan jadwal liputan,” kata Qaishar tanpa basa basi dalam memberi perintah. Maniknya menatap tegas pada reporter yang bernama Hana terlebih dahulu. “Han, kamu ambil libur besok, tapi minggu depan masuk, dan live di pintu tol Cikarang.” Tatapan Qaishar lalu berpindah pada pada Aras, “Dan kamu, Ras, sama seperti Hana, ambil libur dan liputanmu minggu depan ada di bandara Soekarno-Hatta, sekalian kordinasi sama Bani, soalnya hari itu, ada artis Korea yang mau datang.” “Siap, Pak.” Namun hanya Aras yang menjawabnya sedangkan Hana, wanita itu meringis datar pada Qaishar. Seolah tahu bahwa Hana keberatan, Qaishar lantas bertanya mengenai kendalanya. “Kenapa, Han?” “Saya mau lamaran minggu depan, Pak. Bisa diganti gak?” Hani masih mempertahankan ringisannya yang begitu lebar. “Ya sudah, coba kordinasi sama …” Qaishar memikirkan beberapa nama yang sekiranya cocok untuk menggantikan paras Hana untuk liputan live minggu depan. “Rika, kordinasi sama Rika, bilang saya yang suruh. Kalau dia bilang mau lamaran juga, suruh tunda dulu minggu depan.” Aras melipat bibirnya agar tidak menyemburkan tawa. Sedangkan Hana, malah mencebik datar pada Qaishar. Atasannya itu, memang tidak pernah kira-kira ketika berucap. Selalu blak-blakan dan apa adanya. “Saya beneran mau lamaran, atuh, Pak.” Hana masih saja mencebikkan bibirnya kepada Qaishar “Setelah itu, buruan nikah, daripada calonmu sadar duluan terus kabur.” “Bapaaak, ihh!” rungut Hana kesal dan dalam hati memberi rutukan pada atasannya itu. Pantas saja Qaishar tidak laku-laku, batinnya. Sikap pria itu terlalu dingin dan tidak segan ketika meledek seseorang. Qaishar baru hendak membuka mulutnya untuk kembali membalas Hana, tapi dering ponsel yang ia letakkan di meja mengalihkan perhatiannya. “Kalian boleh keluar,” ucapnya sembari berdiri dan menghampiri meja. Tersenyum melihat nama yang tertera pada layar perseginya. Dengan segera Qaishar menggeser icon berwarna hijau lalu meletakkan benda canggih itu ditelinganya. Lagi-lagi, belum sempat Qaishar berucap, seorang wanita di ujung sana sudah meneriakkan namannya dengan panik. “Qaishar, pulang sekarang juga, mamamu masuk rumah sakit!” Tanpa memedulikan laptop yang ada di meja, Qaishar bergegas keluar ruangan sembari masih menempelkan ponselnya di telinga. “Rumah sakit mana?” ia hapal benar siapa yang tengah meneleponnya saat ini, yakni tetangga di depan rumahnya. “Rumah sakit Husada, baru dibawa ambulance,” terang wanita di ujung sana dengan tergesa sekaligus cemas. Qaishar menutup teleponnya, lalu menghampiri manajer liputan yang sepertinya hendak menghampirinya. “Qai—” “Lin, mamaku masuk rumah sakit,” potong Qaishar buru-buru. “Tolong kordinasinya buat liputan ya!” tanpa menunggu jawaban dari rekan kerjanya yang bernama Linda, Qaishar langsung berlari ke arah tangga darurat, daripada harus menunggu lift dengan hati gelisah. Jika memakai mobil di waktu seperti sekarang, Qaishar pasti akan membuang masa yang terlampau lama karena kemacetan di jalan. Semberi terus menuruni tangga, Qaishar terus berpikir dan berpikir hingga akhirnya ia bertemu dengan bawahannya yang baru saja memasuki lobi. “San! Bawa motor?” tanya Qaishar tergesa para kameramen yang bernama Hasan “Iya, Pak, emang mau baw—” “Saya pinjam!” tanpa menunggu persetujuan Hasan, Qaishar membalik tubuh pria itu dan menggiringnya ke parkiran motor. “Kamu bisa pakai mobil saya dulu.” Mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan memberikannya kepada Hasan. “Ayo buruan!" desaknya tergesa separuh memerintah. Hasan yang tergagap hanya bisa menuruti perintah atasannya. Memberikan kunci motor sportnya dan merelakan untuk dibawa oleh Qaishar. Entah apa gerangan yang terjadi, karena Hasan juga merasa sungkan mempertanyakannya. Tapi jelas, kalau Qaishar memang sangat membutuhkan motornya kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD