Awal Rasa Sakit
Tiga puluh tahun yang lalu …
PLAK!
Rasa perih yang begitu membakar langsung menghampiri pipi Alina. Dengan cepat rasa panas itu menjalar keseluruh tubuh dengan meninggalkan rasa sakit yang luar biasa. Tidak hanya pada wajah wanita berusia 25 tahun itu, tapi juga rasa sesak yang kini bergemuruh di dalam d**a.
“Keluar dari rumah ini sekarang juga! Dan bawa anak harammu itu sekalian!” usir Willa dengan menunjuk pintu keluar rumahnya. Wanita paruh baya itu adalah ibu mertua Alina, yang sedari awal, sudah tidak menyukainya sama sekali.
Status keluarga Alina yang hanya dari kalangan sederhanalah, yang membuat Willa tidak bisa membanggakan sang menantu pada rekan sosialitanya. Terlebih, Alina juga bukan gadis pintar, yang berkuliah di universitas terkemuka dengan predikat lulusan c*m laude. Kelebihan Alina hanya terletak pada parasnya yang luar biasa cantik serta keterampilannya dalam memasak.
Namun, siapa yang pedulu akan hal itu. Banyak anak dari kaum sosialita Willa yang memiliki putri yang juga tidak kalah cantik dengan Alina. Sementara itu, untuk urusan di dapur, mereka sudah punya koki sendiri di rumah, untuk apa lagi merepotkan diri untuk memasak. Sungguh, tidak ada yang bisa diandalkan sama sekali dari Alina.
Alina menangkupkan kedua tangan di depan d**a, wajahnya sudah sangat memelas dan berusaha menahan tangisnya sebisa mungkin. “Mam, please, Mam, dengerin Alin dulu. Alin gak selingkuh dari mas Lingga. Alin dijebak, dan Qai bukan anak haram, Qai itu anak Alin sama mas Ling—”
PLAK!
Satu tamparan lagi Alina rasakan begitu perih menyapa pipinya. Kali ini, air mata yang sudah ditahannya sedari tadi, sudah tidak mampu terbendung lagi. Alina mulai terisak sembari memegangi pipinya.
“DIAM! Dan keluar dari rumah ini dan jangan pernah kembali!” Willa kemudian menjulurkan tangannya pada asisten yang sedari tadi berada di sampingnya. Sang asisten yang bernama Yani itu, lantas meletakkan beberapa foto di tangan majikannya. Tanpa melihat lagi, Willa langsung membuang beberapa foto tersebut tepat di wajah Alina yang hanya bisa diam dan pasrah.
Kemarin siang, Alina memang ada janji temu dengan teman lamanya di sebuah lounge hotel. Karena hanya sebentar, maka ia tidak membawa Qai ikut bersamanya. Alina memasan minuman sembari menunggu temannya, yang tidak kunjung datang. Setelahnya, Alina tidak ingat apapun lagi, karena begitu terbangun, ia sudah berada di pelukan seorang pria di sebuah kamar hotel. Parahnya, Alina dan pria tersebut, tidak memakai sehelai benang pun. Di situlah Alina yakin, kalau dirinya telah dijebak.
“Pesan kamar hotel dan senang-senang sama laki-laki lain, sementara suami kamu lagi ada kerjaan di luar negeri? Ini yang namanya bukan selingkuh? Bahkan, kartu kredit yang kamu pakai buat bayar kamar itu, punya anak saya!” geram Willa memberi Alina tatapan benci dan membunuh.
Tangan Willa lantas terjulur untuk menjambak rambut Alina dengan begitu kuat. Wanita itu sampai memekik kesakitan. “Keluar sekarang juga, atau kamu sama anakmu, bakal dapat perlakuan lebih buruk dari ini.”
“Mam—”
“Jangan panggil saya mama dengan mulut kotormu itu, LIN!”
Tubuh Alina tersungkur dengan keras karena hempasan Willa, hingga kepalanya sempat terbentur dinding. Terdengar tangisan pilu sang anak yang masih berusia 2 tahun, dan terlihat menuruni tangga dalam gendongan kepala pelayan.
“Qai …” lirih Alina menjulurkan tangan kepada sang anak, ketika Qai sudah berada di lantai yang sama dan turun dari gendongan sang kepala pelayan. Qai lantas berlari menghampiri Alina dengan tangis yang sama, meskipun tidak mengerti apa yang tengah terjadi.
Sebagai seorang anak, Qai hanya tidak bisa melihat sang ibu bersedih dan menangis seperti saat ini.
Willa kemudian bejongkok memasang tatapan bengis pada Alina. Meraih wajah menantunya dan mencengkram rahang Alina dengan erat. Willa memperlihatkan selembar cek tepat di depan wajah Alina. “Ini 500 juta, tanda tangani surat cerai dan pergi jauh dari sini. Kalau kamu menolak …”
Willa sengaja menggantung kalimatnya seraya melepas cengkramannya pada wajah Alina. Namun, kini wajah bocah yang berusia dua tahun itu lah, yang Willa cengkram. “Kamu gak mau, kan, anak kamu ini kenapa-kenapa, Lin?” tatapannya menghunus kejam pada Alina.
“Nyonya,” isak Alina dengan gelengan berkali-kali. “Tolong Nyonya, Qai itu anak mas Lingga, darah dagin Nyonya juga, kena—”
PLAK!
Satu lagi tamparan jatuh pada wajah Alina di depan Qai. Dan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik karena segala perawatan eksklusive yang didapatnya, kembali mencengkran rahang Alina. “Saya gak sudi punya cucu yang berasal dari perempuan bodoh seperti kamu, Lin! Keluarga saya semuanya lulusan dari luar negeri dan keberadaan kamu di sini, cuma mencoreng nama keluarga Mahawira, tahu itu!”
Sekali lagi, Willa menghempas wajah ayu itu kemudian berdiri menatap asisten dan kepala pelayan secara beragantian.
“Paksa dia untuk tanda tangan, setelah itu, bawa mereka berdua keluar dari sini dan jangan ada satu pun yang memperbolehkan mereka menginjakkan kaki di rumah ini! paham kalian!”
Sang kepala pelayan dan asisten tersebut hanya bisa mengangguk pasrah, untuk menuruti semua perintah majikannya. Meskipun, keduanya pun merasa tidak tega dengan semua perlakuan wanita paruh baya itu terhada Alina.
Yani berjongkok dengan helaan pelan di depan Alina. Menyodorkan sebuah map berisi surat perceraian yang sudah disiapkan sebelumnya. “Tanda tangani surat cerai dan bawa cek 500 juta ini, Bu. Hiduplah dengan tenang dan bahagia di luar sana.”
Alina menggeleng, mengusap cepat jejak basah yang masih tercetak jelas. Robi, sang kepala pelayan yang juga terlihat iba itu memberika Alina satu kotak tisu pada wanita itu.
“Jangan memaksa untuk tinggal di sini, Bu. Lakukan apa yang diperintahkan Nyonya Willa dan pergi dari sini. Saya yakin, Bu Alin pasti akan lebih bahagia di luar sana bersama Qai,” ucap Robi.
Alina masih saja menggeleng, hati kecilnya tidak ingin pergi. Setidaknya sampai sang suami pulang dari luar negeri. “Kalau saya pergi, itu berarti saya mengakui kalau saya salah dan selingkuh, Pak Robi, sedangkan saya gak ngelakuin itu semua.”
“Kami tahu itu,” ujar Robi. “Tapi, Bu Alin gak akan bisa ngelakuin apa-apa. Kalau Ibu tetap memaksa bertahan, saya khawatir nyonya Willa akan memisahkan Ibu dengan Qai. Dan percayalah sama saya, nyonya bisa melakukan itu semua.”
Alina memandang putus Yani dan Robi dengan putus asa. Berpikir dan berpikir, lantas ia mengangguk. Menandatangani surat cerai dan membawa cek sebesar 500 juta lalu keluar dari kediaman Mahawira. Memilih membesarkan Qaishar seorang diri, dan berjanji akan membuat anaknya menjadi pria hebat yang akan membalas semua rasa sakitnya pada hari ini.