“Mas Qai?”
Yang dipanggil kemudian menoleh. Sedikit terkejut, tapi, Qai dengan cepat mengembalikan raut wajahnya.
“Habis jogging?” tanya Qai ketika melihat satu set baju olah raga yang menempel di tubuh Hera.
Hera tersenyum. Mengangguk seraya berjalan menghampiri Qai, yang tengah melihat maket gedung apartemen di marketing galeri. “Jadi beli unit di sini?”
“Sepertinya jadi,” jawab Qai. “Barusan sudah ditunjukkan unitnya, bener-bener dapet sinar matahari.”
“East tower?” tebak Hera sudah merasa antusias di dalam hati. Akhirnya, ia bisa berada satu gedung apartemen bersama Qai.
“Hm, lantai 45.”
Hera tidak mampu lagi menyembunyikan rasa keterkejutannya. Ia bahkan menutup mulut yang kini terbuka lebar karena terlalu gembira. Jika Qai benar-benar membeli unit di lantai 45, itu berarti mereka akan berada satu lantai dan satu gedung.
“Aku …” Hera menurunkan tangan yang menutup mulutnya. “Aku juga di lantai 45, Mas.”
“Serius?” Sungguh sebuah kebetulan yang tidak Qai rencanakan sama sekali. Dengan begini, rencananya bisa berjalan semakin mulus ke depannya.
“IYA!” Kalau bisa menjerit, Hera mungkin akan menjerit sekeras ia bisa untuk menumpahkan kebahagiaannya. “Kayaknya aku tahu, deh, unitnya yang mana. Yang di ujung bukan?”
“Iya, di ujung,” jawab Qai membenarkan. Hera mubgkin sudah tahu kalau ada satu unit di lantainya yang kosong saat ini.
“Jadi, kapan pindah, Mas?” tanya Hera sudah tidak sabar ingin berdekatan dengan pria itu.
“Dua minggu lagi, habis aku ke Bali," jawab Qai dengan memberi senyum lembutnya pada Hera. Dengan begini, Qai jadi semakin yakin untuk pindah ke apartemen. Dengan begitu, ia bisa lebih dekat dengan Hera, untuk mencari tahu lebih dalam lagi tentang kondisi keluarga Lingga saat ini.
“Mas Qai, mau ke Bali?” Sudut bibir yang barusan mengembang itu, kini sudah tertarik datar. “Mau liburan?”
“Bukan, ada konferensi internasional di sana. Lima harian.”
“Ohh.” Bibir tipis itu membulat sempurna dengan sebuah rasa lega. Tadinya, Hera sudah berpikiran kalau Qai akan berlibur bersama seseorang di sana. Namun, Hera salah, pria itu hanya melakukan tugas di sana.
Qai tersenyum kecil sembari melihat Hera lekat-lekat. Hera, memang tidak bersalah dalam semua hal terkait perselisihan di masa lalu. Namun, bagi Qai mereka semua sama. Seluruh keluarga Lingga Mahawiralah, yang membuat ibunya hidup dalam penderitaan selama ini.
Alina diusir dan difitnah sedemikian rupa, dan Qai akan membalaskan semua hal itu sampai mereka berlutut di makam ibunya.
“Ya, udahlah, aku mau ke kantor dulu,” ujar Qai semakin mengikis jaraknya dengan Hera. “See you soon, Tetangga.”
Sebelum pergi, Qai menyempatkan mengacak rambut Hera. Entah mengapa, tapi hal itu hanya reflek dilakukannya. Ketika Qai tersadar, ia segera menggeleng sambil terus berjalan terus menuju pintu lobi. Menepis sebuah rasa, yang tidak boleh tumbuh di dalam hati.
Ya, Qai tidak boleh menumbuhkan rasa karena mereka masih memiliki darah yang sama. Walaupun begitu, Qai harus menganggap Hera orang lain, bukan adiknya.
---
Sebagai orang yang memiliki pengaruh di perusahaan, Qai tentunya bisa dengan mudah mencari semua informasi mendalam terkait tempat ia bekerja. Berbagai isu miring yang ada di dalam manajemen, Qai rangkum menjadi satu file dan ia pelajari dengan perlahan.
Belakangan ini, Qai pun seolah menahan diri ketika memberikan tugas kepada bawahannya. Lebih terlihat santai dan melonggarkan semua kedisiplinan yang ada di dalam divisinya.
Bukan apa-apa, Qai hanya ingin membuat semua hal berantakan, sedikit demi sedikit dari dalam.
Selain itu juga, Qai saat ini tengah mencari tahu, siapa sebenarnya rival terbesar Lingga. Bukan hanya rival dalam hal bisnis kalau bisa, tapi, ada sebuah permusuhan pribadi yang sudah mendarah daging sejak lama.
Akhirnya, setelah mendata dan memilah-milah. Hasil yang diselidiki oleh Qai berujung pada satu nama, yaitu Jaya Sebastian.
Pria paruh baya tersebut, pernah terlibat perselisihan mengenai sengketa lahan, yang dulunya hendak digunakan untuk mendirikan perusahaan. Entah bagaimana, kasus tersebut akhirnya dimenangkan oleh Lingga.
Untuk itulah, malam ini Qai dengan modal nekat pergi ke rumah Jaya, untuk mengajak pria itu bekerja sama. Apapun nanti hasilnya, setidaknya ia sudah mencoba. Daripada tidak sama sekali.
“Qaishar Ekawira.” Pria paruh baya itu mengangguk-angguk, mengulangi nama Qai dengan cermat. “Pemimpin berjiwa pemberani. Begitu bukan artinya? Kurang lebih?”
“Ya, kurang lebihnya memang seperti itu, Pak,” jawab Qai memasang wajah tegas dan profesional. Tatapannya yang selalu tajam, mengisyaratkan bahwa Qai datang menemui Jaya bukan untuk sesuatu yang main-main.
“Jadi, silakan, ada perlu apa datang kemari?” tanya Jaya dengan tatapan remeh. Sebenarnya, Jaya bertanya-tanya, untuk apa wartawan dari GTV datang untuk menemuinya.
Well, Jaya tahu kalau tugas wartawan adalah mencari berita dan mempublikasikannya. Namun, setelah Jaya pikir-pikir lagi, berita penting apa yang hendak dipublikasikan dari dirinya. Belakangan ini, perusahaannya juga tidak mengalami sesuatu kemajuan yang signifikan. Tidak juga ada masalah di dalamnya.
“Saya tahu, Bapak punya perusahaan media yang terbengkalai. Mati enggan, hidup pun tak mau.”
Jaya mengangguk satu kali. Menunggu Qai meneruskan ucapannya. Tidak ingin gegabah dengan memutus ucapan pria yang terlihat sangat cerdas, dan tegas ketika menyampaikan semua maksudnya.
“Bisa, saya ambil alih kepemimpinan perusahaan tersebut, Pak?”
Jaya langsung terkekek geli. Siapa Qai hingga pria itu dengan berani datang, dan meminta untuk memimpin salah satu perusahaan Jaya. Meskipun, perusahaan tersebut berjalan stagnan beberapa tahun belakangan ini, tapi, Jaya tidak punya keinginan untuk membubarkan, ataupun mengalihkannya kepada siapa pun.
“Percaya diri sekali, kamu,” seloroh Jaya dengan wajah meremehkan. “Kenapa aku harus menyerahkan kepemimpinan Angkasa Media dengan orang, yang bahkan baru aku temui hari ini.”
“Pantas saja kalau Angkasa Media jalan ditempat selama beberapa tahun ini,” balas Qai dengan tegas dan formal. “Bapak, pasti tidak pernah meluangkan waktu, untuk melihat siapa saja, yang ada dibalik pesaing-pesaing Bapak.”
“Dan jelaskan, siapa kamu?”
“Tidak etis rasanya, kalau saya membanggakan diri di depan Bapak.” Tidak ada ragu sedikit pun yang terlihat dari sorot mata Qai. Pria itu, sudah sangat memantapkan hati untuk menemui Jaya. Tidak ada hal yang akan membuatnya mundur sama sekali kali ini. “Jadi, Bapak bisa cari tahu sendiri dengan bertanya pada awak Angkasa Media.”
Jaya membuang napas panjang. Melihat sesuatu yang unik dari diri Qai. Namun, sekali lagi, Jaya tidak bisa gegabah sama sekali, karena ia belum terlalu mengenal Qai. Akan tetapi, sejauh ini, Jaya sudah mulai menyukai sikap Qai yang tegas dan tidak berbasa basi ketika menyampaikan sesuatu padanya.
“Dan, kenapa aku harus mengalihkan kepemimpinan Angkasa denganmu? Apa yang bisa kamu lakukan untuk Angkasa?”
“Saya, dengan percaya diri bisa membawa Angkasa setara dengan GTV.”
Mendengar nama GTV disebut, Jaya langsung berdecih seketika. Ia kembali diingatkan dengan kasusnya bersama Lingga dahulu kala.
“Kenapa kamu datang ke sini, Qai? Aku rasa, di luar sana masih ada beberapa media yang nasibnya seperti Angkasa.”
“Karena kita, ada di pihak yang sama,” jawab Qai sudah memikirkan semua hal dengan matang.
“Pihak yang sama?” Manik Jaya memicing tajam. Ingin mengetahui semua yang ada di kepala Qai.
Qai mengangguk mantap. “Pihak yang sama-sama dirugikan dengan Lingga Mahawira.”
Jaya langsung tergelak seketika. Tatapannya kembali meremehkan Qai. “Jadi, kamu ke sini mau mencari sekutu? Begitu? Musuh dari musuhku, adalah temanku? Begitu yang kamu maksud?”
Qai kembali mengangguk tanpa ragu. “Saya tidak akan meminta Bapak untuk memberi jawaban sekarang. Tapi, kalau Bapak ragu, silakan bertanya dengan awak media terkhusus bagian redaksi, tentang siapa saya.”
Jaya menyudahi gelak tawanya, meskipun masih tersisa rasa geli di dalam hati. “Seberapa yakin, kalau saya mau menerima tawaranmu itu, Qai?”
“Saya gambling, tapi, kalau Bapak menolak, Bapak sendiri yang akan rugi,” sahut Qai dengan sejuta rasa percaya diri. “Masih banyak media di luar sana yang bisa saya aja kerja sama.”
“Terus kenapa kamu datang ke sini? Kenapa kamu nggak datang ke media yang lain yang sudah kamu sebutkan itu?” cecar Jaya ingin mendapat jawaban pasti dari Qai.
“Karena Bapak, rival sejati dari pemilik GMG, saya tahu seluk beluk kasus yang pernah kalian hadapi, sampai dengan hal yang terkecil sekali pun.”
Ternyata, Jaya tidak bisa meremehkan Qai sedikit pun. Pria itu memang memiliki sebuah potensi sehingga mampu mengeluarkan statemen seperti itu.
“Pulanglah,” hela Jaya yang merasa sudah cukup mengerti akan semuanya. Ia juga sudah bisa menyimpulkan, pria seperti apa Qai sebenarnya. Kini, yang harus Jaya lakukan ialah, mencari tahu lebih dalam lagi tentang Qai melalui awak media yang bekerja di Angkasa.
“Kalau aku tertarik, aku hubungi dalam waktu tujuh hari.”
Dengan sikap profesionalnya, Qai mengangguk paham. Ia lantas berdiri dan segera berpamitan dengan sopan pada Jaya. Beranjak keluar rumah dan ia berpapasan dengan seorang wanita cantik yang memberinya senyum dengan ramah.
Qai membalasnya, dan mereka hanya berpapasan begitu saja tanpa saling menyapa. Tidak perlu bertanya pun, Qai sudah mengetahui siapa wanita cantik tersebut. Putri kedua Jaya, yang saat ini ikut turun tangan menangani salah satu perusahaan pria paruh baya itu.
Qai menggeleng untuk mengenyahkan sebuah pikiran nakal di dalam kepalanya. Ia harus tetap fokus, agar semua rencananya nanti berakhir dengan sempurna.