Meskipun aku kesal dan marah karena Iza telah berani menipuku, tapi di sisi lain aku merasa cukup senang. Setelah lima tahun berlalu, akhirnya aku menjadi seorang ayah dan anakku berjenis kelamin perempuan.
Rasa jenuh kian terkikis oleh sebuah fakta yang membuatku tak berhenti tersenyum bahagia. Sebatang rokok rasanya tak lagi nikmat di lidahku, pun dengan kopi hitam.
“Anakku perempuan.” Aku bergumam melompat kegirangan. Mengusap wajahku lalu menoleh ke sisi kanan dan kiri, tersenyum mengangguk pelan menyapa beberapa pemuda yang tengah nongkrong.
“Kira-kira siapa namanya? Apa dia mirip aku? Apa secantik kamu, Iza?” Aku bertanya pada angin berlalu, kemudian menatap diriku di spion, tersenyum membayangkan andai wajah putriku mirip denganku atau mungkin sebuah perpaduan yang sempurna antara aku dan Iza. Ah, rasanya aku tidak sabar menunggu hari di mana aku bisa melihat dengan jelas wajah putriku, tersenyum, berlari memelukku lalu memanggil papa.
Aku masuk ke dalam mobil, meninggalkan lokasi kediaman Iza. Ini malam yang paling membahagiakan bagiku. Aku dapat mengetahui keberadaan anakku, dengan demikian aku bisa bebas untuk menemuinya. Dia pasti merindukkan sebagai ayahnya.
“Mas, kamu kok baru pulang sekarang?” Baru menginjakkan kaki di kamar hotel, Rena langsung menyambutku dengan melayangkan protes.
“Kamu ngapain aja di luar? Jangan bilang kamu cari perempuan murahan itu lagi? Oh, apa kamu jajan wanita seksi di luar sana? Apa belum cukup aku di sini untuk kamu?” Mulut Rena begitu mudah mengeluarkan dugaan buruk terhadapku. Selalu seperti itu saat menyambutku yang pulang sedikit terlambat. Rasanya aku sangat jenuh berada di sisi Rena, tak ada kebebasan. Harusnya perempuan yang terkekang oleh sifat dominan laki-laki yang selalu mengandalkan surga di bawah telapak kaki suami, lantas aku? Hanya karena tidak ingin ada keributan, harus selalu mengalah, mengalah dan mengalah. Sampai pada malam ini, rasanya batas kesabaranku terkikis sudah.
“Ren, bisa tidak kalau aku pulang sambut aku dengan kalimat yang baik, bukan tuduhan yang tidak masuk akal kamu itu!” hardikku. Berdengkus kasar melangkah pergi ke kamar mandi.
“Mas.” Tangan Rena menarik lenganku begitu keras, hingga aku menghentikan langkah kaki, berputar menghadapnya.
“Aku ini istri kamu. Aku gak mau kamu terpikat sama perempuan murahan di luar sana. Aku menjaga kamu agar kamu tetap menjadi milikku.” Rena melebarkan bola mata, mengeluarkan api amarah.
“Kamu selalu menuduhku. Kapan aku punya waktu untuk pergi dengan perempuan lain? 24 jam aku selalu kamu intai. Wajib lapor seperti tahanan. Ingat, Ren! Aku ini suamimu, bukan bawahanmu.” Kalimat yang kutahan kini terlepas sudah. Aku mengeluarkan semua kekesalanku. Berharap dia dapat memahami dan akhirnya menjadikanku sebagai seorang suami yang dihormati dan patut dijaga harga diriku di depan orang.
“Mas, kenapa kamu berkata kasar seperti itu? Dulu kamu gak pernah begini.” Rena mulai terisak, lantas aku membuang napas kasar.
“Aku ingin ke kamar mandi. Kamu istirahat dulu!” Aku mengusap lengannya sekilas lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tak peduli dia meraung memanggilku.
Di depan cermin wastafel aku menatap diriku sendiri, menarik napas dalam lalu mengeluarkan dengan kasar. Tangan terkepal bahkan aku sampai menggebrak wastafel.
Setiap pulang selalu saja begini. Orang mengatakan rumahku adalah surgaku. Di dalam rumah terdapat ketenangan apalagi ada seorang istri yang selalu meredamkan setiap gejolak amarah, tapi kenapa aku malah merasakan kepanasan setiap berada di rumah? dan api amarahku selalu bergejolak ketika mendengar berbagai prasangka buruk Rena terhadapku? Apakah ini yang namanya ujian pernikahan meskipun sudah 5 tahun aku bersamanya? Ataukah perlahan rasa cintaku yang besar sudah mulai memudar karena sikapnya, sampai aku merasakan kesal?
Aku menyelesaikan rutinitasku di kamar mandi, lalu keluar menghampiri Rena yang tidur membelakangi posisiku berbaring. Dia masih marah, lekas aku memeluknya.
“Aku tau kamu belum tidur. Maafkan aku. Aku gak bermaksud meninggikan suaraku tadi.” Tubuh Rena terguncang. Terdiam untuk waktu lama dan hanya terdengar suara isakan tangis.
“Aku mohon, jangan terus menangis! Maafkan aku. Aku salah.” Jika sudah seperti ini aku harus berusaha keras untuk membujuk istriku agar berhenti menangis dan mengembalikan suasana ceria lagi. Tuhan, betapa peliknya aku sekarang ini? Di depan Rena aku sama sekali tidak bisa menunjukkan powerku sebagai suami. Bagaimana juga aku bisa mendidiknya jika pada akhirnya dia akan menangis dan merajuk.
*
“Kamu mau ke mana?” Matahari baru saja terbit, Rena sudah mengeluarkan bajunya lalu memasukkan ke dalam koper.
“Aku mau pulang.”
“Secepat itu?” Aku menautkan alis. Apa Rena masih marah denganku? Semalam aku terus membujuknya tapi tak ada balasan sampai dia tertidur dengan posisi membelakangiku.
Rena tak menjawab. Dia terus saja memindahkan semua baju ke dalam koper.
“Sayang, sudahlah, jangan marah lagi! Aku sudah mengakui kesalahanku.” Aku menarik tangan dia lalu menatap dengan serius manik mata hitam itu.
“Aku mau pulang. Lepaskan aku!” Rena tetap bersikukuh pada keinginan dia. Jika dulu aku akan ikut bersama dengannya tapi tidak untuk sekarang. Bandung masih menyimpan misteri yang harus kupecahkan. Masih ada seseorang yang ingin kuambil kembali hak asuh dari tangan ibunya. Bila perlu, aku tak akan segan memboyong mereka ke Jakarta, bertemu dengan mama dan akan kupastikan kehidupan mereka lebih layak dari sekarang.
“Aku antar ke bandara.”
Ucapanku yang begitu mantap sontak membuat Rena melebarkan matanya. Mulut menganga lalu dia mengerjap.
“Mas, kamu!” Dia kaget sampai kehilangan kata-kata.
“Kalau kamu mau pulang. Aku antar sampai ke bandara.” Kembali aku mengulang ucapanku, hingga Rena berdesis sebal.
“Nah, kan, kamu itu udah beda sekarang. Kamu sengaja ingin cepat-cepat mengusir aku supaya kamu bisa bebas bertemu dengan perempuan murahan itu.”
Dugaan dia memang benar. Tapi lebih tepatnya aku ingin bertemu dengan putri kecilku. Aku memang tak berniat mengusir Rena, tapi setidaknya dengan inisiatif dia pulang ke Jakarta, membuatku lebih leluasa untuk pergi dan tak ada lagi yang menginterogasiku selama di sini.
“Tidak, Sayang. Kamu istriku. Tidak mungkin aku mengkhianatimu. Tapi sebaiknya kamu harus pulang ke Jakarta! Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku di sini dan aku akan secepatnya pulang.” Aku merangkul istriku. Bertutur ramah dengannya, semoga ini menjadi awal yang baik untukku.
Rena terdiam, menatap lekat wajahku. “Aku gak akan pulang.” Aku mengerutkan alis. “Kamu gak biasanya seperti ini. Pasti ada yang kamu sembunyikan dari aku!” selidik Rena penuh kecurigaan.
“Sembunyikan apalagi? Kamu ingin menuduhku kalau aku suka main perempuan di luar sana?” Rena terus menatapku. “Baiklah, aku gak mau debat sama kamu. Aku mau keluar, jam 10 nanti ada meeting dengan pak Surya.”
“Mas!” Rena meneriaki, memanggilku. Tapi tak kugubris, mengambil kunci mobil dan tas lalu melangkah pergi.
*
“Ini tampak luar.” Aku menunjukkan desain bangunan mall yang ada di tablet pada klien-ku.
“Untuk AMDAL-nya?”
“Semuanya sudah selesai.”
“Baik ini semua sesuai dengan keinginan saya. Untuk selanjutnya akan ditangani oleh asisten saya.”
“Terima kasih, Pak. Semoga Bapak puas.” Tangan saling berjabat mengakhiri pertemuan kami hari ini. Rasanya begitu lega bisa menyelesaikan pekerjaan di saat pikiran kadang tak fokus.
“Apa anakku sudah makan ya?” gumamku saat melihat jam di lengan sudah menuju jam 12. Tak ingin menunggu lama aku keluar dari gedung Pak Surya masuk ke dalam mobil.
Perjalanan yang lumayan memakan waktu, apalagi macet membuatku tak sabaran, ditambah dengan rindu yang menggebu-gebu. Pada akhirnya aku berhasil tiba di depan rumah Iza. Tapi sayang, rumah tampak sepi, aku mengintip dari balik jendela pun tak ada orang di sana.
“Kang, ada yang bisa sayang bantu?” Seseorang menghampiriku.
“Saya mau cari Iza dan anaknya.”
“Oh, neng Iza, Kang, jam segini masih kerja. Kalau anaknya sekolah.”
“Boleh tau di mana anaknya sekolah?” tanyaku penasaran. Ini mungkin akan menjadi awal yang baik untukku bisa langsung bertemu dengan putriku.
“Duh, naon eta … saya lupa.” Wanita paruh baya itu menggaruk tengkuknya. Terlihat kesulitan untuk mengingat.
“Ya sudah, terima kasih, Bu. Saya pamit dulu.”
Mungkin bukan siang ini, mungkin saja aku akan menemuinya nanti. Iya, aku tetap tidak boleh patah semangat. Apalagi aku sudah menemukan keberadaan mereka, hanya perlu menyesuaikan waktu agar aku benar-benar bisa bertemu dengannya.
Kupacu mobil meninggalkan kediaman Iza. Kini aku harus menepati janji pada seorang anak kecil yang kutemui kemarin.
Di sebuah taman, tepatnya di kursi panjang, aku tersenyum mendapati seorang anak kecil berseragam TK duduk mengayunkan kedua kaki dengan sebuah kotak makanan di tangannya.
“Halo, Puput.” Aku berjongkok di depannya.
“Om ganteng.” Putri kecil itu tersenyum kegirangan memelukku. Terasa begitu nyaman. Jantungku mulai berdetak merasakan desiran yang berbeda. Kenapa bisa seperti ini? Apa karena aku gagal ketemu dengan putriku sampai aku merasakan Puput seolah obat kerinduanku?
“Om lama banget, Puput capek tunggu Om,” celoteh Puput memajukan bibirnya. Gemas sekali sampai aku mengusap kedua pipi gembulnya.
“Om kerja, Sayang. Hmm, apa kamu lapar?”
Dia mengangguk. “Ini buat, Om!” Dia menyodorkan kotak makanan untukku. Segera kuambil lalu membukanya. Sontak kedua mataku membelalak melihat nasi goreng yang dihias seperti bentuk teddy bear. Telur dadar dijadikan untuk menyelimuti teddy bear, ada sosis dan sayur sebagai pelengkap.
“Iza.” Satu nama yang terlintas dipikiranku. Dulu, Iza paling suka memberiku bekal seperti punya Puput. Iza tau aku malas sarapan pagi, sehingga sebisa mungkin dia membuatku untuk makan dengan berkreasi pada makanan.
“Om, kenapa senyum-senyum sendili?” celoteh Puput membuat lamunanku buyar.
“Ini sarapanmu kan?” Dia mengangguk. “Lalu kenapa tidak makan?”
“Puput lupa minta bunda buat salapan untuk Om. Jadi salapan Puput untuk Om aja, kalna Om udah kasih balbi.”
“Terima kasih, anak cantik.” Aku tersenyum mengusap kepalanya. Mengangkat tubuhnya duduk di kursi pun denganku duduk di sampingnya.
“Kita makan berdua ya!”
Puput mengangguk. Dia mengeluarkan botol air yang disemat di sisi tas lalu diserahkan padaku.
Kusendoki sedikit nasi goreng yang sangat imut itu lalu kusuapi ke dalam mulutku. Lagi, aku dibuat terkejut dengan rasa nasi goreng. Bayang-bayang Iza kembali memenuhi pikiranku.
“Puput, siapa nama bundamu?” tanyaku cukup serius.