“Meskipun kamu gak perawan lagi saat menikah denganku?”
“Mas!” Dia melebarkan mata, memelototiku. “Kita sudah pernah bahas sebelumnya. Kenapa kamu malah mengungkit itu lagi? Apa gara-gara kamu memikirkan Iza kamu jadi meragukanku?” Wajah yang tadi begitu garang kini mulai sayu, air mata menguap membasahi pipinya. Ini kacau, dia tau cara membuatku lemah. Kudekati dia lalu merangkulnya.
“Maafkan aku. Aku bukan bermaksud mengungkitnya. Aku hanya khilaf.”
“Aku kecelakaan. Aku dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Aku gak tau apa yang terjadi. Dokter juga bilang gak ada darah saat pertama kali kita melakukannya hubungan suami istri bukan berarti aku gak perawan lagi.”
Kalimat yang sama sejak lima tahun silam terlontarkan lagi dari bibir tebal itu. Aku mencoba percaya meskipun sebagai pria yang sudah pernah bermuara pada lautan cinta malam pertama dengan Iza, tentu aku dapat membedakan mana yang masih berselaput dan mana yang sudah robek. Aku tak bodoh, tapi demi keutuhan rumahtangga, demi cintaku padanya, aku tetap menerima dia apa adanya. Lagipula, Rena bukan perempuan nakal seperti Iza yang suka gonta ganti pasangan ketika belum kunikahi. Mungkin karena kecelakaan itu hingga terjadi kecelakaan lainnya yang membuat Rena harus kehilangan kesuciannya.
Bodoh? Iya, cinta memang membuatku bodoh dan buta. Tapi aku harus apa? Janji berbanding lurus dengan cinta. Jika aku sudah melontarkan janji untuk setia pada wanita yang kucintai, berarti aku harus siap menanggung resiko dan menyingkirkan kerikil yang menghalangi jalanku menepati janji.
“Iya, sekarang kamu istirahat! Terlalu banyak yang kamu pikirkan gak baik untuk kesehatan.” Aku melepaskan pelukannya, menuntun berbaring di kasur. Kuselimuti lalu kukecup keningnya.
“Kamu mau ke mana?” Tangannya keluar dari selimut, menahan tanganku.
“Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku dulu!”
“Di mana?” Segera dia bangun. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan.
“Aku gak ke mana-mana. Tidurlah!” Dia menatapku lekat sampai aku mengangguk pelan baru dia kembali merebahkan tubuh, pun denganku yang terpaksa harus berbaring di sampingnya.
“Mas, Iza itu perempuan gak bener. Kamu jangan sampai tergoda sama wajah dia ya!” Di dalam pelukanku, masih saja Rena mewanti-wanti. Mungkin dia takut aku tinggalkan atau aku duakan, makanya dia bisa membisikkan kata-kata seperti itu di telingaku.
“Aku gak mau dengar kamu membicarakan keburukannya, Ren!”
“Kenapa, Mas? Apa kamu sebenarnya masih cinta sama dia? Mas, dia itu pengganti aku. Kalau aku gak kecelakaan gak mungkin dia bisa berada di sisi kamu. Kamu harus tau itu. Kamu hanya milik aku, gak boleh mikir perempuan murahan itu!” Rena kembali berapi-api begitu aku tegur. Aku memijat pelipisku yang berdenyut. Telingaku sangat panas ketika mendengar ocehan Rena. Kata murahan menempel di lidahnya.
“Ren, stop!” tandasku. “Sekali lagi kamu kayak gini, aku pergi!” Tak main-main, wajahku begitu serius saat memberikan sebuah ancaman bagi dia. Rena yang tak ingin jauh dariku pasti akan mendengarkanku kali ini. Tapi sepertinya tidak, air mata itu kembali berlinangan.
“Ren, aku minta maaf. Aku gak bermaksud membentak kamu.” Aku mengusap gusar wajahku lalu memeluknya.
“Aku ini istri kamu, Mas, bukan Iza.”
Aku menarik napas berat, lalu membuangnya pelan. “Iya. Sudah, kita hentikan membahas Iza. Ok.” Kuputuskan untuk berhenti membahas Iza. Rena selalu berapi-api jika nama Iza terlintas. Berbagai bahasa kotor diluapkan untuk memaki Iza, mengisyaratkan Iza itu sebagai perempuan jahat dan mencintai kemewahan. Jika dilihat penampilannya tadi, Iza sama sekali bukan perempuan seperti yang aku ketahui selama ini.
Andai dia suka gonta-ganti pasangan harusnya kehidupan Iza lebih berkelas bukan? Parasnya yang cantik bisa memikat setiap orang yang melihatnya, terlebih dulu banyak pria kaya yang dekat dengannya. Tapi dari apa yang kulihat, kenapa Iza bisa seperti itu? Di mana dia tinggal selama ini? Apa pekerjaan dia?
Nama Iza masih belum bisa aku singkirkan dalam kepala. Rasa penasaran semakin bertambah besar. Banyak hal yang ingin kuselidiki tentang kehidupan dia, tapi bagaimana caranya? Dia tidak begitu terkenal, mungkin ini akan membuatku lebih sulit.
*
“Ren, aku mau cari angin dulu.” Aku menutup laptop. Berjalan ke nakas mengambil kunci mobil.
“Ke mana? Aku ikut,” rengeknya.
“Kamu di sini saja! Lagian masih flu, gak bagus angin malam untukmu.”
“Terus kamu?”
“Aku pusing, Ren. Dari tadi kerjaanku belum siap. Aku harus jalan-jalan biar kepalaku gak mumet.”
“Pulang cepat! 15 menit aja,” celotehnya. Aku mengangguk pelan. Mengusap kepalanya lalu mendaratkan kecupan singkat di kening, baru setelah itu aku berangkat.
Sedari tadi berkutat dengan laptop, penuh dengan perhitungan dalam mendesain gedung membuat pikiranku mumet. Ditambah dengan adanya beban pikiran. Menutup laptop dan keluar mencari angin sambil merokok adalah pilihan terbaik.
Mengendarai mobil mengitari alun-alun kota Bandung, dengan kaca pintu mobil yang terbuka membuat angin keluar masuk dari luar ke dalam. Sejuk dan menenangkan pikiranku.
Kuhentikan mobil saat melihat warung kopi. Sebatang rokok dengan secangkir kopi sepertinya cocok untuk malam ini. Baru saja aku hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba saja kuurungkan niat saat melihat Iza memboncengi seorang anak kecil.
“Iza lagi sama anak siapa?” Aku menyipitkan mata, menajamkan penglihatanku.
“Ck! Kenapa harus pakai masker?” Aku berdesis sebal saat gadis kecil itu menoleh, masker menutupi wajahnya.
Laju motor Iza semakin menjauh, segera aku menyalakan mesin mobil, pergi mengikuti mereka. Aku cukup penasaran dengan gadis kecil yang diboncengi Iza. Firasatku mengatakan itu anakku, Iza sengaja berbohong agar aku tak mencari keberadaannya, tapi bagaimanapun aku tetap tak bisa menuduh tanpa bukti. Mengikuti dia secara diam-diam adalah langkah terbaik daripada menghampiri dan malah terjadi pertengkaran, Iza pun kabur.
“Ck! Sial!” Aku memukul setir saat mobil tak dapat masuk ke dalam sebuah gang kecil. Terpaksa aku harus turun, berjalan kaki.
Langkah kakiku yang tadi cepat kini memelan saat melihat Iza menghentikan motornya di sebuah rumah kecil, buru-buru aku bersembunyi di belakang tembok agar Iza tak menyadari kehadiranku.
“Sayang, kita sudah sampai. Gimana, kamu senang jalan-jalan sama Bunda?”
Aku terkesiap mendengar kata bunda. Itu artinya, anak itu pasti anakku. Kakiku sudah gatal hendak menghampiri tapi lagi-lagi aku mengurungkan niat. Tak ingin tergesa-gesa.
“Senang banget, Bunda.” Gadis kecil itu tertawa memeluk kaki Iza.
“Ya sudah, ayo kita masuk!” Iza membuka pintu, menuntun gadis kecil itu masuk ke dalam.
“Ck! Iza, kau telah menipuku. Ternyata anakku masih hidup.” Aku berdesis sebal. menatap lekat rumah kecil tanpa pagar. Di antara rumah yang ada di sana, rumah yang ditempati Iza lah yang paling tak layak dihuni. Cat dinding yang terkelupas dan dua buah kursi kayu di depan.
“Bagaimana kamu bisa menghidupi anakku dengan tempat seperti ini, Iza? Kau sangat sombong … tunggu Papa putriku. Aku pasti akan menjemputmu.”