“Nama bunda ….” Puput tampak berpikir keras untuk mengingat nama ibunya. Apa sesulit itukah? Oh Tuhan, aku sama sekali tidak bisa memahami karakter anak kecil. Itu karena aku tak pernah berinteraksi dengan mereka. Sepertinya mulai dari sekarang aku memang harus lebih banyak belajar agar aku bisa memahami anakku nanti. Akan kupastikan dia tidak akan pernah merasakan kesepian dan kekurangan sedikitpun.
“Nama bunda … Wahyuni I—”
“Puput.”
Aku menoleh, melihat wanita setengah tua kemarin datang lagi.
“Hari ini Nini yang jemput lagi. Bunda sibuk kerja.”
Puput mengangguk. Dia sangat patuh. Tiba-tiba jadi kepikiran, apa anakku sepatuh Puput? Apa dia nanti akan percaya jika aku mengatakan aku ini ayahnya?
“Kita pulang ya!”
“Biar saya antar.” Langsung aku menawarkan bantuan.
“Gak usah, Pak. Saya datang ke sini naik ojek. Itu di sana lagi nunggu.” Nini menunjukkan tukang ojek yang sedang menanti mereka.
“Suruh saja pergi, Bu. Biar saya yang antar. Kasihan Puput. Lagian ini sangat panas. Di mobil ada AC lebih melindungi Puput.”
“Tapi, Pak—”
“Anggap saja ini ucapan terima kasih saya, karena Puput memberikan nasi goreng untuk saya. Rasanya sangat nikmat dan berbeda. Ini membuat saya mengingat pada seseorang yang membuat saya bersalah seumur hidup saya.”
Entah apa yang kukatakan. Sejak aku mengetahui anakku masih hidup dan tinggal di rumah yang lusuh, seolah aku melimpahkan semua kesalahan pada diriku. Salahku yang telah membiarkan dia pergi selama 5 tahun yang lalu. Mata dan telinga tertutup, begitu juga dengan rasa egois yang menolak logika dan perasaan. Aku yang telah kejam menalak istriku di saat hamil. Membiarkan masa-masa berat dia lewati dengan sendiri, yang seharusnya peranku sangat dibutuhkan.
Nini menatap cucunya. Puput tau cara memohon, hingga dia menunjukkan raut wajah melas.
“Baiklah.”
Aku tersenyum lega karena Nini tak menolak tawaranku. Puput melompat kegirangan, langsung kuangkat tubuhnya ke dalam dekapanku, berjalan menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana.
“Duduk di depan sama Om ya!”
Dia mengangguk antusias. Kubuka pintu depan, lalu kududukinya di sana. Baru setelah itu aku membuka pintu untuk Nini.
“Terima kasih, Pak.”
Aku tersenyum mengangguk pelan lalu menduduki kursi kemudi.
Sepanjang jalan, Puput terus bernyanyi. Matanya melihat ke arah luar. Terlihat sangat bahagia. Sampai aku tersadar saat Nini memintaku berhenti di sebuah gang. Tepatnya pada tempat saat aku memarkirkan mobil ketika hendak menuju rumah Iza. Apa Puput teman anakku? Jika itu benar, ini menjadi sebuah kesempatan besar untukku bisa lebih dekat dengan anakku melalui Puput.
“Bu, apa Ibu kenal dengan Iza? Ah, maksud saya Izzati Wahyuni?” Aku menatap serius. Besar harapanku pada wanita paruh baya yang duduk di kursi belakang.
“Itu nama bunda,” teriak Puput sontak membuatku terkejut, segera kusoroti anak yang duduk di sampingku. Tadi dia mengatakan nama ibunya Wahyuni Iz, apa itu Wahyuni Izzati? Apa dia sengaja membalik namanya agar aku tak bisa menemukannya?
“Ini—” Bibirku bergetar. Otakku seketika berhenti beroperasi. Aku terlalu kaget dengan situasi sekarang.
“Yang dikatakan Puput benar, Pak. Izzati Wahyuni itu bundanya.” Nini tersenyum membuatku tak percaya.
Anakku … Aku hanya bisa memanggilnya dalam hati. Tak bisa membuat kenyamanan dia saat bersamaku runtuh oleh sebuah fakta yang bisa membuat siapa saja tercengang hingga pada akhirnya Puput memilih untuk kabur karena tak bisa menerima kenyataan yang ada. Setelah 5 tahun yang lalu, kini aku kembali. Sebisa mungkin aku harus berusaha untuk membuat Puput nyaman denganku, sulit melupakanku hingga pada akhirnya aku bisa mengatakan aku ini ayah kandungnya, meskipun terlambat.
“Om, kenapa matanya keluar air?”
Lamunanku seketika buyar. Tersenyum menyeka sudut mataku. “Om kelilipan.” Itu kalimat dusta. Sebenarnya aku sangat terharu dapat melihat anakku, dan dapat memelukmu meskipun saat itu aku belum menyadari kamu putrinya Iza, darah dagingku.
“Apa itu kepipipan?” Binar mata cokelat tua itu menyorotiku. Baru kusadari terjadi dia memiliki bola mata seperti ibunya, dan wajahnya semakin lekat di pandang, tak jauh beda denganku. Ini benar-benar perpaduan yang sempurna. Meskipun Puput mengenakan baju lusuh, dengan ikat rambut seadanya, tapi dia masih tetaplah cantik. Andai aku bisa memakaikan pakaian yang terbaik untuknya, mungkin dia akan jauh lebih cantik lagi.
Oh, anakku. Aku tak menyangka kamu secantik ini. Sikapmu padaku juga sangat santun, meskipun kita baru kenal. Ibumu pasti sangat pintar dalam mendidikmu. Aku cukup bersalah telah melewatkan 5 tahun tanpa ada di sisi kalian.
“Kelilipan, Sayang.”
“Kepipipan.” Puput kembali mengulang kata yang salah. Meskipun aku dan Nini sudah berusaha membenarkan tetap saja dia salah.
“Sekarang ikuti Om. Ke—li—li—pan.”
“Ke—pi—pi—pan.”
Aku terkekeh gemas mengusap pipi gembul itu. “Lucu sekali kamu. Nanti Om ajarkan cara bicara yang baik dan benar. Ok.”
“Yeee.” Dia bersorak riang memelukku dengan erat. Kembali aku meneteskan air mata. Ini seperti mimpi, tapi aku bisa merasakan kehangatan pelukan putriku tanpa aku minta.
“Saya tidak pernah mendengar Puput seantusias ini dalam belajar.”
Lekas aku melepaskan pelukan anakku lalu menatap serius wajah Nini. “Maksudnya?”
“Guru di sekolah mengatakan pada saya, Puput berbeda dengan anak pada umumnya. Jika anak seusia Puput harusnya sudah bisa menulis, membaca dan menghitung, tapi Puput malah asik bermain. Sama sekali tidak ada minat belajar dalam dirinya. Seperti tadi, kita ajarkan pengucapan yang benar, dia malah menjawab yang salah dan terus seperti itu. Jika kita kekang malah marah. Bundanya juga kadang mengajarkan membaca, tapi begitulah. Dia asik dengan boneka.” Nini memberikan sebuah informasi yang membuatku tercengang. Kuikuti matanya yang menoleh pada Puput. Benar, Puput asik dengan boneka barbie di tangannya.
Apa yang terjadi pada anakku? Haruskah aku mendesak Iza agar mendaftarkan sekolah yang terbaik untuk Puput agar diajarkan oleh guru yang jauh lebih kompeten? Atau haruskah aku menyewa seorang guru privat yang bisa mengajarkan anakku lebih serius lagi?
“Pak, kami turun dulu!” Nini berpamitan. Lamunanku langsung buyar. Segera kurogoh saku mengambil semua uang yang ada dalam dompetku.
“Bu, titip ini untuk keperluan Puput!” Aku menatap sungguh-sungguh. Tanganku menyerahkan uang padanya.
“Pak, ini terlalu berlebihan. Saya menceritakan kondisi Puput berharap Bapak bisa mengajarkannya di waktu senggang.” Nini merasa tak enak. Sampai dia berusaha keras untuk menjelaskannya.
“Untuk itu saya tetap akan berusaha keras mengajarkan Puput. Tapi untuk uang ini, tolong Nini kasih pada Iza.”
“Tapi—”
“Bilang dari Om ganteng.” Aku tersenyum penuh harap. Sengaja tak menyebutkan nama takut Iza akan menolak. Terbukti dari sejak 5 tahun yang lalu, begitu talak terucap, dia pergi dari rumahku, tak membawa satu barang pun yang dibeli dari uangku, termasuk semua kartu dan sejumlah uang tersimpan di dalam laci kamarnya.
“Tapi … ini terlalu banyak. Iza pasti tidak akan menerimanya apalagi dikasih sama orang yang tak dia kenal.”
“Puput kenal dan Ibu juga kenal saya.” Aku tersenyum meyakinkannya.
“Iya, Puput kenal Om ganteng,” sorak Puput.
Nini membuang napas pelan. “Baiklah. Saya terima. Nanti saya kasih ke Iza. Sebelumnya terima kasih banyak. Meskipun saya baru bertemu dengan Bapak beberapa kali, tapi saya yakin Bapak orang baik, mengingat Puput tidak mudah didekati oleh orang asing.”
Aku kembali tersenyum mengangguk pelan. Darah lebih kental daripada air. Jelas Puput mudah akrab denganku. Dia darah dagingku. Selamanya tidak akan terlepas meskipun orang lain memaksa untuk memutuskanku dengan anakku.
“Puput, pamit sama Om ganteng. Kita pulang.”
Puput langsung bangun memelukku dan berbisik di telinga. “Om ganteng, jumpa Puput lagi ya. Nanti Puput bawa nasi goleng.”
“Iya.” Aku tersenyum mengusap punggungnya. Meskipun penggunaan bahasa yang kadang kurang tepat saat berdialog, tapi aku akan berusaha untuk memahaminya.
“Nurut sama bunda dan gak boleh nakal. Ok!”
Dia tersenyum mengangguk-anggukkan kepala. Segera aku mengecup keningnya.
Ucapan salam dan lambaian tangan mengakhiri pertemuan singkat kami. Tak ingin beranjak, aku turun mengikuti Nini dan Puput yang telah berjalan jauh lalu berdiri di depan rumah saat mereka sudah masuk.
“Puput … anakku.” Sungguh cengeng diriku. Air mata tumpah begitu saja mengikuti suasana hatiku. Rasa bersalah dan haru melebur jadi satu.
“Ngapain kamu di sini?”