Bab 3

1218 Words
Dia membeku cukup lama hingga terdengar suara tarikan napas yang cukup dalam. “Anakmu sudah mati.” Seketika dadaku terasa begitu nyeri. Harapanku pupus begitu saja. Sudah sekian lama aku mencari keberadaan anakku tapi apa yang kudapatkan? Sebuah informasi yang keluar dari mulut perempuan yang kunikahi 5 tahun yang lalu, anakku telah tiada. “A—apa katamu? Ma—ti?” Aku ingin mendengar dia mengatakan sekali lagi. Berharap aku salah mendengar atau dia tertawa karena sudah berhasil membuatku takut. Ayo, tunjukkan kalau ini tidak benar! “Iya. 5 tahun yang lalu dia sudah mati.” Iza menjawab begitu mantap. Tak ada keraguan dari sorotan matanya. Dadaku kian terasa berat untuk bernapas. Mataku terasa panas dan pada akhirnya aku tertawa sumbang. “Kamu jangan berbohong padaku! Di mana anakku?” Aku mencengkeram kedua tangannya. “Dia sudah mati.” Kembali dia mengulang kalimat yang sama. Seketika semua saraf menjadi lemah, kepala berdenyut. “Ba—gai—mana bisa?” Aku tergugu-gugu. Bibirku bergetar, menyoroti wajah kusam itu dengan penuh kepiluan. “Bagaimana bisa kamu membiarkan anakku mati? Apa karena pria itu?” Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, lantas seketika aku tercengang. “Tanyakan pada hati nuranimu! Bukan padaku. Aku dan kamu sudah berakhir sejak kamu tinggalkan aku di malam kebahagiaan aku karena hamil anakmu.” Dia berapi-api, menunjuk wajahku. Netra yang bisa sendu kian mengeluarkan bara api kemarahan yang selama ini dipendam. Iza, seberapa bencikah kamu padaku? “Tapi bisakah kamu memberikan kesempatan untuk anakku tetap hidup? Kenapa kamu harus membiarkan dia pergi?” Otakku sudah tak lagi waras. Rasa sakit yang tak bisa kujabarkan. Berharap pertemuanku dengan Iza bisa mengantarkan pada darah dagingku, ternyata apa yang kudapatkan? Informasi yang mengatakan aku telah kehilangan separuh dari harapanku. “Aku hanya minta kamu untuk tidak datang ke pengadilan. Bukan berarti harus pergi meninggalkanku. Aku kasih semuanya padamu untuk merawat anak kita? Tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku?” Amarahku terpancing. Aku masih tak bisa menerika kenyataan yang ada. Anakku mati pasti ada kaitannya dengan pria yang bersamanya 5 tahun yang lalu. “Khianat? Haha … sampah. Hanya Allah yang tau betapa tidak tau diri kamu sebagai seorang hamba-Nya. Menalak istri ketika sedang hamil, 5 tahun kemudian mencari keberadaan anaknya. Hebat sekali kamu.” Iza tertawa mengolok. Aku memang pria bodoh yang kembali setelah 5 tahun berlalu. Mungkin ini karena hidupku yang terlalu sepi tanpa suara tawa seorang anak dan juga rasa bersalah. “Iza, aku—” “Stop! Aku gak mau dengar apa-apa lagi dari kamu. Sebaiknya kembali temui istri dan anak-anakmu. Karena aku hanya pengganti dan anakku juga hanya pengganti. Anggap saja kehamilanku dulu hanya sebuah kesalahan dan aku sudah memaafkanmu. Aku minta jangan muncul di depanku lagi! Aku takut rasa benciku semakin besar. Assalamu’alaikum.” Setelah Iza memberi beberapa penegasan, kini dia melangkah pergi, masuk ke dalam toko laundy, meninggalkanku sendiri dengan rasa penyesalan. Ini mungkin karma. Hukuman terberat yang Tuhan berikan padaku. Aku tak memiliki kesempatan untuk melihat dan memeluk tubuh mungil anakku untuk selama-lamanya. Kutatap sekali lagi bangunan yang dimasuki Iza tadi lalu pergi. Setiap waktu yang terasa hanyalah sakit atas penyesalan yang sudah kulakukan. Meskipun aku juga menyalahkan Iza karena sudah tega membiarkan anakku mati tapi tidak mungkin dia pergi kalau aku tidak meninggalkannya terlebih dulu. * “Pak, ada yang menunggu Bapak di sebelah sana!” kata Resepsionis menunjukkan ke arah ruang tunggu. Segera aku menoleh, tiba-tiba saja kedua pupilku melebar mendapati istriku yang tengah duduk memperhatikan jam di lengannya. “Sayang.” Dia menegakkan tubuhnya. Senyum mengambang sembari memelukku. “Kamu kenapa bisa ada di sini?” Aku terheran. Dua jam yang lalu dia masih di Jakarta dan sekarang bagaimana dia bisa berada di depanku? Apa yang dilakukan Rena sampai harus mengikutiku lagi? “Kok kamu tanya gitu sih? Memangnya aku gak boleh apa nyamperin kamu?” Bibir tebal itu mulai mengecut. Tangan yang tadi memelukku malah memeluk tubuhnya sendiri. Memalingkan wajah kesal dan itu artinya aku harus membujuk Rena agar tak marah lagi. “Tentu boleh. Sebaiknya kita ke kamar. Kamu pasti lelah, apalagi kondisi kamu yang belum fit.” Aku merangkul pinggangnya, satu tangan lagi menarik koper. “Sebenarnya aku ke sini tu karena aku dengar kamu sebut nama wanita lain saat di telpon tadi.” Rena membuka suara. Menjelaskan alasan dia kenapa harus segera terbang ke Bandung. Aku teringat, saat kami sedang berbicara, mataku tak sengaja menangkap Iza sehingga spontan bibirku menyebut namanya. “Terus?” Aku membawanya masuk lalu menutup pintu kamar hotel. Seharusnya untuk waktu seminggu aku bisa menghabiskan sendirian di kamar, memikirkan bayang-bayang masa lalu yang ingin aku tebus sedikit demi sedikit. Tapi apalah daya, Rena begitu cepat menyusul, membuat kebebasanku terbatasi. “Yah, aku cemburu lah. Ingat ya, Mas! Aku ini istri kamu, meskipun aku gak punya anak, aku tetap gak akan lepasin kamu.” Rena memberi ancaman tegas. Aku berdengkus pelan seraya menganggukkan kepala. “Iya.” Hanya itu yang bisa kujawab untuk menghibur hatinya. Sedangkan jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku masih ingin memecahkan misteri kematian anakku. Meskipun Iza lantang mengatakan anakku sudah meninggal, tapi entah kenapa aku belum bisa yakin, sebelum aku melihat kuburannya. Ah, aku lupa menanyakan pada Iza, lagipula dia begitu cepat ingin kabur dariku. “Tadi aku dengar kamu sebut nama Iza. Apa kamu masih memikirkan dia sampai sekarang?” Dia menyelidik. Duduk di tepi ranjang, tak sedikitpun berkedip saat memandangku. “Sebaiknya kamu istirahat!” titahku sengaja mengalihkan pembicaraan. Suasana hatiku tidak baik saat pertemuan tadi, ditambah lagi kedatangan Rena yang begitu mendadak. “Mas, aku ingin ngobrol sama kamu, bukannya tidur.” Sisi keras kepala dan pemaksa sudah keluar. Dia tak akan pernah mau menyerah sebelum menuntaskan semua yang menganjal dalam pikirannya. 5 tahun aku berumahtangga dengannya, semua sifat yang bertolak belakang saat kami pacaran mencuat ke permukaan. Aku seolah tak merasakan keberadaan Rena sebelumnya, tapi rasa cintaku yang amat besar padanya, aku tetap bertahan sampai detik ini. Tak peduli meskipun kadang harga diriku jatuh di depan teman saat dia datang menarikku paksa untuk pulang. “Aku capek, Ren. Mau tidur.” Aku merebahkan tubuhku di kasur. Ingin menenangkan diri sejenak agar aku dapat berpikir lebih bijak lagi. Terlalu kalut dalam kehidupan masa lalu, ditambah dengan emosi membuat pikiranku buntu dan aku kehilangan arah. “Mas, jangan tidur dulu napa sih? Aku serius mau tanya, Iza yang kamu sebut tadi itu siapa? Izzati Wahyuni? w************n itu?” Rena terus mendesak, tak membuatku bisa tenang walau hanya sejenak. Telingaku panas saat kata murahan terdengar, langsung kupelototi. “Jangan pernah kamu sebut dia murahan!” “Apa juga kalau bukan murahan? Gugatan cerai baru masuk ke pengadilan tapi dia bisa-bisanya liburan sama pacarnya. Apalagi coba kalau bukan gatal. Heh, mungkin saja dia sekarang sudah bahagia sama kekasih dan anak yang dikandung.” Rena terus berapi-api memakai Iza. Gemuruh di dadaku membuatku menggertakkan gigi, tangan terkepal menahan agar tak menampar mulut pedas istriku. Andai itu laki-laki sudah kupastikan babak belur. Tak ingin beradu mulut dengan Rena yang membuat kepalaku berdenyut, aku menyikap selimut turun dari ranjang. “Mas, kamu harus gunakan otak kamu! Perempuan itu gak pantas untuk kamu ingat lagi. Dia w************n. Sekarang kamu sudah punya aku yang selalu setia sama kamu.” Rena terus meneriaki sampai membuatku tak tahan lagi. “Meskipun kamu gak perawan lagi saat menikah denganku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD